Fenomena hoaks di Indonesia benar-benar menggurita. Siapa pun, yang aktif di dunia internet dan menjadi warganet yang setia, akan bertemu dengan hoaks, atau mungkin secara tidak disadari ikut menyebarkan berita itu. Banyak yang menjadi korban hoaks, sebab sifatnya yang "menghebohkan" meski isinya serba dusta dan fitnah. Hoaks telah merusak akal sehat, dan itulah yang akan menjadi pertaruhan jika hoaks tetap dibiarkan.
Kegaduhan yang terjadi di negeri ini, tak bisa dilepaskan dari keberadaan hoaks. Semakin mengerikan (istilah yang digunakan oleh Presiden Jokowi), ketika ditemukan "sindikat" bayaran yang memang khusus diciptakan untuk menciptakan konflik dengan provokasi dan fitnah yang mengandung unsur SARA, namanya Saracen. Mengerikannya lagi, diduga tidak hanya "sindikat" itu yang diduga bermain, tapi kemungkinan ada sindikat-sindikat lain yang belum terungkap.
Maka, bisa dibayangkan bagaimana rusuh dan gaduhnya dunia media sosial kita ketika banyak orang menjadi korban dari informasi hoax yang bertebaran. Jangankan masyarakat awam, bahkan sekelas menteri juga tak luput dari korban hoax, seperti yang terjadi pada Tifatul Sembiring baru-baru ini, yang akhirnya meminta maaf.
Dengan Informasi hoax, seseorang bahkan berani menghakimi orang lain. Kebencian dan caci maki bertebaran, kemudian. Masih ingatkah tentang pernyataan politisi Gerindra Arif Poyouno yang mengafiliasikan PDIP dengan PKI, lalu meminta maaf setelah membuat marah banyak orang? Gaduh untuk hal-hal yang kontraproduktif, meninggalkan pembangunan bangsa yang mestinya didahulukan.
Puan Maharani pun kerap dihantam oleh informasi hoax. Berbagai pernyataannya pun kerap diplintir lalu diviralkan dengan nada provokatif yang sarkas. Sebagai politisi, sekaligus menteri, tentu saja wajar. Coba saja kita cek di google. Ketika mengetik nama Puan Maharani, yang muncul adalah "Puan Maharani Selingkuh, Puan Maharani Masuk Kristen, Puan Maharani Menteri Goblok"Â dan berbagai kalimat lain, yang setelah dibuka, isinya merugikan dan provokatif. Tak layak secara jurnalistik dan moral.
Menghadapi itu semua, Puan Maharani, selalu tampil tenang dan bijak. Tentu saja itu merugikan, tapi Puan Maharani lebih memilih untuk menghadapi dengan kepala dingin, dengan sebuah kesadaran murni, bahwa masyarakat Indonesia cerdas dan akan tahu yang mana informasi yang hoaks dan mana informasi yang benar. Puan Maharani tak terlalu ambil pusing, karena tugasnya bukan mengomentari informasi yang tidak penting. Tugasnya adalah bekerja dan mengabdi untuk negara.
Selanjutnya, Puan Maharani lebih memilih untuk memberikan pendidikan yang baik bagi generasi bangsa, yaitu untuk membiasakan diri mengonsumsi informasi yang layak baca. Tidak cepat tertarik dengan judul yang luar biasa sementara isinya minus fakta. Biasakan untuk mengomparasikan berbagai bacaan, dan tetap menjadikan media mainstream  sebagai pegangan karena setidaknya, mereka lebih diakui secara jurnalisme kepenulisan. Hentikan kebiasaan shareberita sebelum memastikan itu adalah fakta. Jauhi kebiasaan caci maki dan menghina!
 Bagitulah cara cerdas Puan Maharani menghadapi sekaligus menghindar dari bahaya hoaks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H