Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menurunnya Angka Perkawinan, Pengaruh Suksesnya Seks Education atau Meningkatnya Kemandirian Anak Muda Indonesia

10 November 2024   06:55 Diperbarui: 10 November 2024   06:55 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang sudah sepatutnya perkawinan yang terjadi di dunia modern sekarang ini apabila dua sejoli itu sudah mapan. Tidak cukup hanya cinta, emang bisa makan dengan lauk pauknya bernama cinta? Apabila kedua pasangan belum mapan alias belum memiliki pekerjaan tetap? Maka janganlah bermimpi untuk menikah, karena pernikahan zaman now itu membutuhkan biaya pesta yang besar, biaya hidup yang tinggi, dan tentunya harus punya masa depan cerah dengan karir dan pekerjaan yang mapan yang mampu menjamin damainya rumah tangga karena lebih tingginya pendapatan daripada pengeluaran, atau setidaknya balance-nya antara pemasukan dan pengeluaran.

Bukan lebih besar pasak daripada tiang, atau lebih besar pengeluaran daripada pemasukan, jika itu yang terjadi? Maka dipastikan akan terjadi 'perang' dalam rumah tangga. Si isteri akan 'komat-kamit' membaca mantra, alias merepet sepanjang hari, suami tidak nyaman dirumah akibat suasana yang tidak kondusif di rumah.

Akhirnya? Suami mencari pelarian di luar sana, atau mencari jalan pintas dengan pinjol atau main game slot atau main judi online, atau bahkan tindakan nekat lainnya. Semoga jangan terjadi seperti itu bukan?

Goodbye Pernikahan Dini

Perkawinan itu bukan sekedar menyatunya dua insan yang berbeda jenis kelamin dengan dasar cinta untuk membangun bahtera rumah tangga. Namun lebih daripada itu, perkawinan itu harus menyangkut banyak hal, termasuk kesiapan untuk tetap bersatu baik itu dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sehidup -- semati, tidak akan dapat dipisahkan, kecuali oleh maut.

Begitulah konsep perkawinan yang diajarkan kepada saya dan isteri ketika mengikuti kursus perkawinan, sebelum disahkan oleh Sakramen Perkawinan di depan Altar Gereja Suci. Kita ketika itu disadarkan akan kesiapan diri kita masing-masing untuk menjadikan dua insan menjadi satu. Jika dalam perhitungan matematika satu tambah satu sama dengan dua? Maka dalam konsep perkawinan yang kami anut, satu tambah satu itu tetap menjadi satu.

Oleh karena itu, bagaimanapun kondisi rumah tangga, apapun yang terjadi, baik itu suka dan duka harus sama-sama menjalaninya, harus mampu bertahan dalam kondisi apapun dan juga dalam terjangan badai rumah tangga.

Dulu, saya memutuskan menikah jika hidup sudah mapan, mapan dalam arti bahwa saya sudah memiliki gaji bulanan yang tetap, punya pekerjaan tetap, dan memilih isteri yang selevel dengan kita, dalam arti bukan dari kaum priyayi, kaum bangsawan, atau dari golongan yang orangtuanya kaya raya.

Karena, jika saya yang memiliki orangtua dengan penghasilan pas-pasan atau dibilang menengah ke bawah, bertemu dengan calon besan yang kaya raya? Pastinya akan ada rasa minder, dan tentunya juga nantinya akan berimbas pada keadaan rumah tangga yang nantinya pasti akan turut campur, apalagi jika si isteri melapor jika suami tidak bekerja, sering malas-malasan? Atau si isteri kekurangan uang dan meminta kepada orangtuanya? Wah entah seperti apa keadaan rumah tangga bukan?

Maka dari itu, saya tidak ada kepikiran untuk menikah sebelum memiliki pekerjaan tetap, gaji tetap, dan begitulah adanya saya menikah di usia 30 tahun, usia yang sudah mapan menurut saya.

Sejak empat belas tahun yang lalu saja sudah begitu pemikiran anak muda yang berpikir panjang jika akan menikah. Bagaimana dengan sekarang? Apakah begitu juga? Bisa dipastikan ya!

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan tren pernikahan dini di Indonesia mengalami penurunan dibandingkan 10 tahun lalu. Usia pernikahan pada perempuan juga makin naik.

Hasil penelitian menyebutkan angka penurunan perkawinan dini cukup signifikan, yakni dari semula 40 orang per seribu penduduk, kini hanya 26 per seribu penduduk. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 275 juta jiwa, maka jumlah penduduk yang melangsungkan perkawinan dini berkisar di angka 7,1 juta orang. Dari semula rata-rata usia perkawinan perempuan Indonesia di bawah 20 tahun, kini di usia 22 tahun.

Artinya bahwa kesadaran generasi muda bangsa ini untuk tidak menikah di usia dini sudah mulai terbentuk. Sekolah sebagai tempat bersosialisasi dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga tempat mendapatkan bimbingan konseling tentang berbagai hal termasuk bahaya seks bebas dan juga bahaya pernikahan di usia dini, menjadi salah satu faktor penyebab penurunan angka perkawinan dini.

Mengikuti Trend Negara Lain, Menikah Jika Sudah Mapan

Juga pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sangat berperan penting dalam membentuk generasi muda untuk tidak cepat-cepat menikah, namun menikah jika sudah menganggap dirinya dan pasangannya 'sudah mapan' dan 'sudah mantap' dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Pesatnya informasi global mengakibatkan generasi muda bangsa kita ikut-ikutan trend yang terjadi di Korea Selatan, Jepang, dan Jerman. Dimana di ketiga negara itu tingkat kesuburan merosot dimana pasangan muda enggan untuk menikah dan punya anak.

Selain itu, faktor ekonomi sosial seperti yang saya sebutkan diatas sangat berpengaruh penting dalam keputusan untuk menikah. Banyak pemuda merasa tidak siap secara finansial untuk membangun keluarga, sehingga memilih untuk menunda pernikahan. Selain itu, tekanan sosial untuk menikah mulai berkurang, memberikan kebebasan bagi individu untuk memilih gaya hidup yang lebih sesuai dengan keinginan mereka.

Last but not least, selain perubahan paradigma sosial, terutama di kalangan generasi muda, dimana banyak anak muda kita lebih fokus pada pendidikan dan karir daripada menikah, dimana penelitian menunjukkan bahwa perempuan, khususnya, semakin mengutamakan otonomi dan pengembangan diri, serta menunjukkan ketidakpercayaan terhadap institusi pernikahan yang sering kali dikaitkan dengan masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga.

Kebijakan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan juga berkontribusi pada penurunan tingkat perkawinan usia dini, dimana undang-undang tersebut menaikkan batas usia minimal untuk menikah dari 16 menjadi 19 tahun bagi perempuan, yang secara langsung mempengaruhi angka pernikahan.

Walaupun ada efek jangka panjangnya, namun harus diakui bahwa setidaknya dengan penurunan angka pernikahan usia dini telah mampu menyelematkan generasi muda bangsa ini dari kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak, dan berbagai kejahatan lainnya.

Semoga bermanfaat...

Salam blogger persahabatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun