Rokok dan merokok merupakan bagian yang tidak terpisahkan mungkin bagi sebahagian masyarakat tanah air. Merokok sudah menjadi aktifitas yang mendarah daging dan tidak bisa ditawar lagi dengan aktifitas menarik lainnya. Ibarat candu, rokok sudah bagian yang tidak terpisahkan, jika tidak merokok maka dunia ini seakan-akan kiamat. Bahkan bagi sebahagian orang, otak tidak akan bisa berpikir jikalau tidak didahului dengan menghisap sebatang rokok.
Aroma dari hisapan sebatang rokok bagi sebahagian orang mampu membuka cakrawala berpikirnya, pun bagi yang punya aktifitas bekerja dengan otot, rokok diyakini mampu menambah tenaga mereka. Bahkan bagi sebahagian orang, lebih baik tidak makan daripada tidak merokok! Mengapa demikian? Entahlah, tetapi yang pasti keyakinan turun temurun serta kebiasaan di dalam keluarga yang diturunkan dari orang tua ke anak menjadi penyebab jumlah perokok bertambah, bukannya berkurang.
Faktanya memang demikian, semakin hari semakin banyak jumlah perokok pemula di Indonesia, khususnya di kota Medan, kota nomor tiga terbesar di Indonesia. Hal ini tidak dipungkiri dan kita tidak boleh menutup mata akan hal ini. Data menunjukkan hampir 88,6 persen perokok mulai menghisap rokok di bawah usia 13 tahun. Yang paling miris tentunya sepertinya negara kita malah membiarkan embrio-embrio perokok muda berkembang menjadi perokok dewasa yang akan semakin membuat industri rokok punya untung besar.
Embrio-embrio calon perokok ini berasal dari anak-anak remaja yang mencoba mencari jati dirinya dengan menggunakan rokok. Kenapa bisa anak-anak remaja yang duduk di bangku sekolah SMP dan SMA ini menjadi perokok pemula?
Banyak alasan, misalnya dari hal-hal yang sepele. Â Anak beralasan merokok karena melihat orangtuanya merokok dan rokok itu diletakkan disembarang tempat, sehingga anak mengambil satu batang, ketagihan sehingga menjadi kebiasaan. Nah, kebiasaan ini dia tularkan ke teman-temannya di sekolah atau di luar rumah. Dimana ketika ada waktu bertemu, mereka ngobrol sambil merokok.
Tidak dapat dipungkiri, sekolah sudah menjadi tempat perokok anak-anak membiasakan diri mereka dengan rokok, kenapa? Karena di sekolah aturan untuk mengontrol anak-anak pemula ini merokok kurang dijalankan dengan baik.
Pernah ada kasus di sekolah di Medan, karena ketahuan merokok, si anak di keluarkan dari sekolah, tetapi tak beberapa lama kemudian si anak masuk di sekolah itu kembali. Cerita punya cerita, ternyata si anak masuk kembali ke sekolah, karena punya beking atau punya keluarga pejabat.
Nah, hal-hal seperti ini yang membuat pendidikan karakter itu menjadi tidak jalan dan menegakkan aturan dilarang merokok di sekolah menjadi terganjal ,sehingga harapan kita untuk menciptakan Kawasan Tanpa Rokok sangat sulit.
Bagaimana tidak? Sekolah saja sebagai tempat berkumpulnya anak-anak yang siap untuk di didik menjadi Manusia Indonesia yang Seutuhnya berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 akan terganjal, karena kita tidak bisa menurunkan prevalensi perokok muda di Indonesia.
Fakta membuktikan bahwa data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi perokok dari 27% tahun 1995 menjadi 36,3% tahun 2013. Yang lebih parah lagi usia merokok meningkat pada generasi muda. Mulai usia 10-15 tahun menurut data terbaru dari The Tobacco Atlas 2015 menunjukkan sebanyak 66% pria di Indonesia telah merokok, artinya dua dari tiga laki-laki usia 15 tahun ke atas adalah perokok.
Sementara, pendapatan Negara dari industri cukai rokok membuat kita planga-plongo karena menjadi pendapatan terbesar Negara Indonesia dengan angka fantastis 150 triliun rupiah tahun 2015, jauh mengungguli pendapatan Negara sector lain, misalnya dari PT. Freeport yang kekayaan alamnya habis dikeruk oleh Amerika yang ternyata hanya menyumbang 52 triliun rupiah. Ibarat buah simalakama, keberadaan industri cukai rokok menjadi dilema, disatu sisi semenjak zaman colonial Belanda adalah pemasukan terbesar bagi kemakmuran rakyat, disi lain rokok dengan segala kenikmatannya ternyata sumber penyakit mematikan di Indonesia. Ironis bukan?