Ada sebuah gagasan yang cukup spektakuler dari pemerintahKabupaten Bojonegoro Jawa Timur dibawah kepemimpinan Drs Suyoto, Msi yang lebih suka disapa Kang Yoto di periode kedua ini. Yaitu pembangunan sebuah Pusat Kebudayaan dan Industry Kreatif di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gagasan ini tentu saja sangat gayung bersambut dengan impian banyak orang. Sebab disaat kekuatan nation sedang tidak sehat dan gempuran budaya global tak terelakkan, semangat sukuisme dan provinsionalisme makin menguat. Terkadang keluar dari konteks ke Indonesiaan. Aset natural, sosial, politik, dan budaya terus mengalami kebangkrutan dan bisa menjerumuskan pada proses self-destroying nation, penghancuran nation dengan sendirinya, atau lebih ekstrim lagi bunuh diri ideology.
Paradoks global memang sedang terjadi di Bojonegoro, daerah agraris yang memiliki konten lokal yang kuat itu sedang memimpikan menjadi masyarakat modern, senyampang dengan proses industrialisasi migas yang membawa konsekwensi berduyun-duyunnya para pelaku bisnis emas hitam itu dari berbagai daerah bahkan negara, yang tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, khusunya yang berada di sekitar kawasan ring satu.
Perubahan gaya hidup itu tanpa disadari dengan gembira telah menanggalkan identitas lokalnya. Persoalan identitas dan kritis budaya ini memiliki kaitan tali temali dengan variabel lain sehingga harus segera dipetakan secara komprehensif spektrum permasalahannya.
Sejarah bangsa-bangsa membuktikan, semua negara atau bangsa yang ingin maju harus memiliki modal akar budaya lokal. Negara kecil seperti Jepang, misalnya, kental sekali ke-Jepang-annya. Begitu pula China, khas dan jelas ke-China-annya.
Bagaimana dengan Indonesia? wabil khusus Bojonegoro. Kaya sekali. Namun justru karena kekayaannya itu apabila salah urus, dan tidak mampu menjaganya menjadi ajimat, tentu malah rusak, dan tercerabut dari akarnya. Akibatnya, budaya unggul yang berakar pada budaya lokal itu tak menemukan rumah budayanya. Kesadaran berbudaya unggul inilah yang mungkin menghantui pikiran Kang Yoto, sehingga
mendorong masyarakat untuk menemaninya bermimpi adanya Pusat Kebudayaan di Bojonegoro, dengan menggelar jagongan untuk berbagi mimpi di halaman rumah dinas bupati, pada Selasa malam, 21 Januari lalu.
Hampir semua elemen masyarakat, mulai dari kalangan birokrasi, budayawan, seniman, kalangan akademis hingga pengusaha dan pelaku ekonomi berbasis industry kreatif dilibatkan dan diberi ruang seluas-luasnya untuk mencurahkan segala pikiran, gagasan dan persepsi serta apresianya tentang mimpi yang diharapkan menjadi mimpi bersama itu. Diantara para undangan itu terdapat nama-nama besar seperti Sirikit Syah yang datang bersama rombongan Koran nasional dari Surabaya, hadir juga public relation dari PT Telkomsel area Jawa Timur. Serta tidak ketinggalan Yusuf Susilo Hartono, putera daerah Bojonegoro, seotrang Wartawan sekaligus Budayawan yang kini tinggal di Jakarta dan getol dalam penyelenggaraan event event Kebudayaan tingkat Internasional.
Tidak bermaksud apriori, budaya, memang kerapkali hanya menjadi alat legitimasi individu dalam rangka mempengaruhi opini publik. Dalam konteks politik, idiom-idiom budaya lokal semisal sebutan Kang, Pak De, terbukti cukup efektif untuk merayu dan mendekatkan figur pemimpin ke hati rakyat. Bahasa Madura, meskipun kerapkali dijkadikan guyonan, tetapi orang Madura sendiri, siempunya bahasa tidak pernah merasa tersinggung atau terhina
Tak dipungkiri, masyarakat kita secara umum masih membutuhkan munculnya pribadi-pribadi yang memberikan sumber inspirasi atau panutan pada masing-masing lingkungan. Mulai lingkungan masyarakat, korporasi, hingga birokrasi. Dan Kang Yoto dalam konteks ini mampu memposisikan dirinya dengan tepat.
Dalam pandangan penulis, sebelum mimpi berdirinya Pusat Kebudayaan dan Industri Kreatif di Bojonegoro, ada dua hal yang harus ditancapkan bersama pengukuhan budaya, yaitu dengan pendidikan yang bagus dan dengan pemberdayaan masyarakat. Di sinilah diperlukan namanya leveled playing field, ruang bermain yang berlaku sama bagi semua warga.
Mereka yang mendapatkan kemajuan adalah mereka yang memang lebih kreatif, mereka yang lebih produktif, mereka yang bisa menghasilkan karya lebih baik. Investasi untuk tercapainya semua itu bukan hanya mahal, tetapi membutuhkan waktu yang panjang. Namun itu harus dilakukan karena pilihan lain adalah Kabupaten Bojonegoro akan menjadi terbelakang dan hanya jadi obyek eksploitasi, seperti halnya daerah daerah tambang lain di Indonesia.
Dibalik strategi budaya, tidak hanya terdapat cita-cita, namun juga panduan nilai berbangsa dan bermasyarakat, daya kerja serta kemampuan memecahkan masalah. Kebudayaan adalah dialektika antara yang kita warisi dan perkembangan peradaban yang kini tengah kita alami. Hanya saja, meski budaya merupakan proses dialektika, tetapi nilai, norma, adat, tetap mewarnai dan menjadi ciri khas dalam setiap perkembangan ke depan.
Kini yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengaudit aset budaya yang tercerai-berai dan sudah ditinggalkan itu. Aset-aset budaya ini bisa berasal dari komunitas etnis, bisa juga aset-aset unggulan pada pribadi.
Bojonegoro punya peninggalan berupa kuburan Kalang, cungkup-cungkup, masjid-masjid kuno, artefak lingga-yoni, arca-arca, gua-gua selatan, asal-usul nama desa, gerakan Samin, kelompok aliran kebatinan, tari tayub, kesenian oklik, sandur, ketoprak lesung, wayang kulit, wayang krucil, tembang, tradisi lisan , tradisi tulis, upacara tradisi, adat-istiadat, batik, kostum petani dan pengantin, kerajinan gerabah, artistektur kolonial, rumah-rumah joglo dari kayu jati, perabot antik, sumur-sumur minyak, waduk, palagan Temayang, hingga bengawan solo. Dari sisi teritorialnya pernah menjadi bagian dari kerajaan Demak, Pajang, Mataram.
Strategi kebudayaan yang bersifat lokal mensyaratkan kemampuan menghidupkan konsep filosofis yang mendasarinya tanpa lepas dari aspek historisnya. Di sisi lain, mensyaratkan program kerja dan manajemen pemerintahan agar secara sosiologis mampu hidup dan dirasakan manfaatnya dalam berbagai bentuknya.
Karena itu, sekarang ke depannya bagaimana kita bisa menghargai lagi kekayaan lokal sebagai basis identitas nasional. Membentuk karakter bangsa dengan disertai penegasan identitasnya agar tak mudah lagi dipenetrasi budaya luar. Budaya lokal inilah yang akan memberikan kontribusi identitas nasional, karena identitas nasional tanpa punya akar lokal akan rapuh.
Oleh karena itu, gagasan berdirinya Pusat Kebudayaan dan Industri Kreatif di Bojonegoro harus benar-benar direalisasikan. Kalau hal ini tidak terwujud akan menjadi dosa sosial Kang Yoto yang akan ditagih sepanjang jaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H