...
Bendera tak berkibar, karena angin tak pernah lagi bertiup di tanah ini.
Kubacakan kembali puisi yang dilupakan matahari sebagai ganti.
Kemenyan pemanggil arwah dan muara angkara orang-orang mati.
Bagi lini, terdepan yang berubah menjadi garda mucikari.
Memulai mutilasi, harkat dan nyali.
Disodomi ribuan kali, pasca Munir mati.
Aku bacakan kembali artefak pitam serupa aksara kabut profan dan suci.
Mereka yang menyongsong kepulan asap penjarahan massal pasca kudeta.
Saat Kondor terjaga, saat parang menggantikan bahasa.
Kami eja ulang mantra-mantra dari artefak para pendosa, di tanah mereka yang memenggal kepala mereka yang membacakan prosa.
Di parit-parit kota, dimana doa tak lagi terdengar.
Dan mimpi hanya dimiliki mereka yang menguasai kotak suara.
Dan mereka yang dibisubutakan, dihilangpaksakan, dan merancang cetak biru diatas bangkai-bangkai harapan...
Dan Kondor terjaga...
Kami bacakan ulang perihal kepala-kepala dibawah langit.
Yang tak lagi punya tanah, dan tak punya tanah air.
Yang dilupakan Garuda, dan tak memiliki lagi tanah air.
Dengan sekosong tatapan dan kemuakan melewati titik nadir, pergerakan pandir, diantara rencana pembangunan tambang pasir.
Menyambut pagi ditanah yang terlalu sulit disambangi Dewi Adil, dan terlalu rutin disinggahi sepatu Lars, drama, dan nyalak bedil.
Dalam wujudnya yang paling mustahil, kami tunjukkan nyali yang tak pernah sekerdil.
Harga ganti tanah kami yang kalian patoki menjadi kakus industri.
Karena api tungku dan belati kami tak pernah mengingkari janji dan berdiri meski...
Kondor terjaga...
Morgue Vanguard X Still
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H