Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tantangan Kuatkan Literasi Digital, Entaskan Buta Aksara, dan Guru Penggerak

3 Februari 2023   16:11 Diperbarui: 5 Februari 2023   09:09 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para lanjut usia belajar menulis dan membaca untuk memberantas buta huruf.| KOMPAS.com/Ira Rachmawati

"Tujuan Pendidikan dan Pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air."

Membaca buku merupakan kegiatan fundamental penting dari pendidikan. Walau sekarang ini sumber pengetahuan bisa didapat dari berbagai media, namun buku tetap saja memiliki peranan penting dalam membentuk karakter sebuah bangsa.

Jika diteliti lagi dari masa ke masa, dari presiden satu ke presiden berikutnya, sudah banyak membuat kebijakan yang cukup baik untuk mendorong munculnya budaya membaca, seperti membangun perpustakaan-perpustakaan sekolah dan desa, bebas biaya kirim buku setiap tanggal 17 melalui PT Pos, dan sekarang munculnya Gerakan Literasi Nasional.

Walau program tersebut pelan-pelan berhasil menekan angka buta huruf, namun kenyataannya data hasil penelitian yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka 3,96% penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia masih buta huruf di tahun 2021.

Artinya, sekitar empat dari 100 penduduk dewasa di Indonesia masih mengalami buta huruf di tahun 2021. Persentase itu lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 4%.

Memang menunjukkan tren penurunan yang terus berjalan dalam satu decade terakhir, namun kenyataannya sungguh miris karena berbalik dengan fakta untuk anak Indonesia usia 10 tahun ke atas justru meningkat sebesar 0,01 persen dibandingkan tahun lalu.

Berdasarkan data yang dirilis dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka buta huruf (ABH) penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin, huruf arab, dan huruf lainnya sebesar 3,63 persen di tahun 2021, meningkat 0,01 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 3,62%. Sumber di sini...

Ini pastinya jadi warning atau pengingat bagi semua stake holder pendidikan kita agar semakin gencar dan semakin kuat untuk menggerakkan gerakan Literasi Nasional dan juga tantangan besar bagi dunia pendidikan kita, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk membuat program strategis pengetasan buta huruf ditengah gempuran era digital ini.

Pun untuk guru dan orangtua harus tetap bersinergi, bekerja sama dan saling terbuka dalam mendidik anak. Orangtua harusnya terbuka kepada guru di sekolah tentang kondisi anaknya. 

Orangtua harus dapat menerima keadaan dan kekurangan anaknya dan sama-sama membuat solusi demi kebaikan anak dalam upaya mengentaskan penyakit buta huruf yang masih ada di negeri kita ini.

Tugas dan Tanggung Jawab Guru Penggerak. sumber: www.medcom.id
Tugas dan Tanggung Jawab Guru Penggerak. sumber: www.medcom.id

Entaskan Buta Aksara, Capai Literasi Digital

Jumlah sel saraf manusia adalah 1 triliun, ini benar-benar luar biasa. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang dapat menandingi jumlah sel saraf manusia di dunia ini, bahkan komputer tercanggih sekalipun tak akan dapat menandingi kehebatan dan kecerdasan otak manusia.

Bandingkan saja dengan lebah yang hanya memiliki 7.000 sel saraf, lalat buah 100.000 sel saraf, tikus 5 juta sel saraf, dan monyet 100 juta sel saraf.

Monyet dapat dilatih untuk melakukan kegiatan yang bida dilakukan manusia, lumba-lumba dapat mendemonstrasikan melompati lingkaran api dan kegiatan lainnya, itu semua dapat dilakukan karena koneksi sel-sel saraf dari binatang tersebut yang dilatih dan dilatih oleh pawang atau pelatihnya.

Lantas bagaimana dengan manusia? 

Sedari anak-anak harusnya orangtua berperan untuk melatih dan mengajarkan literasi dasar, seperti kita ketahui sebenarnya ada enam literasi dasar, yaitu: literasi membaca dan menulis, literasi berhitung atau numerasi, literasi sains atau kecakapan pengetahuan alam atau kecakapan ilmiah, literasi finansial atau keuangan, literasi digital, literasi budaya dan kewarganegaraan.

Jikapun tidak semua literasi itu dapat diajarkan oleh orangtua di masa pertumbuhannya, minimal literasi membaca dan menulis adalah menjadi tanggung jawab orangtua selama anak mendapatkan pendidikan di rumah.

Dengan jumlah sel saraf yang sama, yaitu 1 triliun, manusia memiliki potensi tak terbatas. Bahkan, kabarnya seorang Albert Einstein, yang dijuluki sebagai manusia paling genius abad ke-20, hanya menggunakan tak lebih 5% dari seluruh kapasitas otak yang dia miliki untuk belajar.

Nah, jika analogi yang dipakai oleh Albert Einstein ini kita gunakan bersama-sama? Berarti semua orang memiliki potensi yang sama, termasuk dalam hal belajar membaca, menulis dan berhitung untuk mengentaskan buta aksara ini bukan?

Artinya, jika kita memiliki pandangan dan pemikiran yang sama untuk mengajarkan anak-anak kita dari rumah saja, membekali mereka dengan meluangkan waktu untuk mengajarkan anak ataupun orang-orang dewasa di sekitar kita untuk belajar Baca -- Tulis -- Hitung (Calistung), maka bukan hal yang mustahil untuk menekan angka buta aksara di negeri kita ini dengan lebih rendah lagi dan lebih cepat lagi.

Seorang bapak psikologi dan pembelajar akselerasi dari Bulgaria, Dr. Georgi Luzanov berkata, "Semua anak dilahirkan dengan potensi menjadi genius .Bagaimanapun dalam proses pertumbuhannya, banyak yang mengalami kemunduran kegeniusannya karena saran-saran norma sosial yang negatif".

Apa yang dimaksud dengan Norma Sosial yang negatif itu? Gordon Stokes mengatakan bahwa "80 persen kesulitan belajar berhubungan dengan stress. Hilangkan stress, maka Anda menghilangkan kesulitan-kesulitan itu."

Perkuat Literasi Digital

Tak dapat dipungkiri, buta aksara akan berimbas dan berdampak buruk pada kemampuan literasi digital masyarakat kita. Bagaimana tak berdampak negatif?

Orang yang tidak mampu membaca, menulis dan berhitung disuguhi perangkat IT seperti handphone atau smartphone, Laptop ataupun perangkat IT lainnya akan sangat sulit untuk mengoperasikannya. Padahal penggunaan teknologi digital memudahkan banyak aktivitas masyarakat dan juga mendorong peningkatan literasi digital.

Namun tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi ini juga dibarengi dengan maraknya penipuan-penipuan dan juga ancaman risiko keamanan di jagad maya. Modus kejahatan siber semakin marak dan semakin profesional, serta terus berkembang yang membuat kita harus tetap berhati-hati dan diharapkan melek terhadap perkembangan dunia teknologi ini.

Bagaimana tidak? Baru-baru ini kita dihebohkan dengan maraknya pesan berantai yang dikemas sedemikian menarik dengan menggunakan undangan digital. 

Ya, tiba-tiba muncul di percakapan Whatsapp kita undangan pernikahan berekstension *.APK -- Aplication Package File yang otomatis apabila di klik atau disentuh, maka APK itu akan ter-install sendiri di gaway atau smartphone atau telepon pintar kita yang otomatis akan terinstall dan menginfeksi atau mengetahui segala data-data penting di gaway kita.

Inilah pentingnya literasi digital yang tak hanya urusan pemerintah dalam hal memperkuat keamanan digital, namun juga harus dibarengi dengan kecakapan digital, etika digital, dan juga budaya digital yang baik yang harus ditunjukkan oleh rakyat Indonesia.

Faktanya, hasil riset pengukuran indeks literasi digital nasional terbaru menunjukkan bahwa terjadi sedikit peningkatan sebesar 0,05 poin dibandingkan di tahun 2021. Pengukuran indeks literasi digital nasional ini menggunakan empat pilar utama, yaitu kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital.

Dengan dientaskannya buta aksara ini diharapkan akan berdampak positif pada kemampuan literasi digital masyarakat Indonesia agar memiliki kemampuan tidak hanya sebatas mengidentifikasi informasi, melainkan juga memiliki kemampuan untuk mengantisipasi saat menerima informasi atau dokumen digital yang berpotensi merugikan.

Misalnya tanpa dibekali kesadaran literasi digital, tiba-tiba disuguhi pembayaran atas pinjaman online alias pinjol yang sudah banyak menjerat anak-anak muda, atau bahkan lebih parah lagi, tiba-tiba nama dan data pribadi kita sudah dimasukkan jadi simpatisan kelompok atau organisasi tertentu.

Sungguh berbahaya bukan? Untuk itu diperlukan Guru Penggerak yang mampu membantu tugas mengentaskan buta huruf dan menggalakkan gerakan literasi nasional.

Menggerakkan organisasi penggerak di sekolah dan di tengah masyarakat yang bertugas untuk mengentaskan buta aksara dan meningkatkan gerakan literasi nasional...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun