Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polemik Dana BOS, Memunculkan 'Raja-raja Kecil'?

3 Mei 2017   14:21 Diperbarui: 3 Mei 2017   14:27 3000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggunaan dana BOS sudah sesuai dengan juknis? sumber: bos.kemdikbud.go.id

Apa yang terpikir dalam benak Anda jika mendengar kata BOS? BOS? Apakah yang dimaksud adalah seorang pemimpin, seorang atasan dari beberapa individu yang memiliki kapasitas dan tanggung jawab untuk membuat sebuah keputusan? Ternyata tidak, BOS yang kita bicarakan kali ini adalah Bantuan Operasional Sekolah yang ternyata pengelolaannya langsung memang dipercayakan kepada para BOS di sekolah-sekolah baik itu negeri maupun swasta, mulai dari SD/SDLB, SMP/SMPLB hingga SMA dan SMK untuk mengelola dana BOS yang bersumber dari Pemerintah Pusat yang berasal dari APBN (pajak, SDA, investasi maupun pinjaman dari luar negeri) yang langsung ditransfer ke rekening sekolah masing-masing dengan tujuan utamanya adalah untuk membantu sekolah dalam upaya memenuhi biaya operasional non-personalia untuk memenuhi amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tujuan digulirkannya dana BOS ini adalah murni untuk memenuhi tuntutan dari Undang-Undang yang harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu serta relevansi pendidikan dalam menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Sehingga dibuatkanlah program wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun dengan menggulirkan program dana BOS, dengan harapan meningkatnya tingkat kesadaran penduduk usia sekolah agar mau sekolah sampai ke tingkat SMA dengan biaya yang lebih murah, sehingga anekdot “semakin tinggi jenjang pendidikan, maka biaya semakin mahal”, dapat ditepis dengan penyaluran dana langsung dari pemerintah pusat yang ditransfer ke provinsi, selanjutnya ditransfer ke rekening sekolah masing-masing secara langsung dalam bentuk hibah.

Dalam juknis dana BOS tahun 2016, besaran dana BOS SMA yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa masing-masing sekolah dan satuan biaya (unit cost) bantuan yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp. 1.400.000/siswa/pertahun dengan tujuan memberikan kesempatan yang setara (equal opportunity) bagi siswa miskin SMA untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terjangkau dan bermutu.

Namun, yang terjadi di lapangan, sangat bertolak belakang dengan apa yang tertera dalam juknis dana BOS tersebut. Ketika kepercayaan pengelolaan dana BOS diberikan sepenuhnya kepada sekolah, maka disinilah muncul praktek kkn (kolusi, korupsi dan nepotisme) antara unsur pengelola dana BOS yang diberikan kewenangan secara mandiri dengan mengikutsertakan komite sekolah. Disinilah mental kepala sekolah dan komite sekolah sebagai BOS disekolah diuji dalam mengelola dana BOS tersebut. Apalagi di SMA, uang komite masih diperbolehkan untuk dikutip, maka semakin besar peluang untuk meng-abu-abukan penggunaan dana BOS untuk memperkaya diri sendiri dan konco-konconya.

Memang tidak semuanya kepala sekolah menjadi raja kecil dalam pemanfaatan dana BOS, masih ada kepsek yang orientasinya memang untuk memajukan pendidikan, tetapi jika kepseknya sudah memasuki purnabakti? Maka yang dipikirkannya adalah bagaimana agar dana BOS tersebut disandingkan dengan dana komite sekolah bisa sekian persen masuk ke kantong pribadinya. Ini banyak terungkap ketika saya bersama teman-teman menyambangi sebuah LSM yang memang getol berjuang untuk kepentingan masyarakat atau golongan yang melaporkan kasus-kasus praktik kkn di masyarakat.

Abang Regar menerima kami siang itu dengan senang hati. Mereka mendengarkan keluh-kesah kami yang bercerita masalah pendidikan, masalah penggunaan dana BOS hingga masalah uang tambahan jam mengajar, yang sering disebut dengan insentif guru bersumber dari uang komite sekolah yang dikutip belum dibayarkan hingga empat bulan. Bang Regar menjelaskan dengan rinci bahwa itulah polemik dana BOS ini, karena “uang ditransfer langsung oleh dinas provinsi ke rekening sekolah, sekolah menggunakannya entah kemana-mana, buat apa, gubernur tidak tau, taunya dana BOS telah ditransfer dan sekolah cukup membuat laporan sesuai dengan item-item ataupun komponen-komponen kegiatan yang diprioritaskan penggunaannya dalam juknis”, seperti:

Pertama, pengadaan buku teks pelajaran dan buku bacaan, (2) Pembiayaan pengelolaan sekolah, pengadaan alat habis praktikum pembelajaran, pengadaan bahan habis pakai praktikum pembelajaran, hingga pembelian peralatan komputer pembelajaran, laporannya bisa fiktif alias benar atau tidaknya 14 (empat belas item) itu benar-benar terlaksana, hanya merekalah yang tau. “Jangankan gubernur maupun kadis, dewan guru saja tidak tau kemana saja penggunaan dana BOS, karena ditempat kami, tidak pernah dimusyawarahkan ataupun dirapatkan bersama, padahal jelas dalam aturan bahwa harus ada kesepakatan dan keputusan bersama yang disertai dengan tanda tangan rapat dalam pembahasan penggunaan dana BOS”, jelas Bang Regar lebih lanjut.

Ironisnya, di tingkat SMA banyak terjadi double anggaran, artinya di dana BOS dianggarkan, di laporan komite sekolah juga dianggarkan, sehingga saat rapat dengan orang tua siswa, laporan tersebut banyak dikritik karena anggaran suatu kegiatan ekstrakurikuler misalnya besaran dana yang dikeluarkan sangat tidak masuk akal, sementara kegiatannya dilaksanakan tidak sebesar yang dianggarkan. Tetapi itu tadi, karena tingginya tingkat toleransi dari masyarakat, laporan tersebut tetap diterima dan dimaafkan.

BOS Dimonitoring dan Supervisi

Memang dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan program BOS SMA, selalu di monitoring dan supervisi oleh tim manajemen BOS pusat, tim manajemen BOS Provinsi dan tim manajemen BOS kabupaten/kota secara berkala. Monitoring tujuannya untuk memantau perkembangan pelaksanaan BOS SMA. Sedangkan supervisi bertujaun untuk memastikan akuntabilitas pelaksanaan dan ketercapaian program BOS SMA.

Tetapi, di lapangan siapa yang tau? Itu tadi, kepala sekolah bersama dengan bendahara yang tentunya adalah orang-orang pilihan yang bisa diajak kerjasama dan tentunya orang-orang tertentu yang terlibat dalam BOS yang dapat ‘disetir’ untuk membuat program fiktif lengkap dengan kwitansinya mampu meyakinkan tim supervisi dan monitoring tentunya agar laporan diterima. Belum lagi ketika mereka mau pulang, diselipkan ‘amplop’ bikin mereka tidak ‘berkutik’ dan meng-acc-kan laporan BOS SMA.

Pengawasan laporan dana BOS yang terkesan lemah inilah yang membuat tumbuhnya raja-raja kecil, karena dana BOS bisa dipermainkan oleh kepala sekolah dan digunakan untuk keperluan pribadinya. Tak terbayangkan, ketika seorang kepala sekolah setelah menjabat, tiba-tiba gaya hidupnya berubah, penampilannya total 360 derajat berbalik arah, hartanya bertambah, tiba-tiba dia punya mobil baru, dengar-dengar punya gedung baru, yang paling gress, dia punya sekolah baru. Semuanya serba baru sampai-sampai hak untuk guru-pun terabaikan karena dana BOS dan komite tidak jelas pada kemana digunakan.

Mengapa disebut raja-raja kecil? “Karena penggunaan dana BOS tersebut menjadi seperti hak preogratif yang melekat pada diri Presiden seorang. Tidak bisa diintervensi oleh gubernur, walikota, bahkan oleh kadis sendiripun. Karena sistem pemberiannya langsung ke rekening sekolah, dipergunakan oleh kepala sekolah. Pesan kadis hanya ‘pergunakan dengan sebaik-baiknya yah sesuai juknis’, di lapangan siapa yang tau?” ungkap Bang Regar lebih lanjut yang membuat kami hanya mengangguk-angguk.

“Jadi kalau mau diungkap ya, harus ada bukti donk. Harus ada bukti penyalahgunaan anggaran BOS-nya. Harus ada laporan pertanggung jawaban mereka, baru kita kroschek di lapangan.” Begitulah anjuran Bang Regar yang membuat kami patah arang. Abis laporannya nga ada kami pegang.

Sebenarnya yang jadi masalah adalah sistem pemberian dan penggunaan dana BOS, disamping karakter dari guru yang diangkat menjadi kepala sekolah juga perlu diperhatikan sehingga penggunaan dana BOS bisa tepat sasaran, bukan memunculkan raja-raja kecil yang tumbuh subur selagi dia menjabat.

Sistem pemberiannya yang dimaksud adalah adanya sistem seperti yang dibuat oleh gubernur DKI sekarang, mirip-mirip e-budgeting pada saat pengisian RKJM, RKT maupun RKAS (Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah), sehingga bisa di lock dan dipasword serta tidak bisa asal-asalan dalam pembuatan RKAS, tetapi benar-benar sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pun pada saat pencairan, tim manajemen BOS memang benar-benar check, apakah alokasi BOS benar disalurkan demi perkembangan mutu pendidikan? Atau hanya menguntungkan sekelompok orang?

Sebagai seorang pemimpin di sekolah, sudah sepantasnya seorang kepala sekolah harus mampu bersikap adil, arif dan bijaksana selama menjabat, bukan membuat ada gap atau pengkotak-kotakan disekolah tersebut, sehingga muncul grup guru yang mendukung, setengah mendukung dan ada yang antipati sehingga digusur dari jabatannya. Seorang pemimpin itu harus mampu memberikan apa yang menjadi hak guru, bukannya malah dialihkan ke program lain sehingga insentif yang seharusnya diterima karena sudah dianggarkan, belum dapat diterima hingga kini dengan alasan yang tidak jelas. Sebagai warga negara yang baik, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ketika guru sudah menjalankan kewaibannya, maka apa yang menjadi haknya harus diberikan.

Inilah secuil ironi pendidikan di hari pendidikan nasional 2017 ini. Semoga ke depannya ada solusi yang baik seputar pemberian dana BOS yang memang tujuannya sangat mulia, membantu siswa untuk dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi (wajib sekolah 12 tahun), sehingga akses pemerataan pendidikan dapat terwujud dengan baik. Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun