Hari Trisuci Waisak jatuh di hari Kamis, 7 Mei 2020 dengan mengangkat tema "Persaudaraan Sejati, Dasar Keutuhan Bangsa" seharusnya mampu mengetuk pintu hati kita untuk merenungkan sejenak bagaimana caranya agar kita tetap kokoh dalam persaudaraan sejati ditengah badai pandemi covid-19.
Membaca Renungan Waisak oleh Bhikkhu Sri Subhapannyo, Mahathera, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia sangat menyejutkkan.
Bagaimana tidak? Ditengah bangsa kita yang sedang menghadapi kompleksnya permasalahan yang timbul akibat pandemi covid-19, kita masih diajak untuk tetap konsisten dan optimis untuk menjaga Persaudaraan Sejati sebagai sebuah bangsa yang besar dalam menjaga bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pesan yang disampaikan lewat doa berbunyi "Sabbe Satta Bhavantu Sukithata" memiliki makna mendalam "Semoga Semua Makhluk Berbahagia", dimana kita sebagai warga Negara Indonesia yang hidup bermasyarakat, namun terdiri dari berbagai adat istiadat, tradisi, agama, dan kepercayaan, tetapi kita harus hidup dalam satu rasa, hidup berdampingan dengan damai sebagai saudara sebangsa, setanah air, bahkan saudara sebagai sesama manusia.
Inilah harapan seluruh warga Negara Indonesia yang seharusnya kita bangun di tengah-tengah perayaan hari Trisuci Waisak, bulan Ramadan seperti yang kita rayakan, juga bulan Maria bagi umat Katolik sedunia yang merayakan bulan Mei ini sebagai bulan Devosi kepada Bunda Maria.
Tema Persaudaraan Sejati tentunya tema yang sangat relevan untuk meningkatkan kesadaran kita sebagai warga negara Indonesia untuk lebih peka dan lebih memaknai arti Bhinneka Tunggal Ika yang terpampang di kaki Burung Garuda.
Kata Bhinneka Tunggal Ika sendiri jangan kita lupakan merupakan sesanti Buddhis yang diungkapkan oleh pujangga Mpu Tantular untuk menjembatani seluruh perbedaan-perbedaan yang timbul pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kakawin atau Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular ini menginspirasi para pendiri bangsa kita atau sering kita kenal dengan sebutan The Founding Fathers untuk memperjuangkan kemerdekaan dan membentuk bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan Negara, Bhinneka Tunggal Ika dengan harapan terwujudnya Persaudaraan Sejati seperti tema Waisak yang kita peringati hari ini.
Walau ada perbedaan, namun dari artikel Renungan Waisak oleh Bhikku Sri Subhapannyo, saya baru tau ternyata banyak terselip kesamaan yang mirip diantara perbedaan agama, adat istiadat maupun kepercayaan diantara suku-suku yang ada di negara kita ini.
Hari Trisuci Waisak ternyata mengingatkan kepada kita adanya tiga peristiwa suci, diantaranya Kelahiran, Pencerahan Sempurna, dan Kemangkatan Buddha Gautama.
Menurut cerita dalam Renungan Waisak tersebut, disebutkan bahwa tiga peristiwa suci itu terjadi di hari yang sama, hari purnama raya, bulan Waisak. Lahirnya calon Buddha tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini, Kapilavasthu, Nepal.
Di usianya ke-35 setelah melewati berbagai cobaan dasyat dan lewat tapa dan meditasi tanpa makan dan minum serta kemauan yang keras dan keyakinan yang kukuh, akhirnya di bulan Waisak, tepat di waktu bulan purnama Siddhi, di bawah pohon Bodhi, Siddharta Gautama mencapai Pencerahan Sempurna Buddha tahun 588 SM.
Usia 80 tahun di Kusirana, India, Buddha Gautama mangkat tahun 543 SM setelah berkelana menyebarkan Dharma cinta dan kasih sayang yang menjadi ajaran hidup dan filosofi yang lama kelamaan berkembang menjadi agama Buddha.
Ketika saya membaca artikel Renungan Waisak ini, Trisuci Waisak, hampir sama juga dengan Tri Hari Suci yang beberapa minggu lalu selesai kami rayakan.
Dimana Kelahiran yang sudah kami rayakan di bulan Desember setiap tahunnya, lalu kisah bagaimana Yesus yang dicobai selama empat puluh hari, empat puluh malam tanpa makan dan minum yang lazim kami sebut dengan Bulan Puasa atau Berpantang.
Lalu ada Kisah Sengsara, dimana diawali dari kisah penghianatan oleh muridNya sendiri, yang diakhiri dengan Penyaliban di Bukit Golgota. Dan tiga hari kemudian bangkit untuk kembali ke Surga.
Kira-kira begitulah sedikit kesamaannya, walau sebetulnya begitu banyak perbedaan-perbedaan, namun Persaudaraan Sejati harus lebih diutamakan tanpa harus membuang ciri asal-usul, bahkan ciri budaya dan agama kita masing-masing.
Menjaga keutuhan dengan menjalin Persaudaraan Sejati bukanlah pekerjaan mudah, tetapi harus optimis dapat menjalin persaudaraan sejati dengan menjadi saudara sebangsa dan setanah air yang punya gaya hidup rukun dan damai, penuh toleransi dan punya sikap saling percaya, bukan saling mencurigai, apalagi menyakiti dengan persekusi dan tindak kekerasan atas nama agama.
Namun, kita masih melihat dan nyata adanya persekusi, sweeping dan pelarangan atas nama agama untuk melarang agama lain melaksanakan kegiatan, seperti yang terjadi di Batang Kuis, Deli Serdang Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu.
Masih adanya tindakan-tindakan arogan atas nama agama seharusnya kita buang jauh-jauh di masa Ramadan seperti ini, apalagi ditengah-tengah upaya kita memerangi pandemi covid-19, sehingga apa yang menjadi tujuan kita bersama agar Bangsa Indonesia terbebas dari corona dan keadaan normal kembali, ekonomi menggeliat, kita bisa melaksanakan program belajar dan mengajar bisa berjalan kembali.
Saya teringat dengan wejangan dari Bapak Prof. Dr. Katimin, M.Ag disaat memberikan pendapatnya ketika Seminar Toleransi dan Keberagaman yang diadakan oleh Gereja Katolik St. Fransiskus Asisi Padang Bulan Medan, awal Maret lalu.
Dalam seminar bertemakan "Membangun Keluarga Sejahtera dalam Toleransi Hidup Beragama", beliau berkata bahwa "Agama sejatinya membawa Perdamaian".
Jadi ketika masih ada ancaman, konflik, peperangan dan persekusi seperti yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara beberapa waktu lalu membuktikan bahwa agama masih belum sepenuhnya berhasil sebagai instrumen pemersatu bangsa.
Walau tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik-konflik antar umat beragama tidak semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor teologis, seperti perbedaan doktrin keagamaan, tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik.
Namun lucunya, faktor sosial, ekonomi, dan politik dapat dibelokkan menjadi faktor perbedaan agama penyebab perang atau konflik.
Inilah yang harus kita hindarkan, sehingga tema Waisak hari ini sangat cocok untuk Optimis Memupuk Persaudaraan Sejati. Memiliki cinta kasih dan kasih sayang untuk mengembangkan sifat kemanusiaan, adalah kewajiban mutlak sehingga kehidupan bernegara kita bisa dikatakan baik.
Apalagi ditengah-tengah bencana pandemi covid-19, Persaudaraan Sejati untuk sama-sama bergotong royong memerangi pandemi ini bisa menjadi wujud nyata kita untuk negara.
Selamat Hari Trisuci Waisak 2564/2020. Semoga semua mahkluk hidup berbahagia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H