Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Ziarah", Kisah Perjuangan Mbah Sri Menemukan Makam Suami Tercintanya

12 Juni 2020   07:22 Diperbarui: 12 Juni 2020   07:48 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Sri Mencari Makam Suaminya, Informasi apapun dia terima untuk mencari suaminya. sumber: dokpri

TVRI selaku media pemersatu bangsa plus stasiun televisi milik pemerintah tertua di Indonesia, menawarkan acara-acara menarik untuk menemani aktivitas pemirsa di seluruh Nusantara selama menghadapi pandemik global covid-19. Seperti kita ketahui bersama, Kemendikbud telah resmi meluncurkan program "Belajar dari Rumah" sebagai alternatif belajar di tengah pandemi global, sehingga seluruh elemen masyarakat yang terdampak covid-19 terus mendapatkan kesempatan belajar, salah satunya lewat media televisi.

Benar saja, anak-anak saya sangat menyukai program-program yang ditayangkan TVRI, seperti "Jalan Sesama", "Sahabat Pelangi", hingga sekarang ada "Sahabat Pemberani". Yang paling menarik tentunya penayangan film-film terbaik Indonesia, sehingga kerinduan untuk menonton film bioskop tanah air serasa terobati dengan hadirnya tayangan film Indonesia terbaik yang tayang setiap hari Senin sampai Kamis dan hari Sabtu dari jam tujuh malam sampai dengan jam sembilan malam dan dari jam setengah sepuluh hingga jam sebelas lewat tiga puluh malam.

Dari judul-judul film yang dibeberkan, saya terpaku dan penasaran dengan film berjudul Ziarah. Yah, film hasil garapan asli dari BW Purba Negara ini berhasil menggugah hati kita dan mampu membawa kita pada suasana cerita, bagaimana perjuangan seorang Mbah Sri, seorang nenek berusia 95 tahun yang diperankan oleh Ponco Sutiyem untuk mengetahui dimana suaminya, Prawiro dimakamkan.

Dengan antusias, saya mulai menonton film yang diproduksi tahun 2017 ini, namun saya baru tau setelah muncul jadwal tayang di TVRI. Ditemani air putih hangat, film mulai diputar. Diawali dengan sinopsis film, lalu muncul di layar televisi prosesi pemakaman oleh sekelompok tentara yang diiringi dengan musik Jawa dan suara khas Mbah Sri "Ada Suara dari langit, Orang yang kau tunggu kini telah menemukan tempat sucinya, ikhlaskanlah".

Suara itu menghantui Mbah Sri yang sudah berusia 95 tahun yang selalu berharap suaminya pulang dari medan juang sejak tahun 1948 yang turut berjuang mengangkat senjata menghadapi agresi militer Belanda kedua.

Mbah Sri bertekad untuk mencari keberadaan sebenarnya dimana suaminya dimakamkan? Maka Mbah Sri memulai petualangannya dan berharap menemukan makam suaminya serta dimakamkan disamping makam suaminya, Prawiro.

Tanpa pamit pada cucunya, Mbah Sri meninggalkan rumahnya dan pergi naik bus, sementara cucunya gusar dengan pesan mendiang ibunya yang selalu berpesan agar Mbah Sri dijaga dengan sebaik-baiknya.

Sebenarnya Mbah Sri sudah percaya bahwa suaminya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan nisan bertuliskan "tidak dikenal", namun setelah bertemu dengan Mbah Rejo, rekan seperjuangan Prawiro dan banyak bercerita, maka goyahlah hati Mbah Sri akan keberadaan makam suami tercintanya, sebenarnya ada dimana?

Mbah Rejo bercerita bahwa pak Prawiro mendengar isteri tercintanya, Sri tertembak oleh pasukan londo (Belanda), maka dia stress dan dia menjawab tugas atasannya untuk menjadi telik sandi alias mata-mata untuk mengetahui kekuatan Belanda di Yogyakarta.

Cerita Mbah Rejo inilah yang membuat Mbah Sri bertekad untuk mencari makam suaminya hingga ke Yogyakarta. Cucunya juga dibuat repot untuk mencari Mbah Sri. Berawal dari mengunjungi Mbah Rejo yang memberikan informasi, ternyata Mbah Rejo sudah meninggal dan cucunya, hanya menceritakan lukisan karya Mbah Rejo yang mengisahkan pertempuran dan bagaimana kisah tertembaknya seorang prajurit yang diduga Mbah Prawiro hingga dimakamkan.

Pun dengan kisah veteran lainnya yang berhasil ditemui hanya menceritakan bagaimana kisah perjuangan Pak Prawiro dan rekannya Pak Abdi melawan pasukan london. Dan kejadian tembak menembak antara Pak Prawiro dengan pasukan Belanda ada di daerah Alas Pucung, sebelah utara Dusun Kweni. Disitulah ada gundukan tanah yang diduga makam Pak Prawiro usai tertembak oleh pasukan Belanda.

Mbah Sri Mencari Makam Suaminya, Informasi apapun dia terima untuk mencari suaminya. sumber: dokpri
Mbah Sri Mencari Makam Suaminya, Informasi apapun dia terima untuk mencari suaminya. sumber: dokpri
Berbekal informasi itu, Mbah Sri naik bus dan menjelajahi Alas Pucung, pun cucunya menyusul mencari Mbah Sri. Kita dihadapkan pada suasana desa dan bagaimana perjuangan mereka dengan suasana yang masih Indonesia banget, kental dengan kehidupan masyarakatnya dan suasana alamnya.

Dua suasana berbeda ditampilkan dalam film ini. Mbah Sri yang menyusuri daerah lain, sungai dan alam yang indah, sudah menemukan Alas Pucung, tetapi faktanya Alas Pucung sudah tenggelam.

Sementara cucunya Mbah Sri masih menyusuri daerah yang tandus, gersang dengan berjalan kaki menuju Alas Pucung.

Mbah Sri hanya bisa ikhlas dan menaburkan bunga-bunga di tempat berbentuk danau yang diyakini sebagai Alas Pucung yang sudah tenggelam.

Dan ternyata benar, setelah ditelusuri oleh cucunya Mbah Sri, kita baru mengerti bahwa makam Pak Prawiro ada diantara danau di Alas Pucung yang sudah tenggelam. Dimana menurut keterangan warga yang berziarah di tempat yang lebih tepat dikatakan danau tersebut, sebelum tenggelam, ada makam Pejuang Kemerdekaan tahun 1945 bertuliskan "Pak Prawiro, Pejuang'45".

Satu misteri dimana sebenarnya keberadaan makam Pak Prawiro terpecahkan, namun sekarang yang jadi masalah, bagaimana cucu Mbah Sri dapat menemukan Mbah Sri? Ada dimanakah Mbah Sri?

Akhirnya cucu berhasil menemukan Mbah Sri yang ternyata tidak berapa jauh dari kawasan danau Alas Pucung. Dan berkumpul kembali serta pulang ke rumah mereka di kawasan kaki Gunung Kidul.

Kerinduan akan sang suami, membuat Mbah Sri kembali 'kabur' dari rumah untuk ziarah ke Alas Pucung yang sudah menjadi danau tersebut. Dilema baru buat cucu Mbah Sri yang menghadapi persoalan baru rencana pernikahan mereka yang semakin rumit.

Sementara persoalan baru juga muncul karena Mbah Sri tidak yakin jikalau di Alas Pucung itu adalah makam suaminya. Karena mata batinnya berkata bahwa pasangannya bukan disitu. Benar saja, berkat petunjuk kekuatan gaib dari kesaktian sepasang keris yang mereka pegang, Mbah Sri diarahkan untuk mencari makam suaminya di arah Barat Laut.

Pencarian panjang, orang waduk berkata bahwa Mbah Sri harus menemukan Ki Husodo, tetapi sudah meninggal tahun 1965 dan beruntung bertemu dengan anaknya Ki Husodo. Titik terang muncul karena anaknya Ki Husodo tau keberadaan makam Pak Prawiro.

Ada di Muktiloyo dan Mbah Sri bersikukuh untuk ziarah saat itu juga, padahal sudah Magrib. Disinilah keunikan film ini, kita dibuat bingung karena anaknya Ki Husodo mencoba mengalihkan fakta bahwa yang dia dengar itu makamnya Parwira, dan mencoba membohongi Mbah Sri.

Namun disekitar kita masih banyak orang baik dan supir yang menjemput Mbah Sri malah membawa Mbah Sri ke pemakaman Muktiloyo dan benar saja disana tertulis Prawiro Sahid dan keris pasangannya ada di tempat dia beristirahat.

Akhirnya, misteri terkuak. Walau sakitnya fakta, Mbah Sri tetap ziarah di makam suaminya yang telah bersanding dengan makam lainnya. Walau pahit, Mbah Sri merasa lega karena perjuangannya menemukan makam suaminya dapat terwujud. Hanya saja untuk dimakamkan disamping suami tercintanya, mungkin Mbah Sri tidak bisa mewujudkannya karena makam suaminya telah ada yang mendampingi.

Inilah kisah film ziarah yang memang benar-benar nyata di kehidupan kita. Sungguh menginspirasi dan memberikan makna akan bagaimana perjuangan mencari cinta sejati itu terkadang harus berujung dengan kenyataan pahit.

Kesan film ini sangat memberikan banyak pembelajaran kepada kita tentang sejarah kelam agresi militer Belanda kedua pun setelah Kemerdekaan yang ternyata banyak memberikan luka bagi rakyat tak berdosa akibat kezaliman penguasa.

Wajar film ini mendapatkan sejumlah penghargaan seperti nomimasi aktris terbaik Asean International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, film terbaik pilihan juri ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017. Dan semoga film ini sering diputar agar generasi muda ingat akan sejarah bangsa kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun