Wasit melunak. Ini yang paling membuat saya merasa gemas. Hal ini tidak terjadi satu atau dua kali, tetapi hampir di seluruh waktu permainan, dan di seluruh pertandingan. Saya pikir ini sangat berbahaya.Â
Selain sebagai sebuah bentuk ketidakadilan, para pemain yang dilanggar juga sangat dirugikan karena risiko cidera yang mungkin didapat juga akan semakin besar. Wasit tidak melindungi karir pemain.Â
Para pemain yang melakukan pelanggaran seperti ‘diajari’ wasit karena ketika sebuah pelanggaran dilakukan, mereka pasti juga akan mengukur sendiri tindakan hukuman yang diberikan sang pengadil atas tindakan pelanggaran yang dilakukan. Hingga akhirnya mereka berani menakar sendiri batas aman pelanggaran yang boleh dilakukan.Â
Pada ujungnya ini akan menjadi budaya dalam permainan. Kita seperti telah berhasil menciptakan sepakbola model baru yang cenderung keras dan kasar.Â
Celakanya, ketika hibrida sepakbola ala Indonesia ini dibawa ke kancah internasional, habislah kita. Kita akan melihat ketika tim kita unjuk gigi di turnamen Internasioanl, pemain-pemain dengan begitu mudahnya melakukan pelanggaran, begitu mudah menerima kartu.Â
Wasit yang selama ini memanjakan mereka kini berubah menjadi wasit yang ‘tanpo tedheng aling-aling’. Wasit tanpa ampun. Sepertinya seram, tetapi kalau kita berfikir objektif, ya begitulah seharusnya wasit, juknisnya memang seperti itu. Pertanyaannya harusnya dibalik, kenapa wasit-wasit di liga kita tidak bisa tampil dalam wujud seperti itu.
Jika pertanyaan tersebut dilontarkan, maka mau tidak mau pola pikir kita akan digiring ke dalam tema-tema dan spekulasi yang lebih luas. Apakah memang murni karena standar kualitas wasit yang masih rendah? Ataukah ada kaitannya dengan isu-isu mafia sepakbola yang selama ini berhembus kencang? Silahkan nilai sendiri.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H