Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

[LOMBAPK] Apa Susahnya Menjadi Agen Toleransi dan Kerukunan di Era "Kegendengan"

12 Januari 2017   06:42 Diperbarui: 15 Januari 2017   08:38 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ciat.... cat...ciat... wuishhh opsss...!”, begitulah suara pertarungan antara aku dengan tetanggaku di kebun belakang rumah. “Jurus kunyuk melempar buah..!!”, teriakku sekeras-kerasnya untuk memamerkan jurus-jurus monyet yang sering aku baca di buku serial favoritku. Lalu tetanggaku membalas, “Ajian kapak naga geni 212...!!??”, teriaknya tidak kalah kerasnya untuk membalas seranganku. Lalu kami berlari-lari disekitar pohon jambu yang berdiri cukup kokoh. Sekali-sekali kami bergelantungan didahan pohon jambu sampai lupa bahwa sore hari telah menjemput kami untuk balik kerumah membawa kayu bakar dari dahan kopi dan buah kopi yang telah selesai kami petik.

Sesampainya dirumah yang hanya dipisahkan oleh satu dinding triplek antara kami yang beda keyakinan, kebersamaan kami tiada henti. Orangtuaku yang lebih tua dan memang dari “tarombo” atau silsilah keturunan marga dalam budaya Batak mengatakan bahwa marga kami lebih tua dari marga mereka, kami sudah menganggap mereka saudara kandung sendiri. Tidak ada jarak antara kami berkeluarga, saling meminjam barang, memberi tumpangan aliran listrik ketika mereka baru pindah, kami anak-anaknya bermain dan saling mengerjakan PR bersama-sama, bahkan saat acara keagamaan masing-masing berlangsung, kami sangat menghormati dengan saling maaf-memaafkan.

Kala kami merayakan tahun baruan, ditanggal 01 Januari setiap tahunnya dipagi hari, mamak tidak lupa membungkuskan kue-kuean, atau menaruhnya dipiring dan kami disuruh untuk mengantarnya kerumah sebelah, “Nah, bawa klean ini kerumah Udak klean itu”, kata mamakku. Itu adalah hal yang paling menggembirakan, kami datang dengan sukacita, menyalami uda, inanguda, dan anak-anak mereka. Kala kami membawa makanan, tidak ada rasa kecurigaan, mereka turut gembira dengan memakan kue-kuean yang kami bawa sambil inanguda atau ito – anak perempuan – mereka membuatkan teh manis atau kopi. Acara tahun baruan berlangsung dengan suasana yang penuh makna, makna toleransi dan tidak ada pemisah antara kami.

Tanggal 02 Januari-nya, ada kebiasaan hingga sekarang dimana kami mengadakan acara makan bersama satu keluarga. Maka yang menjadi korban adalah ayam kampung yang dimasak sendiri dan diracik ala makanan khas Batak berupa na pinadar dan nasi kuning khas Pakpak Barat yang disebut dengan “Pelleng” atau “Pollong” buatan tangan mamak kami tercinta. Tidak lengkap rasanya apabila awal tahun tidak bergotong-royong untuk memotong ayam yang jumlahnya diatas 2 ekor dengan berat antara 1 – 1,5 kg itu hingga dimasak dan disantap bersama satu keluarga.

Ada keharusan bagi kami, yang memotong ayam tersebut adalah uda disebelah rumahku yang beda agama. Mulanya kami tidak sadar kalau itu adalah bentuk penghargaan ayahku kepada tetangga yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri itu. “Gus, panggilkan udakmu, agar dia yang motong ayam ini!”, perintah ayahku, yang langsung aku iakan dengan berlari ke sebelah memanggil udakku itu. Ternyata sekarang baru tau apa makna dari perintah itu, sehingga saat kami berikan satu piring daging ayamnya, tidak masalahtoh..., kebiasaan itu akhirnya tetap kami jalankan hingga sekarang, dan tau apa makna dari ajaran ortuku tersebut.

Begitu juga saat Hari Raya Idul Fitri, udakku sudah pasti datang mengunjungi kami dengan sajian khasnya, ‘lemang’. Yah, ‘lemang’ ciri khas yang sangat nikmat. Usai bersalam-salaman, kami pasti menyantap ‘lemang’ sambil minum kopi khas Dairi racikan tangan sendiri menambah nikmatnya suasana Hari Raya Idul Fitri yang sampai sekarang sangat terasa nikmatnya dan pengen untuk dikenang kembali.

***

Namun, kebiasaan dan kebersamaan itu akhirnya pudar seiring berjalannya waktu. Kala krisis moneter’98 melanda dan seiring kami sudah saatnya merantau, udakku sekeluarga pindah ke Sumbul Salam, Aceh. Sejak itu baru sadar bahwa dunia ini telah berubah dengan cepatnya. Teringat kembali masa-masa SMP dulu dimana saya bersama saudaraku yang beda agama itu sangat suka bersembunyi di loteng rumah untuk membaca novel fiksi yang kala itu sangat booming. Ya, selain bermain bola, maka kegiatan senggang, kami gunakan untuk membaca buku dan komik fiksi tentang pendekar-pendekar pembela kebenaran dan keadilan yang banyak dipinjamkan oleh perpustakaan keliling yang singgah di daerah kami.   

Dan salah satu novel yang sangat terkenal pastinya kala itu, hasil karya Bastian Tito berjudul wiro sableng, hasil didikan sinto gendeng dengan lafal didadanya – 212 – yang seakan-akan menjadi pendekar nyata dan mampu menghipnotis dan jadi bacaan wajib bagi kaum remaja di zaman itu. Yang menjadi pertanyaan menarik, apakah pengarang cerita fiksi ini adalah seorang peramal ulung? Sehingga bisa meramalkan kita kini mengalami era “kegendengan”?

    ***

Dunia ‘kegendengan’ sepertinya menjadi viral diera millenium baru yang super-maju ini. Era kemudahan dengan segala perangkat teknologi informasi dan komunikasi, ternyata dari segi kemanusiaan, rasa memiliki, rasa persatuan dan kesatuan, terkhusus rasa toleransi dan saling menjaga kerukunan sudah mulai pudar. Kita dihadapkan pada kenyataan untuk lebih menonjolkan keunggulan agama, kekuatan antar golongan, kehebatan RAS kita daripada ras orang lain. Ketika mayoritas sepertinya hendak menunjukkan kekuasaannya atas minoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun