Viral merupakan sebuah kata padanan yang awal penggunaannya mengindikasikan penyebaran secara cepat, terutama dalam konteks kesehatan, yaitu penyebaran virus. Namun, di era digital yang dimulai di abad 21 ini, setelah adanya perkembangan drastis teknologi, kata "viral" mulai bergeser makna ke arah persebaran informasi yang cepat dan menarik perhatian masyarakat. Peralihan makna kata viral ini dapat terlihat jelas ketika era media sosial mulai menjadi salah satu media utama komunikasi masyarakat di dunia, terutama di Indonesia.
Saat ini, viral telah menjadi komoditas penting yang banyak dicari-cari oleh orang-orang. Banyak jalan yang ditempuh untuk mendapatkan keviralan, baik melalui hal-hal positif maupun negatif. Fenomena ini menciptakan peluang baru, tetapi juga tantangan besar terkait dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Sebelum era digital merebak ke berbagai pelosok dunia seperti sekarang, untuk menjadi terkenal dan dikenal orang, seseorang harus melalui media massa seperti koran, radio, maupun televisi. Ketenaran memang telah menjadi hal yang didambakan banyak orang dari era sebelumnya. Namun, dengan susahnya menembus media massa dulu, sebuah ketenaran tidak menjadi hal yang sangat dicari. Kebanyakan orang lebih fokus pada kehidupan sehari-hari mereka.
Semua itu berubah dengan munculnya era digital. Informasi bisa disebarkan dengan sangat cepat dan luas berkat adanya media sosial. Platform seperti Instagram, Twitter, TikTok, YouTube, dan Facebook memberi kesempatan bagi siapa saja untuk mendapatkan ketenaran dalam waktu singkat. Bahkan, tanpa latar belakang khusus atau sumber daya besar, seseorang bisa viral hanya dengan unggahan yang menarik perhatian.
Ketenaran ini datang dengan berbagai keuntungan. Salah satunya adalah potensi pendapatan yang bisa diperoleh. Para influencer atau pembuat konten yang berhasil viral, misalnya, bisa memperoleh penghasilan dari iklan, endorsement produk, hingga peluang kerja sama dengan berbagai brand. Dengan potensi tersebut, tak heran jika banyak orang kini berlomba-lomba untuk menjadi viral, tanpa memandang cara atau dampaknya.
Keviralan sering kali tidak dapat diprediksi, meskipun ada faktor-faktor tertentu yang dapat mempercepat penyebarannya. Salah satunya adalah elemen emosional atau kejutan yang hadir dalam sebuah konten. Konten yang dapat menggugah emosi, baik itu kebahagiaan, kemarahan, kejutan, atau ketertarikan, cenderung lebih cepat tersebar luas.
Faktor kedua adalah kemampuan konten untuk "menarik" perhatian dalam waktu singkat. Dengan semakin pendeknya rentang perhatian masyarakat di era digital, video berdurasi pendek, gambar menarik, atau meme yang lucu sering kali lebih mudah menyebar daripada teks panjang atau artikel yang memerlukan perhatian lebih.
Platform media sosial memainkan peran penting dalam mempercepat penyebaran konten viral. Algoritma platform seperti TikTok, Instagram, dan X (sebelumnya Twitter) dirancang untuk menampilkan konten yang sedang tren, membuatnya lebih mudah bagi pengguna untuk menemukan dan membagikan konten yang sedang viral. Fitur like, share, dan komentar juga menjadi alat yang meningkatkan kecepatan dan jangkauan dari sebuah konten.
Namun, meskipun ada mekanisme yang jelas di balik keviralan, tetap saja banyak faktor yang bersifat acak, seperti timing yang tepat atau pengaruh dari selebriti dan influencer. Keviralan juga tidak selalu bergantung pada kualitas konten, melainkan lebih pada bagaimana konten tersebut dapat menarik perhatian orang dalam waktu singkat dan membuat mereka ingin membagikannya.
Seiring dengan bertumbuhnya popularitas fenomena viral, muncul pula berbagai keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan. Bagi individu atau brand, viralitas dapat membawa keuntungan ekonomi yang signifikan. Pengaruh yang didapatkan dari keviralan dapat menciptakan peluang besar dalam dunia bisnis, politik, atau hiburan. Seorang influencer atau kreator konten yang viral, misalnya, dapat menarik perhatian sponsor atau merek untuk bekerja sama dalam kampanye iklan, yang tentunya dapat mendatangkan pendapatan besar.
Namun, ada pula kerugian yang tak bisa diabaikan. Keviralan sering kali datang dengan tekanan psikologis yang besar bagi individu yang terlibat. Konten yang viral tidak selalu berisi hal positif atau konstruktif; banyak juga konten yang justru berisi ujaran kebencian, hoaks, atau informasi yang tidak akurat. Hal ini berpotensi menciptakan dampak negatif bagi individu atau kelompok yang terlibat, baik dari segi reputasi maupun kesehatan mental.
Bagi masyarakat luas, keviralan dapat menciptakan fenomena yang mengarah pada kecanduan sosial media, di mana orang lebih fokus pada upaya menjadi terkenal daripada pada nilai-nilai yang lebih mendalam. Fenomena ini juga sering kali melahirkan standar kecantikan atau kesuksesan yang tidak realistis, yang dapat memengaruhi citra diri dan kesejahteraan psikologis individu, terutama di kalangan generasi muda.
Viralitas yang kini begitu diidam-idamkan banyak orang menuntut sikap yang lebih bijak dalam mengelola apa yang kita bagikan di dunia maya. Meskipun tampaknya menjadi viral memberikan banyak keuntungan, di baliknya terdapat tanggung jawab besar. Bukan hanya bagi individu yang terlibat, tetapi juga bagi platform dan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai individu, kita harus sadar bahwa apa yang kita unggah bisa memengaruhi orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mempunyai tanggung jawab terhadap konten yang kita buat dan bagikan adalah hal yang sangat penting. Dengan kata lain, meskipun keviralan menawarkan keuntungan yang besar, kita tidak boleh mengorbankan nilai-nilai etika dan moral hanya demi mendapatkan perhatian atau popularitas.
Di sisi lain, platform media sosial juga memiliki peran besar dalam memastikan bahwa konten yang viral tidak merugikan banyak pihak. Mereka harus lebih selektif dalam menyaring konten yang dapat berdampak negatif, dan mengedukasi pengguna untuk lebih berhati-hati dalam berbagi informasi. Selain itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan literasi digital yang lebih baik, agar kita semua bisa lebih bijak dalam memanfaatkan potensi dunia digital.
Referensi :
Agustina, L. (2020). Viralitas konten di media sosial. Majalah Semi Ilmiah Populer Komunikasi Massa, 1(2), 149-160.
Bernatta, R. A. R., & Kartika, T. (2020). Fenomena Massa Dalam Mencari Informasi Viral Pada Media Sosial Instagram. Jurnal Sains Sosial Dan Humaniora, 4(2), 153-65.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H