Mohon tunggu...
Agus Dedi Putrawan
Agus Dedi Putrawan Mohon Tunggu... Dosen - Agus Dedi Putrawan

zero to hero

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Metafisika Politik

5 Juni 2014   17:27 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:13 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dalam sejarahnya mengalami pergantian peradaban-peradaban yang luar biasa. Indonesia yang dulunya bernama Nusantara hasil penyatuan oleh sumpah yang diutarakan Patih Gajah Mada dengan kekuasaannya yang luas sampai ke Asia sekarang. Sejak kerajaan Majapahit (1293-1500 M), agama Hindu-Budha sudah mendominasi agama yang ada di Indonesia. Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia. Nusantara menjadi pusat perdagangan yang pada saat itulah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Masuknya Islam dan penyebarannya dilakukan oleh Wali Songo (wali sembilan) di Indonesia kira-kira selama 80 tahun, namun sebelum mereka berdakwah kepada umat manusia, mereka terlebih dahulu membereskan pengaruh dan kebiasaan manusia Indonesia yang menyembah Jin dan Syetan. Sehingga tahap demi tahap pengaruh Islam meluas dan menjadi mayoritas di Indonesia hingga saat ini.

Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun misi utama mereka sebenarnya adalah semboyan Gold, Gospel, and Glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal. Kira-kira selama 350 tahun Indonesia dijajah dan dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kristen kemudian hingga hengkangnya Imperealisme tersebut tidak mampu mengalahkan dan mempengaruhi dominasi umat Islam.

Hal di atas akan dikaitkan dengan pembahasan metafisika politik, sebagaimana kita ketahui masyarakat Indonesia masih percaya dengan hal-hal mistis. Jimat, santet, saji-sajian, mantra, kidung, dan lain-lain menjadi hal biasa di tengah masyarakat Indonesia. Ketika masuk ke ruang politik, metafisika politik berhubungan dan berkaitan erat dengan berbagai perilaku aneh politisi dan elit kekuasaan yang menggunakan cara-cara di luar batas kesadaran (rasio) untuk menarik simpati rakyat. Ketika ayam, pohon, mimpi dan berbagai atribut lain di luar politik dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan maka pada titik itu, politisi kita masih berpandangan  tradisional.

Tahun 2014 adalah tahun politik, di mana setiap orang dari berbagai lapisan masyarakat menyibukan diri membahas dan berdiskusi masalah pergantian kekuasaan, baik tingkat Legislatif sampai pergantian Presiden dan Wakil Presiden. Karena politik bukan saja mempengaruhi masalah umum saja, akan tetapi berdampak besar terhadap ranah privasi seperti masalah dapur, pakaian, minuman dan lain sebagainya. Berbagai tingkah laku para calon terekspos media, mulai dari bertapa, mandi di sungai, berziarah kubur. Fenomena inilah yang menarik untuk dikaji oleh kalangan akademisi Indonesia, di mana Amerika sudah mulai berani meneliti tentang keanehan-keanehan diluar akal ilmiah manusia.

Di dalam Islam, kita diajarkan untuk mempercayai hal yang gaib, entah itu setan, jin, malaikat sampai kepada hari kiamat. Dalam surah al-Baqarah ayat 3 yang artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezkiyang Kami anugerahkan kepada mereka” (al- Baqarah: 3). Ini artinya kita tidak bisa menafikan eksistensi hal-hal gaib yang sudah berakar dan menjadi budaya di masyarakat.

Tulisan ini ingin menyadarkan pembaca bahwa metafisika politik memang ada dan dipraktekan di Indonesia, di mana kita lihat teori marketing politik modern yang menggunakan uang dan media sebagai senjata andalan toh, tetap tidak mempan dengan konstituen masyarakat tradisional. Sehingga alternatifnya adalah menguasai ke-tradisionalan masyarakat Indonesia dengan metafisika. Contoh kasus: ketika orang di sebuah desa sudah di gempur dengan “serangan fajar” dan berjanji akan memilih calon yang memberi uang, namun ketika di TPS dan hendak masuk ke bilik suara. Apa yang terjadi?.. ingatan tentang si calon buyar, hingga tak sadar siapa yang dipilihnya di bilik suara itu, ironisnya ketika keluar dari TPS ia bertanya-tanya tadi dia memilih siapa?..

Kasus berikutnya: kita terkadang secara kebetulan menemukan dupa di sudut perkampungan dan tidak memperdulikan hal tersebut. Namun coba periksa sudut yang lain, maka anda kan menemukan dupa-dupa yang akan membentuk segi empat yang seakan melingkari perkampungan tersebut, selain itu juga akan anda temukan di tengah sebagai poros dari setiap sudut tersebut. Ini tak lain untuk mengusir jin-jin jahat yang senang dengan bau maksiat (secara kolektif) yang warga kampung itu lakukan karena selain secara fisik jasmani tubuh kita mempunyai bau badan, namun roh yang secara rohani juga mampunyai bau baik harum maupun sebaliknya.

Fenomena di atas sering terjadi di masyarakat Indonesia tanpa kita sadari, masyarakat yang masih tradisional masih mengalami dan mengaplikasikan hal di atas. Secara fisik yang dapat kita lihat pengaruh globalisasi memang memperlihatkan kemenangannya, namun di Indonesia, masyarakat yang tidak tersentuh pendidikan, dan orang tua yang masih mempertahan kan adat istiadatnya, hingga bercampurnya globalisasi dengan akal tradisional masyarakat Indonesia memberikan corak yang berbeda dengan negara-negara lainnya. 9 juli nanti 2014 ini puncak pemilihan capres dan cawapres akan digelar, bayangkan saja jika salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden mengaplikasikan metafisika politik ini, maka siapa yang lebih berilmu tentang itu maka ialah yang menang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun