Kita tau dan benar-benar paham bahwasanya The Founding Fathers atau Bapak Pendiri Bangsa ini berhasil menyatukan hati, perasaan dan terutama pemikiran mereka untuk mewujudkan negara NKRI yang demokratis berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dimana Ir. Soekarno dan kawan-kawan, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Yamin, Soetomo atau lebih dikenal Bung Tomo dan banyak lagi sering rapat hingga berselisih paham dalam upaya pembentukan Negara Indonesia yang demokratis.
Seperti Pembentukan Dewan Konstituante tahun 1956, sebagai badan yang bertanggung jawab untuk menyusun konstitusi Indonesia yang melibatkan para tokoh nasional. Walau pada akhirnya dibubarkan tahun 1960, namun setidaknya mereka telah berusaha berkumpul dan berdiskusi Bersama mewujudkan Indonesia yang demokratis.
Mereka memainkan peran kunci dalam menyusun dasar negara, sistem pemerintahan, dan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi landasan bagi Indonesia modern.
Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Tak dapat dipungkiri perjalanan Panjang Indonesia menuju negara yang sudah mengalami kemajuan hingga diakui dunia Internasional seperti sekarang ini merupakan bukti dari keberhasilan era reformasi tahun 1998 lalu.
Masih kental diingatan bagaimana berdarah-darahnya para pejuang reformasi meruntuhkan dinasti kekuasaan orde baru selama 32 tahun.
Keruntuhan itulah menjadi titik balik kebangkitan dan perubahan signifikan Indonesia menuju perbaikan terutama bidang ekonomi, Pendidikan, masuknya era teknologi, hingga sistem dan tata Kelola pemerintahan demokratis sesuai dengan harapan para pendiri bangsa ini.
Walau sepenuhnya tidak  tepat, harus diakui selama 32 tahun era orde baru berkuasa, demokrasi 'dikebiri', kekuasaan bersifat sentralisasi, berpusat pada Presiden itu sendiri.
Presiden pengendali kekuasaan, memiliki sejumlah legalitas yang tak dimiliki oleh siapapun, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanyalah sebagai alat politik kekuasaan belaka.
Agar tidak terjadi lagi pengalaman pahit kekuasaan absolut, dimana presiden tidak tunduk pada pemeriksaan Lembaga lain, seperti Lembaga Yudikatif yang berfungsi untuk mengadili penyelewengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, Lembaga legislatif, pengekangan kebebasan beragama, terutama demi menjaga pertumbuhan ekonomi yang sehat agar tidak terulang Kembali krisis keuangan yang berlanjut menjadi krisis ekonomi seperti tahun 1998, maka dibutuhkan Langkah-langkah penting penguatan sistem pemerintahan yang demokratis dan melindungi hak-hak konstitusional setiap warga negara Indonesia.
Salah satu Langkah besar nyata dalam upaya menjaga keadilan konstitusional, memastikan supremasi konstitusi dan menjamin perlindungan hak-hak individu, adalah dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi melalui proses Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 2002.
MKRI didirikan sebagai lembaga peradilan yang independen dan memiliki kekuasaan untuk mengadili sengketa konstitusional. Pendirian Mahkamah Konstitusi ini juga didorong oleh kebutuhan untuk menjaga supremasi konstitusi dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Secara resmi dilantik tanggal 16 Agustus 2003 terdiri dari sembilan hakim konstitusi yang dipilih oleh DPR dan Presiden. Mereka bertugas untuk masa jabatan lima tahun.
Dalam periode pertama, MKRI berhasil menguji konstitusionalitas undang-undang yang diajukan kepada mereka, teranyar membuat keputusan historis dalam pengujian undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Keputusan ini menetapkan bahwa hak kontrol negara atas minyak dan gas bumi adalah bentuk hak konstitusional yang tak terpisahkan dari kedaulatan negara, hasil uji materi yang dilakukan oleh para hakim yang dianggap berpengalaman dan mempunyai keahlian dalam bidang hukum dan konstitusi, seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, Dr. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., M.H. berhasil memutuskan pasal yang mengatur tentang tugas dan fungsi BP Migas dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya hukum mengikat.
MKRI Benteng Konstitusi dan Perlindungan Hak Konstitusional
Dua dekade sudah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdiri dan melayani serta berhasil memutuskan sengketa konstitusional, baik yang diajukan oleh lembaga negara maupun individu.
Mahkamah ini sejatinya bertanggung jawab memeriksa konstitusionalitas undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan peraturan pemerintah. MKRI juga dapat menerima pengaduan langsung dari individu yang merasa hak-hak konstitusional mereka dilanggar.
MKRI terus mengembangkan diri dan memperkuat peranannya dalam sistem peradilan. Beberapa putusan penting telah diambil, termasuk pengujian undang-undang terhadap prinsip-prinsip konstitusi, perlindungan hak asasi manusia, dan pengawasan terhadap pemilu.
Berhubung karena ini menuju tahun 'panasnya politik', maka perlu disampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga sangat berperan penting dalam memperbaiki sistem Pemilu di tanah air.
Prestasi pertama tentunya keputusan penting saat pengujian pertama terhadap UU Pemilu yang mengatur pemilihan umum di Indonesia tahun 2004 lalu.
Banyaknya sengketa pemilu di periode itu, tercatat ada 376 perkara resmi terkait sengketa pemilu masuk ke MKRI menandakan bahwa masih banyak catatan perbaikan dalam hal pesta demokrasi di negeri kita.
Keputusan MKRI memberikan pedoman dan penafsiran hukum yang penting dalam menjalankan proses pemilu yang adil dan demokratis. Keputusan yang memberikan efek dan menjadi landasan bagi pengawasan pemilu selanjutnya di Indonesia.
Berkat Keputusan MKRI Nomor 07/PHPU-I/2004 jugalah, terkait dengan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terhadap hasil pemilu presiden dan wakil presiden 2004 yang berhasil mendudukkan SBY-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih rakyat secara langsung lewat Proses Pemilu Presiden dua putaran dan sekaligus menjadi Presiden Republik Indonesia ke-6.
Pun tahun 2009, MKRI kembali menjadi penengah alias juri dalam sengketa pemilu dan membuat keputusan penting untuk Kembali mendudukkan SBY yang kali ini berpasangan dengan Budiono head to head dengan pasangan Megawati Sukarnoputri -- Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla -- Wiranto.
Walau mendapat gugatan dari dua pasangan lainnya terkait carut-marut Pilpres 2009, permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU) oleh PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun MK menolak permohonan PHPU dan menyatakan bahwa hasil pemilihan umum presiden tahun 2009 sah untuk SBY periode keduanya Bersama dengan Wapres Budiono.
Bukan rahasia umum lagi, penggelembungan suara jadi cara 'curang terbaik' untuk memperoleh kemenangan di Pilpres 2009 itu. Pengawasan yang lemah di TPS (Tempat Pemungutan Suara), pemutakhiran data pemilih yang tak berjalan dengan baik oleh KPU kurun waktu Juni 2008 sampai September 2009, suara golput dimasukkan jadi suara pendukung salah satu partai tertentu menjadi catatan demokrasi untuk pemilu berikutnya.
Tahun 2014, Kembali MKRI menjadi benteng konstitusi yang berperan menjaga keadilan, memastikan supremasi konstitusi, dan membangun kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia dengan menyelesaikan sengketa Pemilu, dimana tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengajukan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU).
Tak tanggung-tanggung, tim pemenangan Prabowo-Hatta telah berganti nama menjadi Tim Koalisi Merah Putih untuk Kebenaran dan Keadilan tak hanya menggugat ke MKRI, tapi juga ke ranah etik dengan mengadu ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu, plus gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Harapan 20 Tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Walau sebenarnya anggota tim pemenangan mantan Pangkostrad ini tau bahwa itu semua tak akan mengubah hasil Pilpres untuk melantik Jokowi-Jusuf Kalla, namun mandat perjuangan harus tetap dilaksanakan.
Pilpres 2019 menjadi Pilpres paling demokratis sepanjang sejarah pilpres usai runtuhnya era Orba.
Bagaimana tidak? Disini kita melihat bagaimana 'pertarungan' dua paslon dalam memaparkan visi dan misi, debat pilpres yang berkualitas dan bagaimana cara menarik dukungan dari dua kubu pasangan tersebut.
Adu gagasan dan ide terlihat mulai dari debat pilpres pertama sampai kelima untuk meyakinkan seluruh rakyat Indonesia dalam membandingkan dan menilai kualitas serta kecocokan dari dua pasangan, bahkan saking demokratisnya pendukung dua kubu menggunakan Q factor, yaitu familiarity atau keakraban dan likability atau kesukaan.
Tak tanggung-tanggung, konsep dunia pemasaran (Kotler & Keller, 2012) digunakan, dimana semakin tinggi tingkat familiarity dan likability seorang jurkam (juru kampanye), maka akan semakin banyak memilih calon yang dikampanyekan.
Maka tak heran dalam kurun waktu kampanye, marak berseliweran berita hoaks yang menyerang salah satu paslon, menjelek-jelekkan paslon lain dan rivalitas tinggi seperti derby yang mempertemukan dua klub raksasa sepakbola terjadi di Pilpres 2019 lalu.
Kemenkominfo memverifikasi data faktual, terjadi peningkatan penyebaran hoaks dari berbagai platform media sosial. Jumlah hoaks yang berhasil ditelusuri oleh Tim AIS, mesin pengais konten internet negatif Kominfo menemukan 3,801 hoaks sepanjang 2019.
Walaupun ditimpa isu hoaks dan munculnya 'garis' polarisasi di tengah masyarakat hingga muncul kesan 'saling bermusuhan', namun pemenangnya tetaplah petahana Presiden Joko Widodo -- KH. Maruf Amin.
Lagi-lagi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia jadi penengah, membuat keputusan menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh paslon Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.
MKRI dalam putusannya telah mempertimbangkan argumen dan bukti yang disampaikan oleh kedua belah pihak dalam gugatan tersebut, serta melakukan tinjauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemilihan.
Putusan MKRI bersifat final dan mengikat, sehingga menegaskan keabsahan dan kekuatan hukum dari hasil Pilpres 2019 serta memperkuat hasil yang telah diumumkan sebelumnya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Presiden Jokowi Bersama wakilnya Ma'ruf Amin dilantik tanggal 20 Oktober 2019 periode keduanya dan memulai tugas untuk Kembali mengkondusifkan situasi nasional usai Pilpres dengan menyatukan dua kubu 'cebong' dan 'kampret' serta menghapus 'garis polarisasi' yang kadung muncul ditengah masyarakat.
Langkah brilian dibuat Presiden Jokowi dengan segala kerendahan hatinya menghunjuk rival abadinya, Prabowo Subianto menjabat Menteri Pertahanan sesuai latar belakang kemiliteran yang dimilikinya.
Strategi ini berhasil mengurai ketegangan politik serta merangkul lawan politiknya untuk duduk Bersama dalam kabinet membangun Indonesia yang lebih baik lagi.
Jalannya konstitusi dan terwujudnya demokrasi tak lepas dari peran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memastikan integritas proses pemilu, memeriksa konsistensi hukum, dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusi.
Pilpres dan Pileg 2024 didepan mata, kembali kedewasaan berdemokrasi diuji karena dari beberapa calon muncul, setidaknya kita sudah tau mana yang bekerja untuk kepentingan rakyat dan mana yang untuk diri sendiri dan golongannya.
Teringat ucapan Romo Franz Magnis-Suseno "Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa".
Akankah MKRI Kembali Jadi Penegak Konstitusi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H