Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tangkal Hoaks dengan Pendidikan di Dalam Keluarga

19 Agustus 2017   22:40 Diperbarui: 19 Agustus 2017   23:04 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hoax ini datangnya bagaikan air bah yang menerjang, membabi buta dan tak kenal toleransi!", itulah gumam teman seprofesiku melihat fenomena yang terjadi belakangan ini di negara kita. Tidak dapat dipungkiri, efek negatif dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah bebasnya kita untuk mengeksplorasi apa yang ada di dalam diri kita, sekitar kita, bahkan dengan entengnya ada pihak yang mengambil keuntungan dengan menyebarkan konten-konten negatif, ujaran-ujaran bernada provokatif hingga cepatnya menyebar berita-berita yang ternyata tidak benar alias hoax.

Tidak hanya didunia maya, didunia nyatapun kita harus berhadapan dengan para penyebar-penyebar berita palsu, penyebar ujaran kebencian, provokator hingga orang-orang yang suka menyulut terjadinya perpecahan. Yang paling parahnya lagi, kita begitu saja percaya akan sulutan emosi oknum-oknum provokator yang menyulut kemarahan warga, hingga warga hilang kesadaran, logika dan keyakinan mereka akan pembelaan dari orang yang disangkakan berbuat kejahatan, baik itu sekedar menghina, mencuri maupun merampok. Pokoknya sekali dituduh bersalah? Maka siap-siaplah jadi bulan-bulanan massa yang bisa berakhir dengan tragis!

Dan ternyata perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat tidak disikapi dengan baik, sehingga masyarakat kita seperti kecolongan ketika memanfaatkan media sosial dalam berkomunikasi. Ini jelas terlihat ketika penggunaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi pisau bermata dua yang bila tidak disikapi dengan bijak dapat mengakibatkan bumerang ditengah-tengah masyarakat kita. Banyak contoh akibat ketidakbenaran informasi yang disebarkan alias berita hoax, ada pihak yang sangat dirugikan, tetapi ada juga pihak yang sangat diuntungkan dengan menyebarnya berita hoaxtersebut. Apalagi jika berita hoax yang disebarkan bisa menjadi viral?

Ternyata, penyebaran berita hoax, bukan tanpa alasan karena ternyata berita hoax yang menyebar sudah disetting sedemikian rupa barangkali oleh oknum atau kelompok tertentu untuk menyemarakkan dunia maya (cyber media) sehingga membuat kita bingung dan memaksa kita harus smart alias pintar dalam mengecek sebuah berita atau informasi yang kita dapatkan terlebih dahulu kebenarannya, sebelum kita mengamini, mempraktekkan, bahkan ikut menyebarkan informasi tersebut ke teman-teman kita. Sebab sekarang, fakta dari hasil riset membuktikan bahwa "dampak dari orang-orang yang dianggap berpengaruh di media sosial lebih kuat dibandingkan dengan iklan".

Sekarang kita lihat bagaimana boomingnya peran media sosial dalam penyebaran sebuah informasi dengan cepatnya. Ada fakta menyatakan bahwa penyebaran informasi via media sosial sangat cepat, karena: isinya bermanfaat untuk orang lain (58,7% atau 61 orang), isinya menarik (15,4% atau 16 orang), terkait dengan kondisi teman yang dishare (11,5% atau 12 orang), isinya benar (10,6% atau 11 orang), dan terkait dengan kondisi diri sendiri (3,8% atau 4 orang saja). Yang artinya, lebih dari separauh koresponden yakin bahwa berita yang ia dapat dan teruskan kepada orang lain memang bermanfaat bagi penerimanya. Masalahnya kemudian muncul ke permkukaan, "Apakah sudah benar berita atau pesan yang dia share tersebut?"

Konsultasi Dengan Keluarga!

Ternyata setelah saya teliti dengan baik selama berkecimpung di media sosial, baik itu facebook, twitter, hingga telegraph tidak jarang kita temui banyak penyebar berita hoax alias berita yang tidak benar dan akun-akunnya juga sudah kita tau dan bahkan sepertinya ada kesengajaan agar dunia maya ramai dengan keberadaan akun-akun tertentu yang tugasnya memang untuk menyebar hoax dan sepertinya mendapat keuntungan dari hasil postingan yang dishare sebanyak-banyaknya hingga menjadi viral.

Oleh karena itu, sekali lagi kebijaksanaan dan kemampuan intelektual serta kemampuan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita pelajari sangat dibutuhkan untuk menangkal dan tidak mudah menerima serta terjerumus hingga menjadi bagian dari sumber berita yang tidak benar tersebut. Lagi-lagi Keluarga, menjadi kata kunci yang tepat sebagai tempat berlindung dan melindungi keluarga dari penyebaran berita hoax yang datangnya bagaikan air bah tersebut.

Era digital tidak dapat dipungkiri telah menjadi eranya kita menjadi bebas untuk mengekspresikan diri dan bebas untuk berkomentar apa saja tanpa ada batasan lagi dan juga eranya kita bisa melihat semua dunia dalam genggaman kita. Ibaratnya, benarlah bahwa dengan era digital, maka dunia sudah selebar daun kelor! Juga era digital menjadikan sesuatu itu terang benderang alias sudah menuju era keterbukaan yang memaksa kita harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Era dimana kita mengesampingkan bersosialisasi dengan verbal, tetapi bersosialisasi dengan smartphone maupun gadget masing-masing. 

Era dimana kita lebih menggunakan teknologi untuk berkomunikasi, walau manusia yang kita ajak berkomunikasi itu ada disamping kita, bahkan satu rumah. Tetapi kita lebih suka memanggil dia dengan teknologi smartphone kita daripada teriak-teriak, padahal satu rumah. Itulah tantangan di era digital, dimana teknologi informasi komputer, internet telah mampu merubah budaya dan perilaku masyarakat kita untuk beralih ke media yang lebih cepat dan memudahkan, alias serba istant.

Nah, oleh karena itu untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif dari era digital tersebut, maka kembali Keluarga sebagai Sekolah yang pertama dan utama dalam membentuk karakter anak-anak harus mampu dioptimalkan dalam mendidik anak-anak agar cerdas dalam mengsiasati peran teknologi informasi dan komunikasi serta gadget atau smartphone tersebut. Sehingga anak-anak kita tidak terkontaminasi sebelum usianya memang sudah matang dan layak untuk terjun ke dunia digital.

Peran orangtua sebagai guru utama dalam keluarga harus kembali diingatkan fungsi dan peranannya. Orangtua yang baik adalah orangtua yang menyisihkan waktunya demi perkembangan anak. Orangtua harus mampu menyediakan waktunya untuk berinteraksi dengan anak-anak tanpa harus ditemani dengan smartphone maupun gadgetnya. Orangtua harus kembali ke kodratnya, yaitu selain sebagai pencipta generasi baru, tetapi juga harus mengajari mereka, menemani mereka dan menjadi saksi dari tumbuh-berkembangnya anak-anak dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa kelak.

Pak Jokowi dalam sambutannya saat menghadiri Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang di gelar di Lapangan Daerah Pauh Janggi, Pekan Baru, Riau (23/7/2017) menegaskan bahwa, "Harus berumur 13 tahun keatas, anak-anak kita baru diperbolehkan bermain media sosial seperti facebook. Sebelum umur 13 tahun, maka pilihan ada ditangan orangtua, apakah memberikan si anak nebeng facebook orangtuanya? Atau tidak memberikan kesempatan samasekali?".

Ini menjadi warning atau peringatan bagi kita agar tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada anak untuk memegang atau memiliki telepon pintar (smartphone), tetapi ada dalam pengawasan orangtua. Intinya, peran orangtua sangat penting dalam mengawasi dan menjaga anak agar tidak masuk dalam lingkaran pengikat bernama media sosial dengan segala tawaran yang menggiurkan. Orangtua harus mampu menjadi jembatan yang baik antara anak dengan kebutuhannya akan dunia teknologi. Sebab, jika anak sudah terkena adiksi internet atau pengaruh buruk internet? Maka yang terjadi adalah :

  • Waktu bermain yang cukup lama, di atas 6 jam, dia habiskan dengan gadget ataupun telepon pintarnya.
  • Anak akan gampang marah, sedih, frustasi kalau tidak bermain internet.
  • Saat orangtua menolak meminjamkan gadget atau smartphone, maka si anak bisa berubah total menjadi pemarah dan bahkan cenderung menjadi posesif hingga berbuat nekat dengan perilaku mengarah jahat, misalnya: mencuri gadget yang dimulai dari mencuri gadget orangtuanya.
  • Menjadi enggan bersosialisasi karena anak sibuk dengan gadget masing-masing
  • Malas makan, tidur, mengerjakan PR hingga bisa-bisa bolos sekolah
  • Pola tidur susah, karena cenderung menutup diri dan orangtua tidak perduli dengan rutinitas anak di dalam kamar. Si orangtua berpikir sudah tidur? Padahal si anak masih asyik bermain game atau kesibukan lain dengan gadgetnya.

Selain itu, orangtua juga harus mewaspadai sosial media, games, youtube, pornografi dan berita-berita hoax serta ajakan-ajakan yang bersifat radikalisme. Karena itu sangat berpengaruh pada perkembangan diri kita, anak hingga keluarga. Keluarga adalah sekolah yang pertama yang seharusnya mampu mengajarkan anak untuk tau membedakan mana yang baik dan mana yang benar, mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan serta mengajarkan kepada anak bahwa teknologi tercipta untuk memudahkan pekerjaan kita, bukan menambah beban dan menjadikan kita menjadi pribadi-pribadi yang berubah dari yang menghargai, sopan santun, menjadi orang-orang yang tidak mau tau. Semoga!        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun