Kata "rakyat" sedang ramai dituliskan di seluruh penjuru tanah air, dari ruang publik sampai ruang privat. Di jalanan kata itu bertebaran di baliho dan spanduk para calon anggota legislatif yang akan mengadu nasib dalam Pemilihan Umum yang akan dihelat 9 April 2014 mendatang, bersama foto diri yang mengoda dan tulisan nama dengan huruf besar-besar untuk menjadi ingatan dalam konteks politik. Rakyat diajak berseru dengan simbol senyum paling optimis. Semua itu dipersembahkan untuk rakyat sebagai penentu suara dalam pesta demokrasi, yang dirangkai dalam 6 huruh: P E M I L U
Rakyat dalam pesta demokrasi, tentu tidak hanya patut diukur sebagai lembaran data berisi deretan nama, tempat tinggal, dan usia wajib pilih belaka. Dalam dirinya terkandung energi dan vitalitas untuk bertarung menghadapi aneka permasalahan hidup masing-masing.
Seperti lazimnya pada ritual pemilu , para caleg menawarkan janji dan harapan pada rakyat dengan kompensasi suara dan loyalitas politik. Rakyat sedang jadi sasaran untuk unjuk kekuatan, janji, dan utopia. Para politisi pun tak segan untuk harus bersikap genit dengan mengeluarkan seluruh kemampuan untuk meraih simpati rakyat agar terpilih.
Keterpilihan seseorang bukanlah prestasi dan hal yang luar biasa dalam perpolitikkan di Indonesia. Kita bisa membaca dan mencermati dalam surat kabar, yakni ada caleg atau tokoh parpol pengusung, yang datang pada masyarakat di sebuah kelurahan yang sedang dirundung kesusahan untuk memberikan bantuan. Lalu sang caleg dan tim suksesnya itu mengajak berpose bersama, sambil diam-diam atau terang-terangan melancarkan aksi bagi-bagi stiker, uang dan pernak-pernik lainnya yang mengindikasikan "ada udang di balik batu". Barangkali sudah jadi kodrat bahwa setiap tindakan cabup untuk rakyat selalu tak lepas dari pamrih politis.
Perilaku politis ini adalah kegenitan yang nyata dan semakin lumrah. Rakyat pun dengan lugas mau menerima perlakuan itu. Bukankah banyak pula rakyat pada hari ini yang tidak sungkan-sungkan lagi bertanya: apakah caleg X atau Y itu datang pada mereka dengan segepok uang atau hanya bermodalkan kesan dan pesan belaka? Pertanyaan-pertanyaan itu hendak jadi pembenaran dari kompensasi politik di Indonesia: ada keinginan dan ada pengorbanan.
Rakyat juga sedang bersikap genit dengan perilaku tidak mau kalah dalam tehnik penguasaan koprolnya. Dalam pesta pemilu tahun ini dan tahun tahuin sebelumnya, tak bisa dipungkiri masih saja kerap terjadi fenomena seribu tepuk tangan dan decak kagum pada hal-hal di luar nalar, layaknya ajang sirkus. Ketidaknalaran itu seperti mendapatkan legitimasi dari aktor-aktor politik dan rakyat yang dibuai janji dan iklan politik.
Harapan politik
"Tapi soal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan," demikian gumam Goenawan Mohamad dalam salah satu edisi catatan pinggirnya di majalah Tempo yang terkenal itu. Politisi dan rakyat memang sedang serius untuk menggerakkan perubahan daerah ini dengan realisasi harapan, setidaknya lima tahun ke depan. Pertanyaannya adalah: seberapa persenkah harapan itu mungkin terjadi? Akan lebih baik atau justru menambah celaka?
Albert Camus, filosof dan pengarang Prancis kelahiran Aljazair, pernah mengajukan arti sebuah harapan dalam karya eksistensialnyanya Mythe Sisiphus. Camus mengisahkan tentang seorang manusia setengah dewa bernama Sisiphus. Tokoh ini menjalani hukuman yang cukup konyol dari para dewa, yakni mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit untuk kemudian segera menggelindingkannya kembali ke bawah. Tindakan itu terus dilakukan berulang kali. Pertanyaannya: Muakkah Sisiphus dengan kutukan abadi itu atau justru ia kehilangan harapan? Pertanyaan ini pun pantas diberikan pada rakyat Indonesia dalam konteks pemilu. Bisakah pemilu melahirkan harapan untuk perubahan yang positif dan konstruktif?
"Tapi Sisiphus", kata Camus, "justru menemukan sesuatu yang berharga, yakni harapan yang harus dipertahankan dari derita hukuman itu." Kita pun masih berharap, bahwa para calon bupati yang akan kita pilih itu benar-benar membuktikan janji dan harapan, seberapapun klisenya janji dan harapan itu. Kita harus percaya, bahwa beraneka situasi sulit yang masih merudung daerah ini, bukan hukuman atau kutukan dari Tuhan.
Hari ini rakyat sedang menilai untuk menentukan siapa yang paling pantas mewakilinya. Rakyatlah yang justru akan mengutuki diri sendiri, jika nanti salah menjatuhkan pilihan. Jika ini terjadi, maka menjadi puncak tragedi politik di Indonesia. Sebelum kutukan itu terjadi, mari merenung untuk menguji keberanian dalam memilih dan sadar atas konsekuensi dari pemilu. Barangkali kita pun pantas untuk mengingat perkataan Jimmy Carter, mantan aktor Holywood dan Presiden AS: " "Politik itu tugas sedih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H