Masifnya tayangan media dengan konsep membenturan tokoh-tokoh dua kubu regu kampanye pemenangan, menjadi semacam katalis perseteruan bagi masyarakat di akar rumput di babak-babak lanjutan.
Lihatlah media sosial kita, berapa banyak bentuk dukungan pada masing - masing pasangan calon. Tengok banyaknya situs daring, grup medsos, sampai komunitas relawan.Â
Betapa banyak ekspresi keberpihakan yang akhirnya menjadi buas saling menyerang. Betapa banyaknya peristiwa fitnah, hoax, provokasi, umpatan, serta ujaran kebencian dalam kolom komentar. Sangat kontradiktif dengan pengakuan kita sebagai manusia yang berbudi luhur dan bangsa yang beradab.
Menahan diri
Kemudahan mengakses segala bentuk informasi, sebagai akibat dari pesatnya perkembangan tekhnologi, menegaskan  status kita sebagai makhluk gagap, kesusu dan grusa- grusu. Kita menjadi agen segala hitam dan putih informasi. Terlalu mudah meneruskan segala sesuatu tanpa peduli kebenarannya. Tidak ada budaya saring sebelum melakukan sharing.
Wahai warganet Indonesia. Sekarang sudah saatnya. Siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya. Kendalikanlah jarimu untuk tidak lagi mengetik ekspresi kebencian, umpatan, dan perundungan. Janganlah mudah terpancing dan membuat provokasi. Masing-masing harus menahan diri.Â
Tak perlu saling mengotot untuk mempertahankan pendapat yang berasal dari informasi yang  sesungguhnya kita tidak punya alat, perangkat, dan dasar yang memadai untuk menguji kebenarannya.Â
Tak usah mati - matian memihak seseorang hanya berdasarkan informasi, opini, dan jejalan propaganda. Hal itu sangat lemah pertanggungjawabannya.
Indonesia saat ini lebih butuh manusia yang senantiasa menebar kebaikan. Bangunlah narasi yang menyejukkan agar kita tak terjerumus pada perpecahan.
Indonesia sekarang ini lebih perlu orang-orang yang sadar dan paham bagaimana memperlakukan fitrah keberagaman, agar tercipta kerukunan dan kedamaian.
Mengapa? Karena pilpres ini adalah sekedar alat, bukan tujuan.
Mari berkaca!