Contoh sederhananya kami alami sendiri, satu hari sebelum hari H ujian nasional berbasis komputer diselenggarakan, ada empat orang yang jadi provokator yang mendalangi aksi coret-coret. Mereka datang kesekolah dengan kondisi baju pramukanya telah kena coret di luar, ketika guru sibuk dengan pekerjaan mereka dan luput, mereka mengajak agar teman-temannya melakukan aksi coret-coret, padahal ujian belum selesai, bahkan belum di mulai, karena senin-nya UNBK baru berlangsung.
Sontak anak-anak kelas XII yang kelasnya nga ada guru melakukan aksi coret-coret yang mengakibatkan kami semua melakukan aksi tegas dengan mengumpulkan siswa yang sempat coret-coretan di lapangan. Ketika kami interogasi, itu tadi mereka merasa itu adalah lucu-lucuan dan tidak ada perasaan takut apalagi bersalah, karena mereka menganggap mereka sudah lulus dan perlu dirayakan dengan coret-coretan. Ketika kami panggil orang tua mereka, disitu juga orang tua tidak banyak yang mempersalahkan anaknya, sehingga tekanan ada di pihak sekolah atas perbuatan mereka. “Itu kan bentuk kreatifitas? Kenapa harus dilarang?”. Nah loh?
Kita melihat fenomena, dimana siswa lebih mendengarkan kata senior mereka atau kakak pembina ekskul mereka daripada guru mereka misalnya. Ini sering kita lihat di lapangan. Mereka lebih mengiakan apa kata senior mereka, walaupun itu salah tetapi tetap dilaksanakan, sehingga banyak siswa terjerumus dengan pola pikir sempit tersebut dan tidak dapat melawan, karena sikap kritis mereka telah terbelenggu oleh pengetahuan dan kebenaran yang sejatinya semu.
Proses Pendidikan Bangkitkan Kesadaran Dalam Diri
Kemalasan berpikir, melahirkan kesesatan yang pada akhirnya berbuah kekerasan, entah fisik atau psikis, sehingga tidak heran apabila akhir-akhir ini aksi kriminalitas semakin meningkat yang didominasi oleh anak-anak usia produktif. Oleh karena itu perlu latihan berpikir dengan sasaran utama membantu siswa menyadari dan melepaskan diri dari inner ideas (gagasan-gagasan yang diterima begitu saja tanpa melihat manfaatnya, tanpa diuji secara kritis, atau yang hanya diramu dalam kemasan menarik, namun tanpa unsur baru yang memperkaya cara berpikir dan mencerahkan).
Oleh karena itu, untuk menghilangkan inner ideas, salah satunya adalah budaya coret-coret dan konvoi saban hari, maka proses pendidikan harus mampu membangkitkan kesadaran dalam diri subjek didik (siswa tentunya) bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai pendekatan ilmiah yang mendasarinya bukanlah tujuan akhir (final ends) pendidikan.
Pendidikan seharusnya diarahkan dan bermuara pada pengembangan kemampuan subjek didik untuk menerapkan pengetahuan yang didapat secara bijak dan tepat. “Education is the acquisition of the art of the utilization of knowledge”, yang artinya, Pendidikan adalah sebuah seni yang pasti tidak mudah untuk ditanamkan, tetapi kalau diusahakan secara sadar dan sistematik berbuah dalam bentuk perilaku yang beradab. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H