TVRI selaku media pemersatu bangsa plus stasiun televisi milik pemerintah tertua di Indonesia, menawarkan acara-acara menarik untuk menemani aktivitas pemirsa di seluruh Nusantara selama menghadapi pandemik global covid-19. Seperti kita ketahui bersama, Kemendikbud telah resmi meluncurkan program "Belajar dari Rumah" sebagai alternatif belajar di tengah pandemi global, sehingga seluruh elemen masyarakat yang terdampak covid-19 terus mendapatkan kesempatan belajar, salah satunya lewat media televisi.
Benar saja, anak-anak saya sangat menyukai program-program yang ditayangkan TVRI, seperti "Jalan Sesama", "Sahabat Pelangi", hingga sekarang ada "Sahabat Pemberani". Yang paling menarik tentunya penayangan film-film terbaik Indonesia, sehingga kerinduan untuk menonton film bioskop tanah air serasa terobati dengan hadirnya tayangan film Indonesia terbaik yang tayang setiap hari Senin sampai Kamis dan hari Sabtu dari jam tujuh malam sampai dengan jam sembilan malam dan dari jam setengah sepuluh hingga jam sebelas lewat tiga puluh malam.
Dari judul-judul film yang dibeberkan, saya terpaku dan penasaran dengan film berjudul Ziarah. Yah, film hasil garapan asli dari BW Purba Negara ini berhasil menggugah hati kita dan mampu membawa kita pada suasana cerita, bagaimana perjuangan seorang Mbah Sri, seorang nenek berusia 95 tahun yang diperankan oleh Ponco Sutiyem untuk mengetahui dimana suaminya, Prawiro dimakamkan.
Dengan antusias, saya mulai menonton film yang diproduksi tahun 2017 ini, namun saya baru tau setelah muncul jadwal tayang di TVRI. Ditemani air putih hangat, film mulai diputar. Diawali dengan sinopsis film, lalu muncul di layar televisi prosesi pemakaman oleh sekelompok tentara yang diiringi dengan musik Jawa dan suara khas Mbah Sri "Ada Suara dari langit, Orang yang kau tunggu kini telah menemukan tempat sucinya, ikhlaskanlah".
Suara itu menghantui Mbah Sri yang sudah berusia 95 tahun yang selalu berharap suaminya pulang dari medan juang sejak tahun 1948 yang turut berjuang mengangkat senjata menghadapi agresi militer Belanda kedua.
Mbah Sri bertekad untuk mencari keberadaan sebenarnya dimana suaminya dimakamkan? Maka Mbah Sri memulai petualangannya dan berharap menemukan makam suaminya serta dimakamkan disamping makam suaminya, Prawiro.
Tanpa pamit pada cucunya, Mbah Sri meninggalkan rumahnya dan pergi naik bus, sementara cucunya gusar dengan pesan mendiang ibunya yang selalu berpesan agar Mbah Sri dijaga dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnya Mbah Sri sudah percaya bahwa suaminya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan nisan bertuliskan "tidak dikenal", namun setelah bertemu dengan Mbah Rejo, rekan seperjuangan Prawiro dan banyak bercerita, maka goyahlah hati Mbah Sri akan keberadaan makam suami tercintanya, sebenarnya ada dimana?
Mbah Rejo bercerita bahwa pak Prawiro mendengar isteri tercintanya, Sri tertembak oleh pasukan londo (Belanda), maka dia stress dan dia menjawab tugas atasannya untuk menjadi telik sandi alias mata-mata untuk mengetahui kekuatan Belanda di Yogyakarta.
Cerita Mbah Rejo inilah yang membuat Mbah Sri bertekad untuk mencari makam suaminya hingga ke Yogyakarta. Cucunya juga dibuat repot untuk mencari Mbah Sri. Berawal dari mengunjungi Mbah Rejo yang memberikan informasi, ternyata Mbah Rejo sudah meninggal dan cucunya, hanya menceritakan lukisan karya Mbah Rejo yang mengisahkan pertempuran dan bagaimana kisah tertembaknya seorang prajurit yang diduga Mbah Prawiro hingga dimakamkan.
Pun dengan kisah veteran lainnya yang berhasil ditemui hanya menceritakan bagaimana kisah perjuangan Pak Prawiro dan rekannya Pak Abdi melawan pasukan london. Dan kejadian tembak menembak antara Pak Prawiro dengan pasukan Belanda ada di daerah Alas Pucung, sebelah utara Dusun Kweni. Disitulah ada gundukan tanah yang diduga makam Pak Prawiro usai tertembak oleh pasukan Belanda.