Kita menjadi bangsa yang lupa bahwa kita punya semboyan dari nenek moyang kita yang harus kita jaga dan lestarikan, “Bhinneka Tunggal Ika” yang tersemat pada lambang negara Garuda Pancasila.
Jadi jangan heran jika negara lainpun mengolok-olokkan sebutan pancasila kita karna dari dalam sendiripun sudah ada warga negara kita yang berani mengolok-olokkannya, bahkan yang lebih mengherankan media sosial dimanfaatkan untuk menyerang, memberitakan berita-berita ‘hoax’, bahkan sudah berani menghina perangkat maupun alat-alat negara dan yang lebih miris adalah memelihara perbedaan berdasarkan SARA yang selama ini menjadi bom waktu bagi keutuhan NKRI.
***
“Bhinneka Tunggal Ika” itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak zaman kerajaan Majapahit sudah dipakai sebagai motto pemersatu wilayah di kawasan Nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa sudah sejak dulu bangsa Nusantara memiliki visi bernegara yang tegas dalam rangka memelihara kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman yang dimiliki oleh setiap putra bangsa di seluruh penjuru negeri.
Itu bagian yang jelas untuk menyadarkan kita bahwa perbedaan itu adalah keunikan yang mempersatukan. Perbedaan itu adalah alat pemersatu, terutama perbedaan agama dan suku bangsa. Namun segelintir golongan yang ingin merongrong persatuan dan kesatuan sangat pintar memainkan permainan caturnya dengan memanfaatkan isu SARA untuk membuat kegaduhan di era pemerintahan sekarang. Ketika kita punya pemimpin yang benar-benar mau bekerja dan menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, ketika itu pula banyak rintangan yang muncul, khususnya terkait dengan isu-isu SARA. Ketika orang-orang yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dihunjuk untuk menempati posisi strategis dibidangnya, ketika itu juga isu SARA menjadi dasar menghalangi mereka untuk bekerja dengan tulus.
Yang paling menjadikan kita seperti hidup di era ‘kegendengan’ adalah kala media sosial menjadi sarana untuk saling menyerang oleh keputusan-keputusan pemerintah. Contoh sederhana, kala pemerintah mengeluarkan uang seri terbaru maka di media sosial yang ada adalah olok-olok pada gambar Frans Kaisiepo yang memang kurang familiar karena kita kurang belajar dan membaca siapa dia dan apa peranannya di provinsi Papua sehingga dilabeli sebagai Pahlawan Nasional. Pun dengan nasib dua pahlawan wanita dari Aceh, Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia yang dalam seri mata uang tidak memakai jilbab. Apakah kita ingin merubah sejarah dengan memaksa semua lukisan dan gambar beliau-beliau harus memakai jilbab? Inilah era ‘kegendengan’ yang saya maksud.
***
Sebenarnya tidak susah untuk hidup di NKRI dengan segala perbedaan dan keberagamannya. Hanya dibutuhkan 5S + 1C dalam membangun dan menjaga kerukunan, terutama toleransi antar umat beragama. Apa itu 5S+1C?
Sadar, Sopan, Santun, Salut, Semangat + Cerdas. Sadar, artinya kita harus kembali menyadarkan diri bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang dari dulu sudah diberkahi dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” untuk menjaga Nusantara dari penjajahan baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Sopan, artinya, saling harga-menghargai perbedaan, menghargai apa hak dan kewajiban seluruh warga negara Indonesia. Pun dengan Santun, kita harus mulai belajar santun di media sosial, saat berbicara ataupun memanfaatkan media sosial.
Santun dalam berkomunikasi dalam media sosial dan tidak ikut-ikutan menyebarkan berita ‘hoax’. Salut, artinya kita harus salut dengan sejarah panjang negara kita yang tetap bersatu. Salut pada pemimpin sekarang yang bekerja untuk rakyat, bukan menghalang-halangi program mereka. Semangat dan cerdas dalam memanfaatkan media sosial atau perangkat IT menjadi modal dalam pembangunan dan menjaga kerukunan.
Sebagai penutup, tidak gampang tersulut oleh berita-berita di media sosial adalah tips terakhir dalam menjaga kerukunan dan toleransi di Indonesia. Mengecek kebenaran berita adalah ciri khas orang Indonesia yang cerdas. Filsuf dan matematikawan Prancis, Blaise Pascal pernah berujar, “Segala masalah manusia disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang bagaimana untuk duduk tenang”. Saya tambahkan dengan ini “... dan tidak tahu kapan saatnya duduk tenang.”