Tak dapat dipungkiri kehadiran perangkat TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di negeri kita menjadi sesuatu yang sangat vital ketika pagebluk Covid-19 melanda seluruh dunia Internasional, termasuk di Indonesia.
Bisa dibayangkan jika kita masih hidup di era orde baru, dimana kehadiran TIK di tanah air kita dibatasi, sehingga kita tidak dapat bebas memanfaatkan kehadiran perangkat Teknologi itu dalam kehidupan kita sehari-hari, bisa dibayangkan akan seperti apa dan bagaimana kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita bukan?
Buah dari reformasi itu sangat nyata dalam segala sendi kehidupan kita sekarang, bagaimana derasnya masuk teknologi ke negeri kita yang dibarengi dengan pesatnya pembangunan infrastruktur sehingga sampai ke seluruh pelosok negeri, kita dapat menikmati perkembangan teknologi tersebut.
Percepatan teknologi digital melesat begitu cepat, tidak terbendung oleh apapun dan siapapun.
Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 berdampak besar bagi kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Era Education 4.0 menggambarkan betapa perkembangan teknologi digital telah sampai pada tahapan integrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), berpengaruh besar ke dalam berbagai perangkat dan aplikasi digital dalam system pendidikan dan mekanisme pembelajaran.
Perubahan dinamika masyarakat Society 5.0 pun turut andil dalam transformasi pendidikan, secara formal, non-formal, dan informal, dimana aksesibilitas terhadap segala macam informasi dapat dilakukan dengan mudah dan terbuka melalui berbagai layanan berbasis data di internet.
Jika pada era Education 4.0 aspek penekanannya lebih pada faktor teknologinya sebagai objek, di era society 5.0 aspek yang lebih ditekankan adalah pada faktor manusia-nya sebagai pusat (human-centered) atau subjek yang mampu dengan bijak dan kritis menyikapi dan berbagai macam perkembangan teknologi tanpa meninggalkan aspek-aspek humanisme-nya.
Oleh karenanya, sudah saatnya para Guru di tanah air ini bertransformasi dari paradigma human resources development menuju human capital, dan itu semua tertuang dalam kebijakan transformasi bernama Kurikulum Merdeka.
Merdeka Belajar memiliki arti Kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru terlebih dahulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin terjadi di peserta didik. Oleh karena itu guru harus menguasai empat (4) kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.