Baru-baru ini media sosial dihebohkan oleh reaksi emak-emak yang mengusir konvoi pelajar SMA dengan cara menyiram air comberan untuk mengusir siswa SMA yang melakukan konvoi dan coret-coretan merayakan kelulusan mereka yang tentunya sangat mengganggu pengguna jalan lainnya, terutama warga yang dilintasi. Emak-emak itu tentunya beralasan, karena memang tidak ada faedahnya coret-coret, apalagi konvoi di jalan raya bergerombol dan tidak menggunakan helm, ugal-ugalan di jalan raya saban hari yang hanya merayakan kelulusan SMP maupun SMA. Inilah potret pendidikan kita dari tahun ke tahun yang sudah seperti menjadi budaya di negara kita.
Lantas, mengapa merayakan kelulusan tingkat SMP dan SMA harus dengan coret-coret dan berkonvoi saban hari? Apakah benar ujian nasional tersebut sangat membebani hingga membuat stress sehingga selesai ujian dan dinyatakan lulus harus dirayakan dengan aksi coret-coret dan konvoi? Apakah aksi coret-coret dan konvoi adalah bagian dari proses pendidikan yang dibenarkan di era kekinian? Bukankah pendidikan itu adalah proses panjang yang harus diselesaikan secara tahap demi tahap untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya?
Sebuah ungkapan Latin mengatakan seperti ini, “Non Scolae Sed Vitae Discimus” yang artinya kurang lebih: “Kita belajar bukan hanya untuk sekolah, melainkan untuk Hidup”. Jadi pendidikan itu adalah proses panjang yang tidak pernah berhenti. Sekolah dan pendidikan formal hanyalah sarana dan syarat untuk menapaki jenjang pendidikan yang sudah diatur oleh Undang-Undang agar sebuah generasi yang ditamatkan memiliki syarat untuk bekerja atau kembali belajar ke jenjang yang lebih tinggi.
Sementara ujian, baik itu ujian sekolah maupun ujian nasional berpijak pada dasar hukumnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pemerintah dan Penilaian Hasil Belajar Oleh Satuan Pendidikan, adalah murni untuk mengetahui sampai dimana kemampuan siswa setelah mengenyam pendidikan secara berkala. Dan hasil ujian tersebut menjadi syarat kelulusan dengan mengikuti ujian nasional, ujian sekolah berbasis nasional dan ujian sekolah. Sehingga kata kelulusan bagi mereka, tidak harus dirayakan dengan berlebihan karena ujian akhir tersebut hanya syarat bagi mereka untuk mendapatkan hak lulusan setelah tiga tahun menyenyam pendidikan dengan baik.
Namun, makna kelulusan dalam mengenyam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami perubahan makna seiring dengan munculnya krisis ilmu pengetahuan dengan indikator sebagaimana dinyatakan oleh para ahli dengan istilah The End of Ideology (Daniel Bell 1971), The End of History and The Last Man (F.Fukuyama 1997), maupun The Death of Education (Neil Postman 2000) yang dimulai dengan munculnya kesesatan dalam berpikir ilmiah dalam menyikapi suatu bahasa, keadaan dengan ilmu pengetahuan yang mereka dapat.
Sesat Berpikir Sikapi Lulus Ujian
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktifitas berpikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai fallacia/falacy, dimana logika berpikir berlawanan dengan argumentasi logis. Mengikuti John Locke, psikolog dan ahli filasafat pendidikan John Dewey yang mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada akhirnya termanifestasi dalam perilaku yang juga sesat (Dewey, 1993: 131-134), diantaranya:
Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek (siswa) sesungguhnya jarang berpikir sendiri dan berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain. Ini dilakukan terutama untuk mencari aman bagi diri sendiri. Siswa yang terbiasa dengan kultur pendidikan seperti ini tumbuh menjadi manusia yang bermoralitas heteronom layaknya sebuah robot berjalan.
Demikian juga dengan sesat berpikir habis ujian nasional atau setelah pengumuman kelulusan dirayakan dengan coret-coret dan konvoi di jalan raya. Sebenarnya kalau siswa berpikir kritis, hal semacam ini tidak perlu dirayakan, lebih bermakna apabila baju mereka disumbangkan bagi yang membutuhkan atau disimpan sebagai kenang-kenangan dan lebih bermakna apabila dilakukan aksi-aksi sosial yang lebih berfaedah. Contoh kecil, bakti sosial, menyumbangkan segenggam beras untuk panti asuhan, ataupun aksi kecil tapi bermanfaat lainnya, daripada ikut-ikutan dengan teman-teman untuk coret-coret di lapangan merdeka.
Kedua, kesesatan dimana siswa bertindak seakan sangat menghargai rasio, tetapi kenyataannya tidak menggunakan rasionya sendiri dengan baik. Rasionalitas hanya muncul sebagai retorika tanpa pernah menjadi nyata secara substansial dalam cara berpikir dan bertindak. Siswa sekarang tidak mendengarkan sungguh-sungguh alasan gurunya, bahkan orang tuanya yang melarang aksi coret-coretan dan konvoi, kecuali mengikuti rasa humor, kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Contoh sederhananya kami alami sendiri, satu hari sebelum hari H ujian nasional berbasis komputer diselenggarakan, ada empat orang yang jadi provokator yang mendalangi aksi coret-coret. Mereka datang kesekolah dengan kondisi baju pramukanya telah kena coret di luar, ketika guru sibuk dengan pekerjaan mereka dan luput, mereka mengajak agar teman-temannya melakukan aksi coret-coret, padahal ujian belum selesai, bahkan belum di mulai, karena senin-nya UNBK baru berlangsung.
Sontak anak-anak kelas XII yang kelasnya nga ada guru melakukan aksi coret-coret yang mengakibatkan kami semua melakukan aksi tegas dengan mengumpulkan siswa yang sempat coret-coretan di lapangan. Ketika kami interogasi, itu tadi mereka merasa itu adalah lucu-lucuan dan tidak ada perasaan takut apalagi bersalah, karena mereka menganggap mereka sudah lulus dan perlu dirayakan dengan coret-coretan. Ketika kami panggil orang tua mereka, disitu juga orang tua tidak banyak yang mempersalahkan anaknya, sehingga tekanan ada di pihak sekolah atas perbuatan mereka. “Itu kan bentuk kreatifitas? Kenapa harus dilarang?”. Nah loh?
Kita melihat fenomena, dimana siswa lebih mendengarkan kata senior mereka atau kakak pembina ekskul mereka daripada guru mereka misalnya. Ini sering kita lihat di lapangan. Mereka lebih mengiakan apa kata senior mereka, walaupun itu salah tetapi tetap dilaksanakan, sehingga banyak siswa terjerumus dengan pola pikir sempit tersebut dan tidak dapat melawan, karena sikap kritis mereka telah terbelenggu oleh pengetahuan dan kebenaran yang sejatinya semu.
Proses Pendidikan Bangkitkan Kesadaran Dalam Diri
Kemalasan berpikir, melahirkan kesesatan yang pada akhirnya berbuah kekerasan, entah fisik atau psikis, sehingga tidak heran apabila akhir-akhir ini aksi kriminalitas semakin meningkat yang didominasi oleh anak-anak usia produktif. Oleh karena itu perlu latihan berpikir dengan sasaran utama membantu siswa menyadari dan melepaskan diri dari inner ideas (gagasan-gagasan yang diterima begitu saja tanpa melihat manfaatnya, tanpa diuji secara kritis, atau yang hanya diramu dalam kemasan menarik, namun tanpa unsur baru yang memperkaya cara berpikir dan mencerahkan).
Oleh karena itu, untuk menghilangkan inner ideas, salah satunya adalah budaya coret-coret dan konvoi saban hari, maka proses pendidikan harus mampu membangkitkan kesadaran dalam diri subjek didik (siswa tentunya) bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai pendekatan ilmiah yang mendasarinya bukanlah tujuan akhir (final ends) pendidikan.
Pendidikan seharusnya diarahkan dan bermuara pada pengembangan kemampuan subjek didik untuk menerapkan pengetahuan yang didapat secara bijak dan tepat. “Education is the acquisition of the art of the utilization of knowledge”, yang artinya, Pendidikan adalah sebuah seni yang pasti tidak mudah untuk ditanamkan, tetapi kalau diusahakan secara sadar dan sistematik berbuah dalam bentuk perilaku yang beradab. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H