Mohon tunggu...
agus edi wiyono
agus edi wiyono Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Swasta Katolik Mater Dei

Minat dalam Pendidikan di indonesia dan belajar Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Marjinal ke Pusat Perhatian: Suara Korban Cyberbullying dalam Lensa Teori Kritis

16 Agustus 2024   18:48 Diperbarui: 16 Agustus 2024   18:50 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perundungan, baik secara langsung maupun melalui dunia maya, telah menjadi masalah serius yang merambah hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Founder sekaligus Ketua Yayasan Syariah Hardjuno Wiwoho (SHW Center), Shri Hardjuno Wiwoho memaparkan, data UNICEF 2020 menemukan 45% anak berusia 14-24 tahun di seluruh dunia telah mengalami perundungan berbasis cyber sepanjang 2020. Data itu mirip dengan data dari Center for Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 yang meneliti siswa SMP dan SMA usia 13-18 di 34 provinsi di Indonesia. (Abdul Malik Mubar: 2023). 

Angka-angka ini mengindikasikan bahwa perundungan telah menjadi masalah yang sangat serius dan mendesak untuk segera diatasi. Menurut UNICEF (2020) cyberbullying adalah penindasan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform perpesanan, platform game, dan ponsel. Ini adalah perilaku yang diulang-ulang, yang bertujuan untuk menakut-nakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi target.

Cyberbullying di media sosial berdampak pada kondisi psikologis dan kejiwaan korban. Kondisi ini mengakibatkan korban mengalami depresi, sedih yang berlarut-larut, frustasi, dan kehilangan kepercayaan diri. Yulieta, Fadia Tyora, et al. (2021). Perundungan tidak hanya berdampak pada kesehatan mental korban, tetapi juga mengganggu proses belajar mengajar di sekolah. Penelitian terbaru oleh Hwang dan Kim (2022) yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health menemukan hubungan yang kuat antara pengalaman perundungan dengan penurunan prestasi akademik di kalangan remaja Asia, termasuk Indonesia. Temuan ini sejalan dengan studi lokal yang dilakukan oleh Sena Harleon dan kawan-kawan (2023) di Jakarta, yang menunjukkan bahwa siswa korban perundungan lebih sering mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan memiliki tingkat kehadiran yang lebih rendah. Sena Harleon et al., (2023). Demikian juga sebuah studi yang dilakukan oleh Putri dan kawan-kawan (2020) dari Universitas Negeri Yogyakarta terhadap siswa SMA di Yogyakarta menemukan bahwa siswa yang sering mengalami perundungan cenderung memiliki nilai rata-rata yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang tidak mengalami perundungan. Selain itu, siswa korban perundungan juga lebih sering melaporkan kesulitan dalam berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas sekolah (Putri et al., 2020). Cyberbullying dan bullying menyebabkan korban merasa marah, malu, tidak bisa konsentrasi pada pekerjaannya dan takut. (Arfandi, 2021)

Cyberbullying adalah masalah kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Di satu sisi, dorongan dari dalam diri seperti rasa iri atau keinginan untuk menonjol dapat memicu tindakan cyberbullying. Di sisi lain, lingkungan sosial dan perkembangan remaja juga berperan penting dalam membentuk perilaku ini. Insani, B., & Yaksa, R. A. (2022). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sudarmaji dan Supardi (2020) dalam Jurnal Pendidikan Indonesia, salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka perundungan di sekolah adalah kurangnya kesadaran akan dampak buruk perundungan, baik di kalangan siswa maupun guru. Selain itu, kurangnya tindakan tegas dari pihak sekolah dalam menangani kasus perundungan juga menjadi pemicu. Berdasarkan penelitian Sakban & Sahrul (2019), terdapat empat faktor utama yang memicu cyberbullying, yaitu iri, tidak memiliki pencapaian, keinginan untuk berbuat iseng, dan keinginan untuk mempermalukan orang lain tanpa diketahui. Selain itu, tugas perkembangan remaja seperti mencari jati diri dan membangun hubungan sosial juga dapat menjadi faktor pendorong.

Di Indonesia kasus cyberbullying tidak banyak terungkap, dikarenakan tidak semua korban mau berbicara kepada teman, orang tua, maupun guru. Sementara itu, cyberbullying memiliki dampak yang buruk bukan hanya kepada korban tapi juga kepada pelaku. Efek yang dihasilkan dari peristiwa cyberbullying adalah korban mengaku merasa sedih, cemas, takut dan tidak dapat berkonsentrasi di sekolahnya.

Cyberbullying dalam Lensa Teori Kritis

Teori kritis mengajak kita untuk melihat fenomena sosial, termasuk cyberbullying, sebagai hasil dari struktur kekuasaan yang tidak setara. Dalam konteks Indonesia, cyberbullying pada remaja bukanlah sekadar tindakan individu yang iseng, melainkan cerminan dari permasalahan sosial yang lebih luas.

Reproduksi Ketidaksetaraan: Cyberbullying seringkali mereproduksi ketidaksetaraan yang sudah ada dalam masyarakat, seperti berdasarkan gender, kelas sosial, etnis, atau orientasi seksual. Korban yang berasal dari kelompok minoritas cenderung lebih rentan menjadi sasaran. Karl Marx adalah seorang filsuf, ekonom, dan sosiologis terkemuka yang hidup pada abad ke-19. Ia terkenal dengan kontribusinya dalam analisis kritis terhadap masyarakat kapitalis, kelas sosial, dan konflik kelas. Meskipun Marx tidak secara khusus membahas pendidikan dalam karya-karyanya, pemikirannya memiliki relevansi yang kuat dalam pemahaman ketidaksetaraan sosial dalam pendidikan yang bisa menjadi pemicu dan akar masalah perundungan bisa terjadi. Untuk mengatasi kesenjangan sosial dalam sistem pendidikan, manajemen pendidikan harus memprioritaskan akses yang lebih adil untuk semua siswa, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonomi mereka.(Aisyah,2024)

Komersialisasi Media Sosial: Platform media sosial yang didesain untuk menghasilkan keuntungan seringkali mengabaikan aspek keamanan pengguna, terutama remaja. Algoritma yang memicu ketergantungan dan polarisasi turut memperburuk situasi. Popularitas media sosial, terutama YouTube, telah mengubah cara kita mengonsumsi konten. Generasi muda kini lebih sering beralih ke platform seperti YouTube dan Tik Tok untuk hiburan dan informasi. Kompetisi untuk menciptakan konten yang menarik dan viral mendorong banyak orang untuk menghasilkan konten dalam jumlah besar. Namun, komersialisasi media sosial tidak hanya berdampak pada industri hiburan, tetapi juga pada nilai-nilai sosial. Dalam upaya untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan, beberapa individu mungkin melakukan tindakan yang tidak etis, seperti cyberbullying, demi menarik perhatian."(Zahid.2019) Komersialisasi media sosial telah menciptakan lingkungan yang kompleks dan penuh tantangan. Di satu sisi, media sosial telah mempermudah akses informasi dan memungkinkan orang untuk mengekspresikan diri. Namun, di sisi lain, komersialisasi juga telah memicu berbagai masalah sosial, termasuk cyberbullying. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, industri media sosial, sekolah, dan keluarga.

Diskriminasi dan Stigmatisasi: Cyberbullying seringkali dipicu oleh adanya diskriminasi dan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. Hal ini menciptakan iklim yang tidak toleran dan memarginalkan kelompok minoritas. Yohanes Prihala (2019) dalam bukunya Tafsir teks dan diskursus teologi dengan perspektif marginalitas, pembebasan dan perdamaian; Korban kekerasan dan diskriminasi seringkali menanggung beban sosial yang berat akibat stigma negatif yang melekat pada diri mereka. Stigma ini membuat mereka merasa dikucilkan atau dipermalukan oleh masyarakat. Seringkali, stigma ini terkait dengan pandangan agama yang mengaitkan penderitaan dengan dosa atau hukuman atas kesalahan.

Korban cyberbullying juga seringkali mengalami stigma yang serupa. Tindakan cyberbullying, seperti penyebaran rumor, penghinaan online, atau ancaman, dapat menciptakan stigma negatif yang melekat pada korban. Masyarakat, terutama di dunia maya, seringkali lebih cepat menyalahkan korban daripada pelaku. Stigma ini dapat membuat korban merasa malu, terisolasi, dan tidak berdaya. Pandangan agama yang mengaitkan penderitaan dengan dosa dapat memperkuat stigma ini, membuat korban merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan dan pantas mendapatkan perlakuan buruk. Ini menciptakan siklus yang berbahaya, di mana korban cyberbullying tidak hanya mengalami trauma psikologis akibat tindakan pelaku, tetapi juga harus menghadapi stigma sosial yang memperburuk kondisi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun