Tahun 1950, Usmar Ismail mulai bekerja mewujudkan film-film berkualitas. Pertama, ia merevolusi tema. Kalau semenjak tahun 1900-an film Indonesia banyak bercerita tentang dongeng, maka Usmar mengangkat tema filmnya tentang realitas sosial dengan segala ironinya. Kedua, merevolusi orientasi.Â
Kalau selama ini film semata untuk hiburan, maka Usmar Ismail menjadikan film sebagai sarana perjuangan dan pembentukan karakter bangsa. Ketiga, revolusi penguasaan. Kalau selama ini pasar film Nasional dikuasai oleh asing, maka Usmar Ismail dan kawan-kawan mampu membalikkan situasi, menggeser pasar asing dan menempatkan film nasional sebagai tuan di negeri sendiri.
Usmar Ismail memanfaatkan film sebagai sebuah karya budaya, ini dibuktikan dengan film karya pertamanya berjudul Darah dan Do'a atau The Long March (1950)Â yang diproduksi oleh Perfini, menceritakan tentang Long March pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dari Yogyakarta setelah Belanda melanggar Perjanjian Renville.Â
Menggambarkan watak manusia Indonesia yang diempas revolusi, mulai dari agresi Belanda II, gerakan sub-versi hingga penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia.
Semua divisualisasikan oleh Usmar Ismail secara alami dan sederhana. Film ini sangat menginspirasi Bung Karno, dan atas keberhasilannya menciptakan genre baru perfilman nasional, Musyawarah Nasional Dewan Film Indonesia pada tahun 1950 menetapkan hari permulaan shooting film The Long March, 30 Maret 1950, sebagai hari lahirnya Film Nasional Indonesia yang akan diperingati setiap tahunnya. Sang sutradara Usmar Ismail bersama Djamaluddin Malik ditetapkan sebagai bapak film nasional.
Untuk menghadapi gempuran dan dominasi film-film asing, terutama dari Inggris dan AS medio tahun 1950-1960-an, Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan Djamaluddin mendirikan Perseroan Artis Republik Indonesia (Persari) dan menciptakan film-film bermutu, diantaranya: Dosa Tak Berampun (1951), yang menceritakan tentang seorang ayah tega meninggalkan rumahnya karena seorang wanita muda. Isteri dan anak tertuanya harus banting tulang. Ketika jatuh miskin, ayah kembali, namun harus menghadapi sikap permusuhan dari anak sulungnya.
Lalu ada Tiga Dara (1965)Â adalah film yang menyelamatkan wajah perfilman Indonesia dari dominasi film India dan Amerika. Menceritakan tentang tiga dara yang diasuh nenek dan ayahnya, karena sang ibu meninggal.Â
Karena ada amanat almarhum ibu mereka, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Sayangnya calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara, di mana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik.
Deretan film lain yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955) yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan film Tamu Agung mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia, sedangkan film Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya.Â
Lika-liku dunia film Indonesia semakin asyik diikuti ketika Usmar Ismail mempelopori diadakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali diadakan tanggal 30 Maret sampai dengan 5 April 1955.