Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di tanggal 30 Desember 2022 lalu, banyak bermunculan suara-suara skeptis dari masyarakat, baik itu pencari kerja, maupun pemberi kerja, karena dianggap bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi menguntungkan satu pihak, namun disisi lain sangat merugikan.
Ibarat buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati. Pun dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, disatu sisi, formula penghitungan gajinya dapat menguntungkan para pekerja, namun disisi lain dianggap dapat membawa ketidakpastian bagi iklim perusahaan yang berimbas pada nasib para karyawan yang dikontrak.
Salah satu yang paling meresahkan tentunya, jika benar akan diterapkan dan sudah ada dalam undang-undang cipta kerja tersebut adalah penghapusan penerimaan karyawan tetap. Sungguh sangat tidak etis apabila perusahaan atau lembaga pemberi kerja hanya akan memperbaharui kontrak karyawannya tanpa mengangkat karyawan tersebut menjadi karyawan tetap.
Akan sangat banyak kerugian yang akan didapat oleh pencari kerja atau karyawan tak tetap apabila aturan karyawan kontrak seumur hidup diberlakukan. Akan bagaimana nasib para karyawan yang dikontrak seumur hidup?
Apakah mereka akan mendapatkan pesangon ketika suatu waktu dipecat? Sungguh tak dapat dibayangkan ketika tiba-tiba isteri saya yang sekarang bekerja di salah satu konveksi tiba-tiba dipecat karena perusahaan tak butuh karyawan lagi, atau karena berbagai alasan. Hak-hak karyawan sungguh diujung tanduk jika undang-undang ini benar diberlakukan.
Perppu memang mengubah Pasal 88D yang menyatakan bahwa formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, yang menguntungkan bagi pekerja, dimana jika disamakan dengan aturan di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 18/2022 yang mempertimbangkan "koefisian alfa" dengan rentan 0,1 -- 0,3, yang dapat membuka ruang negosiasi antara pemerintah daerah dan dewan pengupahan dalam proses penetapan upah minimum.
Dengan pemberlakuan rumus koefisien alfa ini maka dapat menghasilkan persenase kenaikan upah minimum lebih tinggi, namun pada Pasal 88F yang mengatur bahwa dalam keadaan tertentu, justru pemerintah dapat menetapkan formula yang berbeda dari Pasal 88D.
Hal ini tentunya sangat kontraproduktif dan terkesan plin-plan yang dapat merugikan pengusaha maupun pekerja, sehingga Perppu Nomor 2 Tahun 2022 masih perlu direvisi, dan sejalan dengan dinamika formula upah minimum ini, maka Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) masih mengajukan gugatan uji formil atau uji materi Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon meminta agar MK alias Mahkamah Konstitusi menggugurkan Perppu Cipta Kerja dengan alasan tidak sesuai dengan perintah putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, yang artinya Pemerintah dan DPR diperintahkan untuk memperbaiki dalam waktu dua tahun dengan memperhatikan partisipasi publik yang bermakna.
Publik yang dimaksud disini adalah sekelompok orang yang memiliki hak suara untuk didengarkan, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan.