Mohon tunggu...
ortega68
ortega68 Mohon Tunggu... -

Dari rakyat kecil dan berjuang untuk rakyat kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemerintah dan Ulama Hendaknya Berfikir Sehat dalam Menetapkan Awal Ramadhan dan Syawwal

31 Agustus 2011   02:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika beberapa komet yang mendekati orbit bumi dalam siklus puluhan bahkan ratusan dan mungkin ribuan tahun dapat diketahui oleh manusia. Ketika akan terjadi gerhana matahari ataupun bulan seminggu, sebulan, bahkan beberapa tahun sebelum terjadi manusia sudah dapat mengetahuinya hingga jam, menit, sampai detik lama gerhana matahari/bulan dapat diperhitungkan. Kemudian posisi wilayah untuk dapat melihat secara sempurna gerhana matahari/bulan jika terjadi gerhana total juga dapat diketahui jauh sebelum terjadi.

Jika demikian, apa yang harus diragukan lagi akan kemampuan manusia dalam memahami ilmu astronomi/falaq/perbintangan. Bagi ahlinya sesungguhnya perhitungan2 peredaran planet, matahari, maupun bulan yang ada merupakan suatu konstanta alam. Tingkat kerumitan dalam perhitungan saat sekarang ini semakin mudah dipecahkan seiring pesatnya revolusi teknologi luar angkasa. Masih adakah keraguan terhadap kemampuan manusia dalam memahami ilmu astronomi/falaq/perbintangan.

Sepercik uraian di atas bukanlah wujud kesombongan manusia menentang Tuhannya. Akal budi manusia amat sangat terlalu kecil jika dibandingkan dengan ilmu Tuhan, namun kita tidak mengetahui secara pasti batasan ilmu manusia yang diperumpamakan Tuhan seukuran satu tetes air di lautan. Mungkin saja ilmu pengetahuan manusia saat ini baru setengah, seperempat, persepuluh atau mungkin saja masih permil, wallahu a,alam bisshawab.

Terkait dengan penetapan satu ramadhan maupun satu syawal yang mendasarkan pada perhitungan peredaran bulan terhadap bumi (tahun qomariyah). Ratusan bahkan ribuan tahun sebelum ilmu astronomi berkembang, manusia sudah mengetahui gejala alam ruang angkasa yang paling primitif yaitu penanggalan qomariyah dengan distorsi yang relatif minim. Jika di jaman sekarang ini masih ada keraguan terhadap perhitungan tersebut, sepertinya ada ketidak percayaan umat Islam terhadap iptek dalam mendukung kemaslahatan umat.

Masihkan ru’iyat diperlukan?, ru’iyat sebagai dasar menetapkan awal bulan sudah dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam dan kemudian dilanjutkan kebiasaan tersebut oleh umat Islam di jaman Rasulullah sampai sekarang ini termasuk mayoritas umat Islam di Indonesia, hanya saja di Indoensia rukyat lebih populer ketika mendekati awal Ramadhan dan Syawal. Dalil nakli yang paling kuat untuk dilakukannya ru’iyat adalah surat Al-Baqarah 185 yang dijabarkan kembali oleh Abu Hurairah dalam hadits Muslim yang berbunyi “ Berpuasalah karena melihat bulan dan berharirayalah karena melihat bulan, jika terhalang awan maka berpuasalah 30 hari”.

Polemik yang terjadi dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawwal bersumber dari pemaknaan kata“menyaksikan/melihat”. Pernahkah kita berfikir mengapa Tuhan memilih kata “menyaksikan/melihat” dalam firmannya?. Pertanyaan yang hampir sama juga adalah mengapa Al-Qur,an turun dengan bahasa Arab tidak menggunakan bahasa Inggris, Jerman, Aram, atau bahasa Minang, Jawa, Bugis atau yang lainnya ?.

Ru’iyat di Indonesia sebenarnya juga merupakan ilmu yang tergolong relatif baru bagi mayoritas Islam. Jika kita telusuri umat Islam tempo dulu lebih banyak menggunakan perhitungan turun-temurun sehingga di beberapa daaerah masih mempergunakannya dan juga oleh beberapa jamaah masih mendasarkan pada hitung-hitungan tersebut, dan walhasil mereka tidak jarang mendahului jamaah lain yang juga masih mempeributkan metode yang dipergunakan.

Penggunaan ru’iyat memiliki konsekwensi diantaranya adalah jika keputusan hasilnya dipergunakan secara nasional beresiko informasi lambat diterima oleh masyarakat apalagi di Indonesia yang sangat luas terbagi dalam tiga wilayah pembagian waktu (WIB, WITA, WIT). Dan jika secara akurat diperhitungkan penampakan bulan awal hampir mengalami perbedaan sudut pandang di atas ufuk di banyak belahan wilayah Indonesia.

Dengan demikian tidaklah lazim jika hasil ru’iyat di satu wilayah tertentu di generalisasikan untuk semua wilayah Indonesia. Jika menggeneralisasikan hasil ru’iyat di wilayah yang seluas Indonesia, kenapa tidak sekalian mengacu pada Arab Saudi mengenai masuknya Ramadhan dan Syawwal jika di negara asalnya masih menggunakan ru’iyat. Atau menggunakan hasil ru’iyat negara-negara yang secara geografis memiliki kesamaan posisi letak lintang baik diutara maupun selatan, jika ternyata Indonesia gagal dalam meru’iyat.

Tidak seharusnya ru’iyat dijadikan patokan untuk sebuah keputusan nasional mengingat wilayah Indonesia sangat luas, jadi negara tidak bisa mengintervensi kapan masuknya awal Ramadhan dan Syawwal. Karena wilayah tertentu di Indonesia memiliki peluang perbedaan hasil rui’yat bukan faktor awan akan tetapi faktor sudut dari posisi bulan sendiri yang mungkin bisa/tidak bisa dilihat.

Astronomi sebagai solusi penetapan awal Ramadhan dan Syawwal. Kembali ke pertanyaan, pernahkah kita berfikir mengapa Tuhan memilih kata “menyaksikan/melihat (bulan)” dalam firmannya?. Mungkin saja tidak pernah ada alasanya dalam asbabunnuzul (sebab-sebab turun ayat), namun tidak ada salahnya berpendapat bahwa kondisi iptek pada saat itu tidak mungkin Rasulullah menggunakan alat bantu seperti teropong apalagi menggunakan perhitungan astronomi/falaq.

Pertanyaan lain apakah perintah Tuhan dalam Al-Baqarah 185 itu bermakna setiap orang yang berpuasa harus melihat bulan, atau cukup perwakilan dalam komunitas? Sepertinya pertanyaan konyol, akan tetapi dapat mengarahkan pada satu pemahaman bahwa kata “Menyaksikan/melihat” memiliki makna lebih luas pada kemampuan orang Islam yang dipercaya dan siap bersumpah untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan dan Syawwal dengan cara-cara yang telah mendapatkan pengakuan para ahli di dunia Islam (dibatasi pada dunia Islam karena menyangkut aqidah).

Jika ilmu falaq ternyata sudah diakui mutlak oleh dunia Islam, mengapa hasil-hasilnya masih diragukan, hanya karena alasan teks yang konteksnya sangat jauh berbeda dengan kondisi saat sekarang ini. Kalau alasan klasik dalam menetapkan jatuhnya awal Ramadhan dan Syawwal masih dipertahankan, apa tidak sebaiknya Masjid tidak usah pakai spiker karena jaman Rasulullah itu tidak ada, apa tidak sebaiknya umat Islam itu wajib berkendaraan onta/kuda/jalan kaki karena jaman Rasulullah tidak ada kendaraan bermotor apalagi pesawat terbang.

Tulisan ini jauh dari kesempurnaan, akan tetapi dari ketidaktahuan akan memancing pengetahuan. Dengan demikian diharapkan ada warga Kompasiana yang lebih memahami dapat menyumbangkan pendapat yang lebih akurat dan ilmiah...wassalamu’alaikum wr.wb.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun