Ketika Pemerintah memutuskan mengalihkan pengelolaan SMA dan SMK ke Provinsi sesuai dengan Undang-Undang no. 23 tahun 2014, ketika itu banyak pro dan kontra, mengapa? Dan ketika itu juga bagi saya terbayang apakah birokrasi yang selama ini kita kenal bertele-tele akan semakin mudah? Apakah sistem yang akan diterapkan lebih simpel dan transparan? Semua jawaban itu terkuak juga setelah per 1 Oktober 2016 pengelolaan SMA dan SMK se Indonesia resmi ditangani oleh Provinsi masing-masing.
Alasan pertama mengapa SMA dan SMK dialihkan ke Provinsi adalah ketika di tahun ajaran baru ini, 2017/2018 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara lewat Peraturan Gubernur nomor 53 tahun 2017 membuat gebrakan baru untuk mengaplikasikan apa yang dituangkan oleh Menteri Pendidikan lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.Â
Gubernur Sumatera Utara ingin penerimaan peserta didik baru tahun ajaran baru ini berlangsung dengan lebih tertib, lebih transparan, lebih akuntabel, lebih objektif, dan tanpa diskriminasi.
Yang artinya, Dinas Provinsi Sumatera Utara ingin dijadikan oleh Gubernur sebagai pilot project dalam penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sifatnya online di Indonesia ini. "Untuk yang pertama di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara menerapkan pendaftaran online pada penerimaan siswa baru untuk SMA dan SMK negeri," ujar Arsyad Lubis, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara.
Hal senada juga diungkapkan oleh Gubernur Sumatera Utara, "Hari ini dunia pendidikan Sumut memulai sistem baru dalam penerimaan siswa baru yaitu PPDB online untuk tingkat SMA. Sekarang semua orang bisa memantau sistem ini melalui smartphone atau komputer masing-masing. Ini tentu sangat positif sekali dalam rangka transparansi, mencegah korupsi dan KKN," (12/6/2017) seperti dilansir Sumut Pos (grup MetroSiantar.com).
Memang bukan rahasia umum lagi bahwa sebelum-sebelumnya di kota Medan misalnya, setiap penerimaan siswa baru SMA dan SMK negeri, maka akan menjadi lahan basah untuk meraup keuntungan oleh oknum-oknum tertentu, di mana jual-beli kursi yang ujung-ujungnya dilabeli dengan duit. Semakin favorit sekolah negeri itu? Maka semakin tinggi harga sebuah kursi bagi siswa yang memang ngotot pengen sekolah di negeri. Dan apabila kasus ini mencuat kepermukaan? Maka seketika itu juga banyak jurus-jurus dilakukan agar kasus tersebut kembali tenggelam tanpa bekas.
Tercoreng Oleh Dugaan 'Siswa Titipan'
Semua menyambut baik gebrakan yang dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara tersebut, apalagi dalam pelaksanaannya mereka menggandeng Tim Koordinasi Supervisi dan Pencegahan Korupsi (Korsupgah) KPK untuk mengawasi langsung proses PPDB Online yang berlangsung dari tanggal 12-22 Juni 2017 dan serentak di 33 kabupaten/kota yang ada di Sumut.
Apalagi kalau bicara tentang Online, berarti kita bicara tentang peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IT) dalam PPDB yang nantinya bisa diakses kapan saja dan dimana saja serta mampu memberikan kemudahan, kenyamanan serta harapan baik karena sudah terkoneksi dengan internet, transparan, hasilnya tidak dapat dikotak-katik karena sistemnya terkunci dan akuntabel, sehingga dianggap sebagai solusi untuk mengurangi kecurangan dalam hal PPDB yang selama ini sudah berlangsung secara masif, terstruktur dan sistematis.
Seperti yang terjadi di SMAN 13 Medan, sejak dari pengumuman Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2017/2018 yang menuai kontroversial dan membingungkan para guru PNS di sana, sebab panitia yang duduk untuk menjalankan proses Penerimaan Siswa Baru banyak dihuni oleh guru honorer dan prosesnya juga bukan melalui mekanisme Rapat Kerja Dewan Guru, tetapi sepihak dihunjuk oleh Kepala Sekolah.Â
Yang paling aneh, penunjukan Koordinator Administrator Input Data dan Verifikator untuk Verifikasi Data Entry ke Komputer pada Calon PPDB TP 2017/2018 yang ternyata diberikan kepada anak kandungnya yang masih honor ketimbang kepada guru PNS di sekolah tersebut menjadikan PPDB tahun ini memang amburadul dan terbukti ketika jumlah kuota siswa atau kelas yang diberikan ke Dinas Provinsi (sejumlah 8 kelas dan sebanyak 294 siswa), setelah dilaksanakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), ternyata siswa yang datang sejumlah 366 orang atau sebanyak 10 kelas!