Mohon tunggu...
Agus Amarullah
Agus Amarullah Mohon Tunggu... Kuli Markom -

Makan 3x sehari. Mandi 2x sehari. Mikir sesekali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Melihat Mereka Begitu Lugu

20 Maret 2018   16:51 Diperbarui: 21 Maret 2018   00:01 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap melihat WAG (WhatsApp Grup), selalu saja menemukan keluguan-keluguan yang dilakukan secara berjamaah apalagi kalau keluguan itu bersumber dari materi yang berbau agama. Tak jarang, di ujung postingan selalu ada kalimat penutup yang seakan-akan dengan menyebarkan materi itu akan dibalas dengan pahala. Tak cukup dengan menyebarkan, reply pesan pun saling bersahut-sahutan yang kadang diiringi ungkapan-ungkapan Islami seperti Allahu Akbar, Subhanallah, Masya Allah, dan lain sejenisnya.

Agama sama halnya dengan preferensi politik, mempunyai tempat khusus di dalam otak pikiran manusia, tepatnya di nucleus accumbent, sebuah bagian di otak depan yang mengatur semua aktivitas mental dan emosi. Tidak mudah untuk menembus bagian ini. Dan itu dibuktikan dengan beberapa social experiment yang dilakukan oleh para peneliti dengan sebuah kesimpulan bahwa saat terjadi dominasi emosi, maka kecerdasan logika cenderung akan melemah.

Lihat saja bagaimana reaksi kaum lugu ini saat mempercayai dengan mudahnya tentang kasus telur palsu. Selama narasi itu dibawakan memakai simbol agama dan politik, maka tidak terlalu sulit bagi mereka untuk langsung mengimaninya. Kasus telur bisa dibungkus dalam bingkai politik dan agama dengan polesan akhir bahwa negara lalai melindungi rakyatnya dari serbuan telur palsu yang didatangkan dari China, sebuah simbol yang terlanjur terpersepsikan sebagai antagonis dari agama Islam.

Dr. Andrew Newberg, seorang neurologis dalam bukunya yang terkenal 'How God Changes Your Brain', menegaskan dalam pernyataannya, "Generally, religious and spiritual beliefs and practices reduce depression, stress and anxiety and provide people a sense of meaning and purpose."  Dalam pengertian lain bahwasannya keberadaan agama dan kepercayaan dalam kerangka kerja otak itu berpengaruh besar dalam proses pengurangan rasa depresi, stress dan rasa cemas ke dalam sebuah suasana yang mendamaikan.

Namun di sisi lain, Newberg pun mengingatkan konsekuensi negatif dari hal itu yang sifatnya sangat subyektif, termasuk pembenaran-pembenaran dari sebuah klaim yang sifatnya tekstual. Seperti disinggung di atas, pada saat kecerdasan emosi mendominasi, maka kecenderungan kecerdasan logika akan melemah yang berpotensi adanya dominasi tekstual bukan konseptual, dominasi mindset bukan komparasi serta dominasi siapa bukan apa.

Kondisi ini pada saat bersinggungan dalam kehidupan sosial, maka akan menghasilkan berbagai konsekuensi logisnya.

Pada saat seseorang secara ekonomi sudah mapan dan merasa "sudah waktunya" untuk mendalami ibadah agama, maka dorongan 'spiritual' itu adalah lumrah adanya. Maka dia akan mencari dan bergabung dengan orang lain yang berkebutuhan batin yang sama. Pada saat dia bertemu dengan pemuka agama yang tekstual, maka kekosongan batin itu akan diisinya dengan cara pemahaman dan pola pikir yang tekstual juga.

Pun ketika seseorang yang hidupnya penuh dengan kegetiran dan kepedihan yang seakan dunia tidak pernah berpihak kepadanya, maka dia pun merasa dahaga dan membutuhkan cara melepaskan segala rasa kepedihan itu. Lagi-lagi, saat dia bertemu dengan pemuka agama yang tekstual, maka kekosongan itu akan langsung diisi dengan pola pikir dan pemahaman secara tekstual juga.

Dan kita akan melihat banyak contoh nyata bagaimana keriuhan orang saat merespon sebuah ayat Quran misalnya. Karena di dalam Quran sendiri, terdapat 2 jenis ayat yang bermakna jelas (muhkamat) dan ayat yang tersamar (muthasyabihat). Di sini kita akan melihat keluguan lain saat ayat tersamar dan konseptual karena asbabun nuzul-nya, langsung dipahami secara tekstual.

Hal yang tak kalah menariknya adalah terjadinya dominasi siapa bukan apa. Maksudnya gini, jika ada seorang ulama yang jelas-jelas menghina orang lain, maka para jamaah lugu ini mengamininya karena ucapan sang ulamanya adalah sebuah kebenaran. Tidak tersisa sikap komparasi mereka kalau yang namanya menghina dan memfitnah adalah sangat tercela dalam agama.

Hingga sampai di titik yang paling ekstrim terjadi dikotomi konyol yang membagi antara ini ulamaku dan itu ulamamu. Dan berujung pada histeria lugu #BelaUlama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun