Terkejut ketika beruntun kita dihadapkan pada kenyataan serangkaian tindakan-tindakan teroris membuat hati kita miris, sedih, berduka sekaligus mengutuk oknum-oknum yang berani berbuat sekeji tersebut dalam kehidupan bernegara dan berbangsa kita.Â
Bagaikan dalam film-film yang mempertontonkan bagaimana sekelompok orang meneror dengan bom bunuh diri, dalam rekaman CCTV maupun lewat pengabadian tanpa sengaja terekam oleh kamera handphone, para bomber terlihat tidak takut, nekat dan sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk melakukan aksi-aksi brutal tersebut.
Mengapa mereka sampai nekat berbuat demikian? Ini yang menjadi pertanyaan yang harus kita jawab dan buatkan solusi agar tidak ada lagi oknum ataupun keluarga yang sanggup melakukan tindakan yang di luar batas nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Tak terbayangkan, bagaimana bisa sekeluarga berani berbuat nekat seperti itu? Sebagai kepala keluarga, apa yang dia tanamkan dan ajaarkan dalam keluarga tersebut selama ini? Mengapa anak-anak yang sudah bertumbuh akan dewasa (umur 18 dan 16 tahun) mau melakukan aksi bunuh diri? Dimana logika berpikir mereka? Apakah doktrin, ideologi yang di ajarkan, dogma yang di susupi sebegitu besarnya hingga mampu memupus logika berpikir sang anak?
Tidak ada ajaran agama membenarkan kekerasan, begitupun dengan etika dan moral yang diajarkan di sekolah pasti berujung pada kebaikan semua. Seorang filsuf John G. Kemeny mengatakan bahwa ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah untuk kebaikan. Jadi dalam kasus ini kemana semua ilmu yang dia dapatkan?
AL-Kindi, ahli pikir pertama dalam filsafat Islam, membagi filasafat ilmu menjadi tiga bagian besar: (1) Ilmu fisika sebagai tingkatan ilmu rendah; (2) Ilmu Matematika sebagai tingkatan ilmu menengah; (3) Ilmu Ke-Tuhanan sebagai tingkatan ilmu paling tinggi. Ini mengingatkan semua manusia di dunia ini untuk berburu ilmu Ke-Tuhanan dengan berbuat kebaikan, kebajikan, saling menghargai dan tolong menolong seperti yang diajarkan oleh semua agama di muka bumi ini.
Berburu Takjil Kebaikan Demi Masa Depan Cerah
"Apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai", filosofi menanam ini harus kita camkan dalam hati kita masing-masing. Terlebih-lebih di masa Puasa Ramadhan ini, biarlah yang terjadi, sudah terjadi. Tugas kita sekarang, bagaimana agar kejadian yang tidak baik itu tidak terjadi lagi di masa sekarang hingga masa yang akan datang.
Takjil, dari yang saya pahami setelah membaca sekian banyak referensi, adalah 'bersegera' ketika waktunya telah tiba. Artinya, kita diajak jangan menunda berbuka puasa, jika tiba waktunya, maka bersegeralah berbuka sehingga tidak terlambat. Karena kebiasaan di Arab saat berbuka puasa dengan buah kurma, maka buah kurma disebut sebagai makanan saat takjil atau menyegarakan berbuka puasa.
Berlomba-lomba berbuat kebaikan adalah tujuan utama dalam Puasa Ramadhan kali ini, kita harus mampu berlomba-lomba berbuat kebajikan, sebab Kebajikan atau kebaikan, adalah perbuatan yang mendatangkan kebaikan. Sama dengan perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama dan etika. Oleh karena itu berbuat baik adalah inti dari takjil, lebih dari hanya berburu makanan.
Era kekinian, kita diajak untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berburu kebaikan, bersegeralah, jangan terlambat untuk berbuat baik, jangan lelah berbuat baik, mau orang lain ngomong apa, terserah. Yang penting bersegeralah berbuat baik, jangan mau di adu domba, di susupi dengan doktrin ataupun ideologi-ideologi bertentangan dengan hati nurani, apalagi logika berpikir kita.
Apalagi yang bertentangan dengan pemikiran ilmiah kita, sebab pemikiran ilmiah adalah pemikiran yang sungguh-sungguh, dimana kita tidak akan membiarkan ide atau konsep yang sedang di pikirkannya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya diarahkan pada satu tujuan tertentu, berbuat kebajikan untuk sesama! Semoga!