Mohon tunggu...
Agus Dedi Putrawan
Agus Dedi Putrawan Mohon Tunggu... Dosen - Agus Dedi Putrawan

zero to hero

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagaimana Belajar Jujur, Tulus dan Berintegritas dal Perjumpaan?

15 Juli 2019   23:17 Diperbarui: 15 Juli 2019   23:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain nafas, apa yang Tuhan berikan kepada kita secara adil dan merata? Setiap individu mendapat jatah, tidak pandang dia kaya atau miskin, dia pejabat atau masyarakat biasa, dia sakit atau sehat, normal atau gila, dia bangsawan atau jelata, tua atau muda, guru atau murid, petani atau nelayan, PNS atau Honorer, bekerja atau pengangguran, dokter atau pasien, direktur atau karyawan, pacaran atau jomblo, pekerja keras atau pemalas dan lain sebagainya mendapat jatahnya masing-masing.

Selain nafas sebagai ciri kehidupan, Tuhan juga memberikan kita jatah waktu 24 jam selama sehari semalam sebagai ajang untuk kita isi dengan berbagai aktivitas (8 jam waktu aktivitas tidur, 8 jam waktu aktivitas kerja dan 8 jam waktu aktivitas santai).

Di sinilah letak keadilan Tuhan, di mana setiap orang dapat memanfaatkan waktunya masing-masing untuk berbuat hal-hal positif, karena pilihannya ada dua, memanfaatkan untuk hal-hal positif atau sebaliknya.

Dalam rentang waktu selama 24 jam di atas, yang tidak bisa kita hindari adalah berjumpa dengan sesama manusia. Lebih-lebih di dunia kerja semisal pelayanan kepada masyarakat. Karena dunia sosial tidak akan pernah ada tanpa adanya perjumpaan antar sesama manusia. Tidak ada yang bisa lepas dari perjumpaan, sebab jika tidak mampu/tidak mau berjumpa itu tanda bahwa dia sedang sakit baik fisik atau pun psikisnya.

Dalam proses perjumpaan yang terus menerus antar sesama manusia akan lahir apa yang kita kenal dengan sebutan gelar hidup (bukan gelar akademis), seperti menjadi orang baik, penyabar, jujur, sidiq, amanah, tablig, fatonah, integritas atau gelar sebaliknya, menjadi dikenal pemarah, culas, plakor, pembohong, penipu, tukang fitnah, pendendam, penjahat dan lain sebagainya.

Dalam berjumpa adalah hal yang tidak bisa kita hindari yaitu berprasaan dan berbahasa. Ketika bertemu sahabat kita akan merasa bahagia, ketika bertemu dengan orang yang kita musuhi perasaan benci timbul secara otomatis.

Bahkan bertemu dengan orang yang tidak kita kenal dalam sebuah pelayanan pun kita pasti akan mengoprasikan Perasaan. Perasaan selalu hadir tatkala berjumpa dengan setiap orang, perasaan juga akan timbul ketika kita membayangkan seseorang dalam kesendirian.

Artinya berperasaan tidak mampu kita hindari. Karena tidak bisa dihindari maka yang mampu kita lakukan adalah berlatih untuk merubahnya, perasaan benci jadi rindu, kecewa jadi bahagia dan lain sebagainya.

Selain berprasaan, yang tidak bisa kita hindari dalam perjumpaan adalah berbahasa. Tidak mungkin dalam berjumpa kita diam seribu bahasa selama berjam-jam, Dengan berbahasa inilah orang akan mendapat gelar hidupnya. Minimal ada empat tipe berbahasa, Penjelasannya sebagai berikut:

Pertama, Asertif.

Kita menggunakan bahasa untuk bercerita kepada seseorang berdasarkan atas apa yang kita percayai kebenarannya. Jika kita mengatakan sesuatu tanpa kita percayai kebenarannya maka itu yang disebut hoax.

Jika ini yang dilatih terus menerus maka Konsekuensinya adalah kejujuran, pilihan aktivitasnya mau latihan jujur atau mau latihan bohong (itu terserah anda). Dalam konteks ini seorang pembohong harus pintar mengarang dari pada orang yang jujur yang mengatakan apa adanya.

Kedua, Directif.

 Kita menggunakan bahasa untuk mengajak, menyuruh, menyarankan, melarang seseorang atas dasar kebaikan, kita yakini sesuatu yang akan dilakukan seseorang itu adalah baik untuk dirinya. Seorang jenderal mengatakan "tembak" maka prajurit akan menembak, seorang bos mengatakan "lakukan" maka anak buahnya akan melakukan, seorang atasan mengatakan "kerjakan" maka bawahannya akan mengerjakan, begitu seterusnya.

Jika kita menyuruh seseorang meminum racun, membunuh diri, mengajak korupsi, menjerumuskannya memakai narkoba atau menyuruhnya di luar kemampuannya dan lain sebagainya. Pilihan aktivitasnya dua kebaikan atau keburukan, silahkan dipilih.

Ketiga, Expresif.

Menggunakan bahasa untuk mengekspresikan prasaan atas dasar kesesuaian antara apa yang dirasakan dengan apa yang diekspresikan. Ucapan terimakasih, maaf, bela sungkawa, selamat adalah contoh ungkapan ekspresi.

Ungkapan terimakasih kita gunakan ketika seseorang telah membantu atau memberikan sesuatu kepada kita. Salah ketika kita menggunakannya ketika kita dikecewakan. Ungkapan maaf kita gunakan ketika kita melakukan kesalahan, menyakiti hati atau mengecewakan orang lain. Silahkan pilih mau pura-pura atau tulus. Jika ini yang dilatih maka konsekuensinya kita akan menjadi orang yang tulus.

Keempat, Commisif.

Menggunakan bahasa untuk berjanji melakukan sesuatu di masa depan atas dasar niat untuk melakukannya. Ketika berjanji (berkomitmen) kepada seseorang untuk datang ke rumahnya harus disertai niat untuk datang. Jika tidak ada niat untuk melakukannya maka seribu alasan akan lahir untuk membenarkan kebohongan-kebohongan atas apa yang kita janjikan.

Faktanya bahkan karena di tengah-tengah masyarakat telah terjadi distrust (kekurang percayaan antar sesama) maka nama Tuhan dibawa-bawa untuk membenarkan kebohongan kita "inshaAllah arab atau Insha Allah Indonesia?".

 Jika melatih ini semua dengan sendirian mungkin agak berat (Selama inikan rajin, tawakkal, tawadduq, ahli ibadah, khusuk hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja seperti ustadz, tuan guru ataupun seorang wali), maka kita butuh sebuah komunitas untuk berlatih bersama-sama.

Karena ketidakmampuan kita sendirian, komunitas yang diadakan secara sadar akan membantu kita untuk terus selalu konsisten dengan apa yang kita sedang latih bersama. Komunitas berpraktik positif di dalam perjumpaan inilah yang disebut dengan sekolah perjumpaan. Di dalam sekolah perjumpaan, semua yang terlibat disebut peserta pembelajar karena setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun