Mohon tunggu...
Agus Amarullah
Agus Amarullah Mohon Tunggu... Kuli Markom -

Makan 3x sehari. Mandi 2x sehari. Mikir sesekali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harapan dan Ketakutan

11 Oktober 2018   11:04 Diperbarui: 11 Oktober 2018   11:37 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbak Upin menginginkan tas Kremes dan sudah terbayang kebahagiaan yang didapat saat nanti barang itu benar-benar bisa dimilikinya. Dia bisa berpamer ria saat arisan dan reuni bulan depan. Yang muncul di sini: harapan.

Mbak Ipin menginginkan tas Kremes (juga) dan terbersit ketakutan jika tas itu sampai tidak bisa dimilikinya, maka dia akan merasa malu dan akan tersisih dari kerasnya persaingan dunia sosialitanya. Yang muncul di sini: ketakutan.

Coba kita lihat, objek keinginannya sama, tapi sikap dan reaksinya yang berbeda.

Dalam agama, urusan harapan dan ketakutan sudah menjadi hal mainstream dalam pendekatan-pendekatannya. Dua kekuatan utama inilah yang akan mendorong manusia untuk bertindak. Harapan akan janji surgawi dan ketakutan akan siksa neraka adalah narasi untuk mendorong manusia berbuat kebaikan. Melakukan hal-hal yang baik karena harapan surgawi, dan mencegah hal-hal buruk karena ancaman siksa neraka.

Bahkan di zaman sinetron ala-ala majalah Hidayah seperti sekarang ini, ancaman siksaannya bukan saja api neraka, tapi saat masih mau dikuburkan pun, mayatnya sudah terkena coran semen beton ditambah serangan meteor dari langit. Sungguh mengerikan.

Dalam kajian psikologi pun banyak ahli yang membahas topik ini sebagai materi kajiannya. Mas Anthony Robbins misalnya, beliau dalam penelitiannya mendapatkan fakta bahwa ketakutan justru jauh lebih besar pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dibandingkan dengan harapan sebagai pendorongnya. 

Namun lain lagi pendapat dari psikoanalis, Mbak Joyce Mcfadden, yang menegaskan bahwa baik harapan maupun ketakutan adalah motivator. Bedanya, harapan menciptakan ruang dalam pikiran dan hati kita, sedangkan ketakutan lebih sering membatasi kita.

Saat kita ketakutan sang pacar direbut orang, bawaannya selalu curiga, gampang marah, hati tidak tenang dan pikiran menjadi hanya terfokus kepada situasi yang tidak sama sekali menenangkan. Dunia benar-benar dibatasi oleh keadaan itu.

Lain halnya ketika kita merasa percaya sama pacar dan menyandarkan harapan padanya, hati akan terasa lega dan kita akan tampil bersahabat pada lingkungan sekitar. Hidup penuh ceria. Dunia menjadi mengembang dan penuh dengan gagasan-gagasan.

***

Jika harapan dan ketakutan adalah pendorong manusia untuk berbuat sesuatu, maka dalam perpolitikan pun kedua pendekatan ini dipakainya. Narasi-narasi yang dibangun akan berlandaskan kepada kedua hal itu.

Sejauh ini tim dari Jokowi dalam materi kampanyenya terus konsisten dengan narasi-narasi yang bersandar pada tema harapan. Apa dan bagaimana sebuah capaian-capaian yang telah bisa kita raih, mimpi dan harapan apa ke depan yang harus kita tuju adalah konten-konten yang dikedepankan.

Di sisi lain, terlihat kalau tim dari Prabowo sangat getol membuat narasi-narasi kampanye yang bersandar pada tema ketakutan. Tidak heran jika narasi tentang kebangkrutan Indonesia karena hutang negara, penjajahan asing pada aset-aset negara, masuknya jutaan orang PKI dalam kehidupan berbangsa kita sampai dengan narasi ketakutan hilangnya kesempatan kerja karena serbuan TKA menjadi narasi mainstream dalam materi kampanyenya.

Harapan dan ketakutan sama-sama diperlukan supaya selain kita optimis menjalani hidup, sekaligus juga kita selalu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk.

Yang menjadi masalah adalah jika pendekatan itu didasari bukan dengan fakta, tapi bersumber dari hoax yang tak berdasar, maka kita semua sudah bisa menilai dan menentukan pilihan mana yang seharusnya kita pilih.

Ingat, anda adalah apa yang anda pikirkan.
Jika anda berpikir selalu ada harapan untuk mendapatkan jodoh, maka jodoh itu pasti akan datang. Tapi jika anda berpikir penuh ketakutan kalau jodoh itu (seakan) stoknya sudah habis, maka selamanya anda akan hidup berkesendirian.

Kalimat terakhir tidak nyambung dan terlalu memaksakan. Gak apa-apa. Sebagai orang yang bermental Kopassus, saya bisa melakukan apa saja, termasuk memaksa anda.

Dor...!!!
Mati kau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun