Dalam debat pertama Capres 2019, terlihat jelas mana paslon yang anti korupsi dan bertekad untuk memberantas korupsi dan mana paslon yang setengah-setengah dalam penanganan terhadap masalah korupsi. Mana yang benar-benar memberikan hati dan mana yang setengah memberikan hati terhadap masalah korupsi yang sudah akut itu.
Permasalahan muncul ketika dalam debat yang mengusung tema penegakan hukum, HAM, pemberantasan korupsi, dan penanganan terhadap terorisme itu terjadi adu argumen antara kedua paslon. Paslon 02 mengawali argumen dengan statemen bahwa korupsi di Indonesia sudah stadium empat! Bayangkan, memang tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi masih terjadi, tetapi ingat juga bahwa KPK sudah sangat offensif dalam melakukan tindakan terhadap kasus korupsi.
Harus kita ingat dan akui kinerja KPK dalam memberantas kasus korupsi tidak tebang pilih, tidak pandang bulu. Siapapun dia, di kejar oleh KPK. Mau itu kepala daerah, maupun anggota legislatif tidak akan lepas dari jeratan KPK. Itu sudah menjadi bukti bahwa untuk melakukan tindakan korupsi, orang sudah berpikir lebih dari dua kali untuk melakukannya, tidak seperti di era- era pemerintahan sebelumnya.
Karena jelas, Indonesia pelan tapi pasti membaik posisinya dalam pemberantasan korupsi, dimana di urutan CPI (corruption perception index), negara kita berada di urutan 37. Sehingga dengan sistem pemerintahan yang bersifat online dan transparan, juga sistem pencegahan, serta pemberian hukuman yang lebih berat setidaknya akan mempersempit ruang gerak para pelaku-pelaku yang ingin melakukan korupsi berpikir ulang untuk memberanikan dirinya melakukan korupsi.
KPU Abu-abu?
Dan perlu diketahui bersama bahwa pemberantasan korupsi ini bukanlah hanya tugas pemerintah saja. Semua pihak harus ikut berperan aktif dalam upaya menipiskan perilaku korupsi di negeri kita dan salah satu caranya tentunya dengan tidak melibatkan kembali oknum-oknum atau orang-orang yang pernah melakukan tindakan korupsi ikut serta dalam pemerintahan.
Adalah tugas kita bersama untuk menjaga dan mengawasi baik itu eksekutif maupun legislatif dalam membuat kebijakan yang tidak koruptif. Nah, bagimana bisa kita menghadirkan pemerintahan yang bebas dari korupsi apabila orang-orang di dalamnya masih sudah pernah korupsi?
Ini menjadi tantangan kita bersama. Ketika pemerintah siap untuk itu, tetapi KPU (Komisi Pemilihan Umum) terlihat abu-abu dalam menyikapi isu pemberantasan korupsi. Ini terlihat jelas ketika KPU tidak menerima usul sejumlah pihak yang menginginkan agar KPU sebagai penyelenggara utama Pemilu 2019 dengan tidak mengumumkan daftar caleg eks koruptor di TPS.
Pun di situs resmi KPU dan media massa secara masif dengan tujuan agar masyarakat mengetahui siapa caleg-caleg yang tidak pantas di pilih kembali karena pernah tersandung kasus korupsi.
Jika memang benar kasus korupsi sudah stadium empat seperti dikatakan oleh paslon 02, seharusnya KPU mendukung pernyataan itu dengan mengumumkannya agar menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih. Apakah layak di pilih kembali atau tidak?
Apa susahnya untuk menginformasikan dari sekian caleg itu pernah bermasalah dengan kasus korupsi? Tinggal buatkan di kertas suara -- mumpung belum atau masih proses pencetakan -- tulisan warna merah (eks koruptor) di nama caleg tersebut. Sehingga masyarakat mengetahui bahwa caleg itu adalah mantan napi koruptor sehingga KPU benar-benar bisa memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendukung benar upaya untuk memberantas korupsi.