Cerita tentang keberadaan etnis Tionghoa atau Cina di Medan tak akan habis-habisnya, jadi fokusnya tulisan saya tentang bagaimana nikmat, gampang dan enaknya beragam masakan khas Chinese yang memang menggugah selera dan bikin lidah tak bosan-bosannya.
Saya pertamakalinya merasakan masakan khas Chinese, khususnya Pangsit ketika bersekolah di Pematang Siantar. Kala itu saya mengecap pendidikan di Seminari Menengah Pematang Siantar, tamat SLTP atau setingkat Sekolah Menengah Pertama alias SMP.
Berawal dari Godaan Pangsit Siantar
Ketika kanak-kanak sampai menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama alias SMP dikampung, kami memang jarang menemui etnis Chinese, palingan kalau diajak Mamak atau orangtua ikut belanja ke Pajak Sumbul setiap hari pekan yang jatuh di hari Selasa, itupun tidak setiap minggu diajak, palingan saat disuruh mengambil jatah beras atau membawa buah kopi yang banyak, maka jatah setelah menjual hasil kopi dan belanja, diajak mamak makan pangsit.
Namun karena jarangnya makan pangsit, sehingga waktu itu makanan khas Chinese lainnya masih makanan mahal dan sulit didapat, lebih sering makan Bakso atau Mie Ayam yang ada di pajak kampung yang dihelat setiap hari Jum'at itu ataupun karena mulai maraknya orang kita Jawa yang membuka kedai Bakso atau Mie Ayam atau masakan khas Jawa lainnya.
Atau ketika Mamak mengajak saya ikut belanja obat-obatan ataupun peralatan Puskesmas lainnya ke Sidikalang, maka bisa makan pangsit ataupun Cap Cay, tentunya usai belanja atau keliling pajak ataupun Apotik langganan Mamak.
Baru sekitar tahun 1996 keatas, lidah saya mulai familiar dan tak lengkap rasanya kalau tidak makan Pangsit Siantar. Ya, kala itu saya lulus dan berhak untuk mengecap Pendidikan di Seminari Menengah Pematang Siantar yang di depan Rumah Sakit Harapan.. Bukan Promosi yah...
Nah, ada kebiasaan jikalau hari Minggu usai mengikuti Ibadah atau Perayaan Ekaristi, kami semua Seminaris -- julukan bagi warga sekolah di Seminari Menengah -- diberi waktu untuk berjalan-jalan keliling kota Siantar alias acara bebas sampai jam makan siang.
Kami yang ada di Asrama tentunya akan sangat senang dengan keadaan itu, keadaan merasakan hari Kemerdekaan setelah satu minggu penuh dikungkung di asrama.
Setiap pergi keluar dari Asrama, maka kami para Seminaris itu pastinya tidak ada yang pergi sendiri-sendiri, tapi selalu berteman antara tiga orang sampai lima orang, bahkan lebih, semakin ramai maka semakin baik dan semakin aman dan nyaman, tau kenapa?
Ya, karena Kota Siantar itu terkenal dengan tukang palaknya atau tukang kompasnya, sehingga kalau anak Seminari itu berkelompok jalan -- karena ada aturan bahwa kami Siswa Seminari itu wajib jalan kaki, bukan naik angkot, apalagi kendaraan pribadi -- karena saat itu memang masih jarang angkot atau kendaraan pribadi.