Mohon tunggu...
Advokat Agus Candra
Advokat Agus Candra Mohon Tunggu... Administrasi - Advokat dan Konsultan HKI

Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Advokat di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Praktisi di Bidang Hukum Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Menjadi Pembicara HKI di Radio Suara Edukasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pembicara HKI untuk Lembaga Pendidikan Non Formal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pembajakan Software dan Solusi Mengatasinya

29 Oktober 2009   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:30 9217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Foto)

Berdasarkan survei International Data Corporation (IDC) tahun 2007, Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 108 negara dengan angka penggunaan software (perangkat lunak) ilegal mencapai 84 %. Angka persentasi ini menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2006 yang mencapai 85 % (Prihatman, 2009 dalam Sains dan Teknologi 2). Meskipun begitu, tingkat pembajakan software (perangkat lunak) ilegal hanya bisa dikurangi 1 % saja dalam waktu satu tahun dari tahun 2006-2007. Dilihat dari data ini, maka bisa kita simpulkan bahwa tingkat pembajakan software ilegal masih sangat tinggi di Indonesia. Sesungguhnya tingginya penggunaan software ilegal ini lambat laun akan mematikan kreatifitas masyarakat Indonesia, karena mereka hanya akan menjadi pengguna instant produk software proprietary (tertutup) saja tanpa mau mengutak-atik prosesnya.

Sesungguhnya kita bisa menghindari penggunaan Software ilegal yaitu dengan beralih ke penggunaan software open source (terbuka). Sebagaimana diketahui, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva mencanangkan negaranya untuk menggunakan software open source agar dapat menghemat penggunaan uang negara (Kadiman K, Kompas 6/6/09).

Keuntungan lainnya dengan penggunaan software open source adalah melatih kita agar bisa menjadi seorang programer, karena software open source, source codenya yang terbuka dan bebas untuk dimodifikasi, dan dikembangkan. Hal ini tentu berbeda jika kita hanya menggunakan software proprietary (tertutup) sehingga hanya membuat kita sebagai pengguna saja. Sesungguhnya menggunakan software open source sangat cocok untuk negara-negara berkembang, karena akan menghemat penggeluaran belanja negara. Selain itu menurut Betti Alisjahbana (Praktisi Teknologi Informasi Indonesia), perusahaan-perusahaan di negara berkembang yang menggunakan software open source hanya akan mengeluarkan biaya 1/5 saja untuk biaya pelatihan SDM dari biaya pembelian lisensi software proprietary (tertutup).

Berdasarkan pengalaman yang dilakukan penulis, software open office 3 yang bersifat open source hanya memiliki ukuran 151 MB saja, sehingga sangat muat untuk di simpan dalam Flashdisk yang berkapasitas kecil, tentu dengan ukuran kecil seperti ini sangat mudah untuk membawa open office 3 kemana-mana, karena bersifat free dan terbuka. Selain itu, tampilan dan kualitas open office 3 pun tidak kalah dengan software pengolah kata yang bersifat proprietary (tertutup).

Menggunakan software Open Office 3 menimbulkan rasa aman bagi penulis, karena kita mendapatkannya secara legal, karena software ini bebas dan terbuka dan dapat digunakan secara gratis. Sebagaimana diketahui, software-software proprietary (tertutup) mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia yang menurut UU Hak Cipta no 19 tahun 2002 pasal 30 dikatakan bahwa : “Hak Cipta atas ciptaan Software (Program Komputer) mendapatkan perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan” ini berarti, jika kita mengunakan software bajakan dalam masa waktu perlindungan 50 tahun tersebut, maka kita bisa dikenakan tindakan pidana yang menurut BAB XIII Tentang Ketentuan Pidana Pasal 72 : (3) dikatakan : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Oleh karena itu, maka gunakanlah software proprietary yang legal dimanapun baik itu untuk keperluan perkantoran, pendidikan, maupun bisnis. Namun, jika kita memiliki keterbatasan biaya untuk mendapatkan software proprietary yang dibeli secara legal, maka kita bisa menggunakan alternatif lain yaitu menggunakan software open source yang tersedia secara gratis. Oleh karena itu, kepada vendor-vendor pembuat Software proprietary (tertutup) harus bisa memberikan harga yang terjangkau khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pemberian subsidi dan lisensi untuk penggunaan lebih dari 1 komputer agar diberikan agar masyarakat pun mampu membeli software proprietary yang legal. Lisensi penggunaan lebih dari satu komputer tentu akan meningkatkan penjualan software proprietary itu sendiri khususnya untuk segmen pendidikan, kesehatan, dan sosial. Karena bagaimana pun menurut pasal 15 UU no 19 tahun 2002 poin g dikatakan bahwa : “Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer (bukan pemegang hak cipta) yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak cipta”. Melihat penjelasan poin ini, maka setidaknya UU masih memberikan hak kepada pembeli software asli untuk melakukan back up sofwere asli dengan tujuan untuk cadangan, asal tidak untuk dikomersilkan kembali. Maka, jika undang-undang memberikan keleluasaan ini, maka sudah saatnya vendor-vendor pembuat software proprietary memberikan penjualan lisensi untuk penggunaan lebih dari 1 komputer dengan harga yang terjangkau, sehingga akan meningkatkan penjualan dan masyarakat dapat membeli dengan biaya yang terjangkau. Strategi ini tepatnya ditujukan untuk segmen pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Apapun pilihan anda, selalu belilah software proprietary yang legal atau gunakan software open source, tidak ada masalah semua pilihan ada di tangan anda. Yang jelas, kita tetap terus bersalah jika melegalkan pembajakan software proprietary dan tidak pernah mau belajar software open source.

Penulis, Pengamat Hak Cipta Software, Bekerja di Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Ambadar & Partners

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun