Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBA PK] Sukses Restorasi Film Tiga Dara, Awal Menjaga Aset Film Berkualitas Nasional

17 Agustus 2016   22:32 Diperbarui: 17 Agustus 2016   23:53 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang film jadul kalah kualitas dibandingkan film sekarang? Jujur saya lebih suka menonton film-film jadul dibandingkan dengan film-film sekarang yang lebih berorientasi pada era kekinian dengan cerita yang ngawur tidak karuan dan kurang menggambarkan rasa Nasionalisme dan rasa ke-Indonesiaan. Dalam, catatan saya, film-film berkualitas dengan rasa Indonesia hanya dapat dihitung dengan jari-jari semenjak Negara kita ini memasuki era baru, Era Reformasi dari tahun 2000-an hingga sekarang.

Laskar Pelangi, film Nasional yang mampu menyabet perhatian dunia. Yah film yang diangkat dari Novel Fenomenal karya Andrea Hirata ini mampu menjadi film Indonesia terlaris sepanjang Indonesia memasuki era baru. Bersama dengan film Petualangan Sherina (tahun 2000), Laskar Pelangi menjadi film yang luar biasa, karena tidak hanya kualitas produksi yang bagus, juga jalan cerita yang mengangkat tema “Suasana Pendidikan anak-anak miskin yang berada di pelosok negeri ini yang juga menampilkan pesona indah daerah Belitung yang tidak diketahui oleh dunia”,diangkat dalam cerita film yang berhasil menyabet beberapa penghargaan bergengsi baik di tingkat nasional maupun tingkat Internasional. Film yang disutradari oleh Riri Riza dan Mira Lesmana ini sudah ditonton oleh 4,6 juta orang lebih semenjak dirilis dari September 2008.

Walaupun banyak muncul film-film yang terinspirasi dari suksesnya film Laskar Pelangi, seperti : Sang Pemimpi (2008), Merantau (2009), Garuda di Dadaku (2009), hingga The Raid (2012), dan The Raid2 : Brandal (2015) yang selain sukses menyabet beberapa penghargaan Internasional, juga berhasil menghantarkan para pemain-pemain kawakannya seperti : Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan lainnya mentas hingga ke Holywood, bukan berarti dunia perfiliman tanah air kita sudah merasa puas karena ternyata belum mampu menjawab kebutuhan akan film-film yang mampu bersaing dengan film-film yang diproduksi setelah era Kemerdekaan dengan jalan cerita dan ide yang kreatif, semisal film bertemakan musikal berjudul ‘3 Dara’.

Berangkat dari rasa kerinduan dan kehausan akan film-film yang berbobot dan jalan cerita yang melekat kental dalam tubuh ke Indonesiaan, maka film ‘3 Dara’ yang menjadi film musikal pertama Indonesia yang disutradari oleh mendiang Usmar Ismail dan diproduksi tahun 1956 ini kembali di RESTORASI dengan harapan dapat menyelamatkan asset Nasional yang hampir punah. Karena film ‘3 Dara’, film yang pernah merajai di eranya karena menjadi film box office yang sukses secara komersil dan terakhir mendapat ganjaran Piala Citra untuk kategori Tata Musik Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 1960 adalah film terbaik di zamannya yang ingin diulang kembali masa kejayaannya oleh para sineas-sineas muda kita yang terlibat langsung dalam proses RESTORASI film yang pernah ditayangkan selama delapan minggu berturut-turut di seluruh penjuru tanah air.

Merestorasi Film ‘3 Dara’, Mengenang Kembali Usmar Ismail

Film ‘3 Dara’ tidak terlepas dari peran penting seorang tokoh ‘gila film’ di era kemerdekaan yang karena keberhasilannya mengangkat dan melepaskan dunia seni Indonesia, khususnya dunia seni sinematografi dari kungkungan dan ketergantungan akan cara berpikir dan bertindak ala ke belanda-belandaan (Holland denken) dengan ide : Revolusi Dunia Perfiliman Tanah Air, maka seorang Usmar Ismail datang untuk merevolusi film yang akan dia garap. Ada tiga Revolusi penting yang beliau wujudkan sehingga mendapat pengakuan sebagai Bapak Film Indonesia.

Pertama, ia merevolusi tema. Kalau semenjak tahun 1900-an film Indonesia banyak bercerita tentang dongeng, maka mendiang Usmar Ismail mengangkat tema filmnya tentang realitas sosial dengan segala ironinya. Kedua, merevolusi orientasi. Kalau selama ini film semata-mata untuk hiburan, maka mendiang Usmar Ismail menjadikan film sebagai sarana perjuangan dan pembentukan karakter bangsa. Ketiga, revolusi penguasaan. Kalau selama ini pasar film nasional dikuasai oleh bangsa asing, maka Usmar Ismail, dan kawan-kawan mampu membalikkan situasi tersebut, menggeser pasar asing dan menempatkan film nasional sebagai tuan di negeri sendiri.

Darah dan Do’a atau The Long March (1950) yang diproduksi oleh Perfini adalah bukti revolusi beliau dalam dunia perfiliman tanah air. Memanfaatkan film sebagai sebuah karya budaya bangsa, film ini menceritakan tentang Long March pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dari Yogyakarta setelah Belanda melanggar Perjanjian Renville. Menggambarkan watak manusia Indonesia yang diempas revolusi, mulai dari agresi Belanda II, gerakan sub-versi hingga penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. Semua divisualisasikan oleh mendiang Usmar Ismail secara alami dan sederhana. Film ini sangat menginspirasi Bung Karno, dan atas keberhasilan Usmar Ismail menciptakan genre baru perfilman nasional,Musyawarah Nasional Dewan Film Indonesia pada tahun 1950 menetapkan hari permulaan shootingfilm The Long March, 30 Maret 1950, sebagai hari lahirnya Film Nasional Indonesia yang akan diperingati setiap tahunnya. Sang sutradara Usmar Ismail bersama Djamaluddin Malik ditetapkan sebagai bapak film nasional.

Serangan kaum kapitalis dan maraknya film India dan Amerika, tidak menyurutkan Usmar Ismail untuk berkarya. Dengan ide yang brilian untuk memadukan lagu dalam sebuah film, maka terwujudlah film Tiga Dara (1965), menceritakan tentang tiga dara, diperankan oleh Cithra Dewi (Nunung), Mieke Wijaya (Nana), dan Indriati Iskak (Neni) yang diasuh nenek dan ayahnya mereka, karena sang ibu telah meninggal. Karena ada amanat almarhum ibu mereka, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung Nunung. Sayangnya calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara, di mana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik di dalam keluarga mereka.

Film ini menjadi spesial karena jalan ceritanya adalah realita kehidupan, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dibalut dengan kelucuan dan dibalut dengan music-musik indah dan abadi yang dibuat oleh Komposer Legendaris Indonesia; Saiful Bahri. Lagu-lagu yang dikumandangkan dalam film ini juga hasil ciptaan dan tulisan beberapa penulis lagu terkenal tanah air, diantaran : Saiful Bahri, Oetjim Nurhasjim, dan Ismail Marzuki yang menjadikan film ini harus dipertahankan dan digali kembali karena tiada duanya. Film ini adalah film terbaik dan seharusya mampu menggugah rasa nasionalisme serta kita harus bangga karena Indonesia di jaman dengan krisis ekonomi sudah mampu memproduksi film ‘3 Dara’ dengan kualitas terbaik dengan penyajian yang modern karena bertemakan musikal.

Harapan Merestorasi Film-Film Perjuangan Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun