Oleh: Agus Daryanto, ASN Pemkot Surakarta
Hari - hari jelang pencoblosan, aroma pilpres ini layaknya chloroform, daya biusnya sangat kuat dan dalam. Semua berebut menghirupnya, baik antar pasangan calon, regu kampanye pemenangan, simpatisan, hingga masyarakat umum. Lintas dunia maya dan realita, kita saksikan adu pendapat yang tidak jarang menjurus pertikaian dan kekerasan.
Situasi pertarungan satu lawan satu semakin memperuncing friksi kedua kubu. Sebagai gambaran, jika dari 192 juta pemilih dalam DPT itu terbagi rata untuk kedua kubu, taruhlah seluruhnya memiliki pilihan, artinya akan terjadi 96 juta vs 96 juta jiwa. Kuantitas yang menunjukkan sebuah potensi konflik yang menghawatirkan.
Kedua pasangan calon pasti ingin menang, setiap regu kampanye pemenangan tentu saja ingin berjuang. Simpatisan dan semua orang berhak mengunggulkan dengan analisa masing-masing hingga ia menentukan pilihan.
Sayangnya, sering kita merasa ikut andil berjuang tetapi dengan membuat permusuhan. Tak jarang kita memuji jagoan dengan membangun narasi yang mendiskreditkan kubu seberang.Â
Dibedak-bedaki terus jagoannya, dicari- cari saja borok lawannya. Yang lebih parah, fitnah, hoax, dan ujaran kebencian bertebaran dalam kanal daring dan media sosial.Â
Hingga akhirnya, tanpa sadar, kita tak sanggup lagi membedakan mana bentuk perjuangan dan mana ajakan peperangan. Kita senang melukai lawan, tapi lawannya bangsa sendiri. Kita bangga membunuh rival, tapi rivalnya saudara sendiri.
Konsekuensi Demokrasi
Sistem demokrasi di Indonesia yang  kita pilih sebagai jalan pengambilan keputusan, dalam prakteknya memberikan hak setara pada setiap warga negara untuk bersuara. Hingga akhirnya kita sampai pada pelaksanaan pemilu sebagai bentuk penjabaran demokrasi yang kita sepakati untuk memilih pemimpin terbaik.
Demokrasi kita berkiblat ke barat. Demokrasi yang memupuk budaya debat. Sebuah mekanisme yang idealnya merupakan adu ide, gagasan, dan argumentasi yang sehat, tetapi di sini telah berevolusi menjadi adu kekuatan dan unjuk kesombongan.Â
Merasa paling benar, Â kubu lain biang onar. Merasa paling tepat, pihak yang lain sesat. Strategi dan narasi yang dibangun untuk mengopinikan diri, semakin mengokohkan bahwa satu bukan bagian dari yang lainnya. Ia sekaligus menyerang, menikam, dan menghancurkan pihak lain yang tidak sehaluan.Â
Masifnya tayangan media dengan konsep membenturan tokoh-tokoh dua kubu regu kampanye pemenangan, menjadi semacam katalis perseteruan bagi masyarakat di akar rumput di babak-babak lanjutan.
Lihatlah media sosial kita, berapa banyak bentuk dukungan pada masing - masing pasangan calon. Tengok banyaknya situs daring, grup medsos, sampai komunitas relawan.Â
Betapa banyak ekspresi keberpihakan yang akhirnya menjadi buas saling menyerang. Betapa banyaknya peristiwa fitnah, hoax, provokasi, umpatan, serta ujaran kebencian dalam kolom komentar. Sangat kontradiktif dengan pengakuan kita sebagai manusia yang berbudi luhur dan bangsa yang beradab.
Menahan diri
Kemudahan mengakses segala bentuk informasi, sebagai akibat dari pesatnya perkembangan tekhnologi, menegaskan  status kita sebagai makhluk gagap, kesusu dan grusa- grusu. Kita menjadi agen segala hitam dan putih informasi. Terlalu mudah meneruskan segala sesuatu tanpa peduli kebenarannya. Tidak ada budaya saring sebelum melakukan sharing.
Wahai warganet Indonesia. Sekarang sudah saatnya. Siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya. Kendalikanlah jarimu untuk tidak lagi mengetik ekspresi kebencian, umpatan, dan perundungan. Janganlah mudah terpancing dan membuat provokasi. Masing-masing harus menahan diri.Â
Tak perlu saling mengotot untuk mempertahankan pendapat yang berasal dari informasi yang  sesungguhnya kita tidak punya alat, perangkat, dan dasar yang memadai untuk menguji kebenarannya.Â
Tak usah mati - matian memihak seseorang hanya berdasarkan informasi, opini, dan jejalan propaganda. Hal itu sangat lemah pertanggungjawabannya.
Indonesia saat ini lebih butuh manusia yang senantiasa menebar kebaikan. Bangunlah narasi yang menyejukkan agar kita tak terjerumus pada perpecahan.
Indonesia sekarang ini lebih perlu orang-orang yang sadar dan paham bagaimana memperlakukan fitrah keberagaman, agar tercipta kerukunan dan kedamaian.
Mengapa? Karena pilpres ini adalah sekedar alat, bukan tujuan.
Mari berkaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H