Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu, alih-alih melarang, sekolah justru bisa menjadi fasilitator bagi anak dalam menyalurkan hobi bermain latto-latto, misalnya dengan menyelenggarakan lomba latto-latto.
Cara itu, menurut dia, tidak hanya sebagai sarana menampung hobi anak, tetapi juga mengajarkan bagaimana bermain secara jujur dan sportif.Â
Sekolah, kata dia, juga memiliki peran untuk memberikan pengertian pada siswa terkait aturan dan cara bermain latto-latto yang aman dan tidak mengganggu lingkungan.
Menurut Koentjoro, permainan latto-latto sejatinya memiliki sisi positif yakni mengurangi ketergantungan anak pada perangkat handphone atau gawai.
Sangat ada benarnya, terbukti dengan disimpannya Handphone siswa menyikapinya dengan memainkan skill latto-lattonya yang tentunya dapat mengibur teman-teman mereka saat istirahat.
Sekolah dapat memfasilitasi permainan latto-latto dengan mengadakan kompetisi latto-latto antar kelas, di mana kompetisinya dapat dalam format gugur, dimana setiap kelas maksimal mengirimkan tiga orang setiap kelas setiap tingkatan dan mengadakan sistem gugur antar kelas.
Lomba latto-latto bisa dalam versi membuat yel-yel Pramuka atau lomba latto-latto membuat baling-baling seperti helicopter, atau banyak versi lainnya, atau boleh lewat durasi waktu, siapa paling tahan atau paling lama dengan durasi waktu 1 -- 3 menit itu yang menang.
Banyak cara lain untuk memfasilitasi bagaimana agar permainan latto-latto ini dapat memberikan manfaat, bukan hanya asal permainan belaka saja.
Sebab lanjut lagi menurut Koentjoro, melalui permainan latto-latto anak-anak dapat berlatih konsentrasi, ketangkasan fisik, kepercayaan diri, sosialisasi, dan lainnya.
Mari jadikan permainan latto-latto ini bermanfaat, menghibur dan tidak menimbulkan persepsi negatif.