Ucapan Jhon F. Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat, “Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu”, menjadi pemanis dari akhir gelaran Copa America Centenario di Stadion Metlife Stadium, Senin (27 Juni 2016) Amerika Serikat. Argentina kembali mengalami antiklimaks kala bersua kembali dengan musuh bebuyutan, Chile di final edisi khusus 100 tahun Copa America. Argentina yang diprediksi akan mampu membawa pulang Piala supremasi tertinggi benua Amerika Latin tersebut kandas di partai final oleh Chile sang kuda hitam, walau faktanya berstatus juara bertahan.
Argentina, semenjak penyisihan grup bermain trengginas dan mampu menyingkirkan tuan rumah dengan skor telak empat gol tanpa balas si Semifinal mengindikasikan bahwa turnamen ini memang sengaja diperuntukkan untuk tim Tanggo. Namun, apa daya tropi yang terakhir kalinya dibawa pulang ke Argentina 23 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1993 kembali kandas di partai final oleh tim yang sama dan cara yang sama pula, oleh Cile dan lewat adu penalti.
Messi Bukan Sang Mesiah
Nasi sudah menjadi bubur, sia-sialah semua gelontoran gol yang dilesakkan oleh Messi dan penyerang-penyerang terbaik yang sudah mereka lesakkan selama turnamen, karena hanya mampu menorehkan sejarah baru bagi Argentina, yah tiga tahun berturut-turut tampil di final (Final Piala Dunia 2014, kalah dari Jerman lewat gol Mario Gotze di menit-menit terakhir), (Final Copa America 2015, kalah dari tuan rumah Cile lewat adu penalti dengan skor 4-1), dan (Final Copa America Centenario, kalah dari Cile lewat adu penalty 4-2), jika di runut dengan sejarah Copa America tahun 2007 (kalah dari Brazil 3-0), maka Argentina 4 kali sudah mencapai final tapi selalu kalah. Yang paling sial tentunya kenyataan bahwa Argentina sekarang dipenuhi dengan pemain-pemain terbaik diposisinya dan menjadi generasi emas menyamai timnas Argentina kala menjadi juara Dunia 1978, 86, 91, maupun edisi tahun 1993, dimana Batistuta, Diego Simeone, dan Fernando Redondo mampu membawa tropi bergengsi ke kampung halamannya.
Seandainya waktu bisa diputar kembali, mungkin Gerardo ‘tata’ Martino akan memainkan skuad yang sama kala Argentina mengalahkan Cile di babak penyisihan grup, dimana seorang Leonel Messi tidak dimainkan sejak menit pertama, tetapi penyesalan selalu datangnya terlambat, Messi yang tidak diragukan lagi kemampuannya, ternyata melempem dan kembali memunculkan sisi keegoisannya daripada sisi kolektivitas tim untuk meraih kemenangan. Pemain yang meraih lima kali pemain terbaik dunia ini ternyata tidak mampu memimpin rekan-rekan satu timnya untuk bersama-sama meraih kemenangan. Dia asyik bermain sendirian, lebih bernafsu untuk membobol gawang Claudio Bravo, meliuk-liuk tidak karuan dan membagi bola kepada rekan setim setelah kesulitan dikawal 3-4 pemain Cile. Jadilah permainan Argentina kacau-balau dan dikendalikan oleh permainan Cile.
Dari statistik pertandingan tampak bahwa shot on target sama-sama 3 kali percobaan, tapi shot off target, tim Tanggo lebih mendominasi dengan 11 tembakan berbanding 1 tendangan milik pemain Cile yang melenceng. Ketergantungan kepada Messi menjadikan pemain lain tidak pede melakukan kreasi di kotak pertahanan Cile, semua aliran bola dipaksakan berpusat pada seorang La Pulga, padahal Arturo Vidal, Alexis Sanchez dan pemain belakang Cile sudah tau isi dan gaya bermain Messi. Jadilah pemain yang baru saja genap berusia 29 tahun, tanggal 24 Juni kemarin menjadi sasaran keroyokan pemain-pemain Cile dan Argentina kewalahan.
Yang lebih menyedihkan dalam adu tos-tosan, Messi yang jadi penendang pertama, sama kala setahun yang lalu juga memimpin Argentina menghadapi Cile di final, diluar dugaan, gagal menceploskan si kulit bundar ke gawang Claudio Bravo, padahal Argentina di atas angin setelah Sergio Romero berhasil menggagalkan tendangan Arturo Vidal sebagai penendang pertama. Jadilah Messi dihujat karena menjadi biang kekalahan Argentina dalam usaha membawa pulang satu tropi saja dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Argentina yang sudah lama merindukan gelar dari olahraga yang dianggap sebagai agama di negara ini, Messi dan kawan-kawan yang kebanyakan merumput di benua Eropa sangat dituntut untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi negara mereka, tetapi Messi tidak mampu. Sehingga Messi masih dianggap pesepakbola biasa yang harus saling mengisi, bukan sang Messiah.
Padahal semua ‘ritual’ sudah dilakukan oleh Messi dan kawan-kawan agar bisa menjadi juara, mulai dari pelihara jenggot, bermain sangar, hingga baik-baik sama suporter, tetapi tetap tidak bisa mengakhiri kutukan spesialis runner-up dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Tangisan Messi pun meluap kala dirinya menjadi pemain yang tidak beruntung mengambil tendangan penalti, kontras ketika tahun lalu menjebol gawang Bravo.
Akibat dari gumpalan gunung es kegagalan demi kegagalan bersama Timnas Senior, menjadikan seorang Messi dan teman-teman segenerasinya lebih memilih mundur daripada terus-terusan di bullyoleh masyarakat Argentina maupun penggemar garis kerasnya. Hasutan Maradona “agar timnas tidak usah pulang kampung kalau tidak jadi juara Copa America Centenario”, bakal bisa menyulut amarah rakyat Argentina dan melempari bus atau pesawat saat berada di bandara, bukannya di elu-elukan, tetapi bakal menjadi bulan-bulanan amarah rakyat Argentina yang sangat mendambakan gelar bergengsi bernama Copa America Centenario.
Akibat tidak bisa menahan amarah dan malu, maka Messi-pun memutuskan untuk gantung sepatu dari timnas Argentina di usia keemasannya. Messi dengan bulat usai menekuk kekalahan dari Cile yang memperpanjang rekornya tidak bisa memberikan gelar kepada timnas, lebih memilih mundur akibat nil gelar yang didambakan masyarakat Argentina. Tidak hanya Messi, Mascherano, Higuain, Aguerro, hingga di Maria diindikasikan ikut juga pensiun dini dari timnas Argentina akibat kegagalan menjawab ekspektasi yang berlebihan.
So, inilah pelajaran bagi Timnas Garuda Indonesia, jika para petinggi-petinggi yang peduli sepakbola di negeri ini bisa belajar dari pagelaran Copa America Centenario yang disiarkan langsung oleh #KompasTV ini, khususnya apa yang dialami oleh Cile dan Argentina, maka seharusnya berbenah adalah kata kuncinya. Bagaimana Argentina yang sudah mempersiapkan tim dengan baik, memanggil para bintang-bintang tenarnya dari seluruh penjuru dunia, tetapi tetap tidak bisa merengkuh gelar, apalagi dengan persiapan yang setengah matang, bahkan asal-asalan bisa angkat koper. Bagaimana regenerasi sangat penting dan tidak tergantung pada seorang pemain harus perlu diperhatikan, jika ingin juara. Tapi di Indonesia? Masih banyak kita jumpai pemain titipan dan liga yang morat-marit, jauh dari kata profesional dan asal-asalan.
Akhirnya, semoga timnas Indonesia bisa berjaya dan semoga Argentina lebih bagus sepeninggal Leonel Messi. Terimakasih #KompasTV sudah menyiarkan pertandingan bergengsi ini.
Salam Olahraga!
#CopaAmericaKompas TV
#KompasTV
#UlasanPertandingan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H