Mohon tunggu...
Agus Adi Barbara
Agus Adi Barbara Mohon Tunggu... -

Hidup adalah pilihan, pilihlah dengan benar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puan Maharani Shalat, "Kamu": Paling Nggak Punya Wudhu!

26 Oktober 2017   20:24 Diperbarui: 26 Oktober 2017   20:58 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas bukan, dan sama sekali tidak, untuk niatan provokatif. Anggap saja ia sebuah "lawakisasi" dan pengandaian yang hiperbolis --atau mungkin jawaban-- bagaimana, bahkan ketika berbuat baik sekalipun, Puan Maharani tetap mendapatkan penilaian yang buruk oleh "kamu": orang-orang yang sedari awal apatis terhadapnya; berbeda pandangan politik dengannya; atau yang kritis tapi kurang banyak mengkonsumsi berita sehingga kekurangan asupan "gizi"; dan mungkin orang-orang yang sedari awal memang sudah berniat untuk nyinyir  dan makisaja.

Andai saja Puan Maharani sedang melaksanakan shalat pun, para "kamu" yang berpegang teguh pada prinsip nyinyirisme  itu akan berpikir, jangan-jangan shalat Puan Maharani tanpa wudhu', dari saking  buruknya penilaian terhadap Puan Maharani. Artinya, bahkan ketika Puan Maharani, beberapa waktu yang lalu melaporkan capaian kerja dan kinerjanya dalam konteks pembangunan manusia dan kebudayaan, berdasarkan data dan fakta yang objektif, "kamu" masih mempertanyakan dan ngomel sekenanya.  Bermain-main dengan analisa dan bahasa yang ciamik  tapi miskin data dan fakta.

Jadi, lanjutkan membacanya, jangan keburu  menyimpulkan.

Menurut Puan Maharani, kesejahteraan masyarakat meningkat. Data dan berita selengkapnya, silahkan baca disini: satuduatigaempat

Lalu, "kamu" masih mempertanyakan, kalau perlu sambil memotret kondisi-kondisi pasar yang lesu dan hening, seorang anak yang tidak bisa sekolah, gedung sekolah yang acakadut,  orang tua yang sedang sakit parah dan terbaring tak bisa berobat, atau mungkin foto sebuah rumah super miskin di pelosok sana, lalu diupload  dan diberi caption,  "Bu Puan, melihat gambar-gambar itu, kesejahteraan mana yang meningkat? Ini faktanya, bukan angkanya!"

Oke, baiklah. Tapi tak bisa menilai kerja dan kinerja pemerintah jika yang menjadi tolak ukurnya adalah kasuistik; kasus perkasus. Memang tidak salah, tapi jelas itu tidak nyambung.  Kalau yang "kamu" ungkap di media sosial dengan menyertakan foto lalu bertanya dimanakah kesejahteraan? Maka, coba tanyakan dulu kepada kepala desa atau lurahnya; beberapa kartu yang dibagikan pemerintah sudah tepat sasaran apa belum? Kalau tidak, tanyakan kepada Bupati atau Walikotanya, kebijakan mereka sudah sinkron atau belum?

Jika tidak bisa, tanyakan juga pada Gubernurnya, lalu Menterinya, dan kemudian pada Presidennya. Kebijakan yang berkaitan dengan lokal, perlu dipertanyakan sejak dari "lokal", jangan langsung marah-marah pada mereka yang "nasional". Memang tidak salah menanyakan bangunan sekolah yang ambruk atau kesehatan yang mahal kepada Menteri dan Presiden dalam bingkai "mana kesejahteraan?", tapi persoalan itu dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, baru nasional. Mulai dari kelurahan, Dinas, Pemkab, Pemda, lalu Kementerian.

Pada titik inilah kebiasaan untuk memberikan penilaian dan berteriak secara serampangan  kerap kali dijumpai. Semua kesalahanan ditumpukan pada Menteri, atau pemerintahan Jokowi-JK. Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, Kadis, Pemkab, dan Pemda seakan tidak ada kerjanya sebab semua kesalahan dan caci maki langsung ditimpakan pada Menteri dan Jokowi-JK. Mereka semua, seakan pegawai yang digaji untuk nganggur, sebab tak pernah ditanya, apalagi disalahkan!

Mulai dari jalan rusak dan berlubang, hingga burung lovebird  yang gagal bertelur; mulai dari harga cabai hingga itik yang tidak mengerami lalu ditake over  oleh ayam; mulai dari jembatan kampung yang rusak hingga burung merpati yang pisah ranjang; mulai dari subsidi yang tidak tepat sasaran hingga matahari yang terbit kesiangan, semuanya salah menteri, semuanya salah Puan Maharani, semuanya salah Jokowi-JK.

Mungkin tidak salah, tapi cukup aneh dan absurd, bukan?

Artinya, data dan fakta yang disampaikan oleh Puan Maharani adalah data yang diperoleh melalui survei dan penelitian, yang secara simultan dikaitkan dengan beberapa program yang laksanakan oleh Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama dengan Kementerian atau Lembaga lain yang berada di bawah garis koordinasi Puan Maharani. Bisa dipertanggung-jawabkan. Kalau ada tetangga sangat miskin di sebelah rumah "kamu" yang tidak mendapatkan KIP, KIS, KKS, PKH, atau yang lainnya, jangan langsung Puan Maharani yang dicaci, tanyakan dulu pada pamung atau lurahnya. Begitu, kan, runutan cara menilainya?

Daya beli masyarakat mengalami peningkatan? Lalu "kamu" bertanya, apakah Puan Maharani tidak mendengar tentang banyaknya pertokoan dan usaha yang tutup karena bangkrut? Puan Maharani pasti mendengar, dan ia paham betul, bahwa soal bangkrut dan tidak, bukan semata soal daya beli, tapi juga soal gempuran inovasi dan kreativitas. Bangkrut atau tutupnya beberapa gerai toko seperti Sevel, Lotus, Ramayana, atau mungkin Matahari adalah contoh bagaimana inovasi dan kreativitas itu penting. Di tengah persaingan dunia usaha yang semakin ketat, usaha yang ada tak bisa hanya tampil "begitu-begitu saja". Bahkan saham perusahaan sekelas Yahoo dijual sebab mengalami kemunduran, digilas habis oleh Google. Apakah itu kesalahan pemerintah? Kesalahan Puan Maharani?

Puan Maharani sudah melakukan dengan baik tugas dan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Jika tidak malas membaca berita, lalu mengomparasikan beberapa berita dan tidak hanya membaca berita yang dari semula diniatkan untuk nyinyir  saja, tentu penilaian dan analisa yang ada akan lebih "bergizi".

Anehnya, Puan Maharani tetap dikatakan tidak bekerja, karena memang ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya! Begitu kata "kamu". Benarkah Puan Maharani tidak tahu apa yang harus dikerjakan? Jadi ceritanya, lebih tahu "kamu", ya? Jika tidak tahu yang mau dikerjakan, lalu pencapaian selama ini serta data fakta yang disampaikan itu apa? Ngarang? Coba sini, jabarkan dan berikan data "kamu" yang katanya lebih bisa bekerja ketimbang  Puan Maharani itu. Punya?

Puan Maharani adalah Menteri Koordinator, yang tugasnya adalah koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian kebijakan. Sebab posisinya sebagai Menko, maka sejatinya Puan Maharani berperan di balik layar. Semua kebijakan dan program, secara koordinatif harus didiskusikan dan dirembukkan dengan Kemenko. Jadi, jangan membandingkan kerja Kemenko dengan Kementerian Teknis yang bertugas sebagai eksekutor. Pada kondisi ini, Puan Maharani memang dipertanyakan sebab kebijakannya yang tidak "wah", tidak menggebrak, dan tidak ramai sehingga menjadi perbincangan nasional.

Hanya saja, Puan Maharani paham apa yang harus dilakukan. Ia hanya ingin bekerja, meski tanpa berita, bahkan seringnya dicerca. Posisinya sebagai Kemenko, lebih mirip sebagai posisi seorang Bek dalam lapangan sepakbola. Tak banyak dikenal karena bukan juru gedor yang mampu membobol lawan, tapi posisinya sangat vital. Sebagus apapun penyerangnya, tanpa pertahanan yang kuat, hanya akan menjadi tim yang layak ditertawakan. Bek sering terlupakan sebab terlena dengan sosok penyerang, padahal posisi Bek juga penting dan sangat berperan, dan Puan Maharani menjaga betul koordinasi dan pelaksanaan tugasnya dengan Kementerian atau Lembaga yang ada dibawah tanggung jawabnya.

Beberapa tulisan beredar, menegasikan posisi Puan Maharani sebagai anak gawang, yang kerjanya mungutin  bola saat keluar lapangan. Katanya, itu dilakukan Jokowi, hanya untuk membahagiakan Megawati. Dengan bahasa yang menggugah, tulisan itu seperti benar. Padahal tak ada satu data dan fakta kerja Puan Maharani pun yang dijelaskannya. Tentulah merupakan analogi yang salah dan kacau, apalagi dalam konteks politik nasional, nama Puan Maharani jelas memberikan dampak politik yang lebih besar jika dibandingkan dengan Kemenko atau menteri lainnya. terlebih lagi, tak ada satu pos Kementerian pun yang tidak penting! Tak ada!

Setelah data dan fakta yang dijabarkan oleh Puan Maharani, masihkah "kamu" mencari alasan untuk menegasikan Puan Maharani meski secara nyata ia sedang shalat, dan mungkin saja sebagian kebijakan koordinatifnya, justeru sudah "kamu" rasakan dan nikmati? Aneh. Menikmati kebijakan, tapi nyinyir  pada pembuatnya. Absurd.

Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun