Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsep Pendidikan Berbasis TIK sebagai Gerakan Semesta untuk Indonesia Lebih Baik

25 Mei 2016   21:27 Diperbarui: 25 Mei 2016   22:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa dibayangkan ketika sebuah negara besar seperti Indonesia tetap menghapus mata pelajaran TIK dalam struktur dasar kurikulumnya, sementara sadar atau tidak pelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi sudah merupakan suatu keharusan yang harus diajarkan kepada generasi bangsa ini, jika ingin negara ini maju. Ibarat buah simalakama, begitulah dilema yang harus dihadapi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam menempatkan mata pelajaran TIK ini. Dalam Kurtilas, TIK tidak lagi sebagai mata pelajaran yang diajarkan secara reguler, tetapi dimaksudkan hanya sekedar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran (effective use of technology skill) sehingga mata pelajaran TIK hilang yang mengakibatkan tidak ada lagi jam tatap muka guru TIK dengan siswa.

Sementara, khasanah dari Kurtilas itu sendiri bahwa kurikulum tersebut lebih mengarah pada pemanfaatan TIK dalam metode pembelajaran. Guru dan siswa dituntut lebih aktif memanfaatkan media TIK dalam proses belajar-mengajar di kelas. Kurtilas yang dicanangkan mengarah pada pendekatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, mengolah informasi, mengkomunikasikan dengan metode ilmiah, observasi, hipotesis, eksperimen, menarik kesimpulan, hingga mempresentasikan hasil pembelajaran oleh siswa seharusnya dibarengi dengan kemampuan untuk memaksimalkan pemanfaatan TIK dengan tetap menempatkan mata pelajaran TIK sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Karena pada kenyataannya, siswa masih kalang kabut dalam memanfaatkan TIK untuk memenuhi tuntutan dalam Kurikulum 2013.

Sebagai contoh sederhana, guru Agama menyuruh siswa untuk mencari (searching) di Internet tentang pelajaran Agama, tetapi guru Agama tersebut tidak mengajarkan teknik-teknik atau trik-trik mencari artikel yang baik di Internet dengan menggunakan mesin pencari yang mana yang digunakan, juga tidak mengajarkan etika dan moral pemanfaatan TIK, sehingga yang terjadi siswa kelabakan karena tidak mengerti cara menggunakan kata kunci yang baik, bagaimana etika dan moral dalam berselancar di dunia maya, sehingga memungkinkan siswa terjerumus, orientasinya bukan lagi mencari tugas melainkan mencari hal-hal yang lain yang sifatnya negatif.     

Contoh kedua, guru Bahasa Indonesia misalnya, memberikan pelajaran tentang jenis-jenis karangan atau tulisan dan memberikan tugas kepada anak-anak membuat sebuah karangan Deskriptif dan mencari dari Internet perbedaan antara karangan Deskriptif, Argumentasi, dan Narasi misalnya, tetapi si guru Bahasa Indonesia tidak mencontohkan bagaimana cara mengetik yang baik, bagaimana mengatur margin, spasi tulisan, jenis kertas, dan jenis huruf yang digunakan, sehingga siswa sendiri kembali kelabakan. Itulah beberapa contoh sederhana yang terjadi dilapangan ketika mata pelajaran TIK dihilangkan. Apakah Pemerintah sampai pada kajian tersebut ketika memutuskan TIK dihilangkan?

Jika digunakan pembalikan logika, maka guru TIK dan matpel TIK sangat dibutuhkan, kenapa? Karena dengan belajar Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan baik, maka semua masalah diatas dapat diselesaikan dengan baik. Guru TIK pasti mampulah mengajarkan perbedaan jenis karangan Argumentasi, Narasi, dan Deskriptif, sehingga secara ilmiah guru Bahasa Indonesia dan guru TIK sama-sama dibutuhkan.

Perubahan kurikulum adalah suatu keniscayaan, apalagi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat menuntut adanya inovasi agar dunia pendidikan Indonesia lebih baik. Disatu sisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Menengah dan Umum, pak Anies Baswedan telah membuat terobosan baru dengan mewacanakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) diseluruh sekolah di tanah air. Tahun 2016, jumlah sekolah peserta UNBK meningkat pesat dari 500 sekolah di tahun 2014, menjadi 4.400 sekolah. Jumlah peserta dari 170.000 menjadi 921.000 orang.

Yang artinya, Kemendikbud menyadari betapa vitalnya peranan TIK dalam dunia pendidikan. Era TIK sudah menjadi trend yang mampu memudahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi ketika UN berlangsung selama bertahun-tahun. Hajatan yang selalu menuai kontroversial, pro-kontra, hingga masalah pelik terhenti ketika UNBK diberlakukan. Lihatlah, pengaduan yang singgah di kantor Kemendikbud perihal kebocoran soal dan kecurangan seputar penyelenggaraan UNBK adalah nol alias tidak ada dibandingkan dengan UN berbasis pensil dan LJK.

Disamping itu IIUN (Indeks Integritas Ujian Nasional) dapat diterapkan dengan baik untuk mengukur indeks prestasi, kejujuran, dan integritas peserta UN. Hasilnya, 500 sekolah dengan nilai IIUN diatas 92 diundang presiden Jokowi ke Istana negara untuk menerima penghargaan karena telah menumbuhkan budaya jujur di lingkungan Pendidikan Nasional.

Pasca revisi Kurikulum 2013, kita kembali dihadapkan persoalan pendidikan yang saya petakan menjadi tiga persoalan besar pendidikan yang dihadapi, yaitu masalah kebijakan penilaian pendidikan, masalah etika, moral, dan perilaku jujur peserta didik yang setiap tahun menjadi cela pendidikan nasional kita, dan masalah penempatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pengajaran dan pembelajaran.

Masalah Penilaian Pendidikan

Pertama, kebijakan penilaian pendidikan kita selama ini masih bersifat sumatif (assessment of learning), yaitu menilai sejauh mana peserta didik dapat menunjukkan pengetahuan dan keterampilannya tentang materi pembelajaran yang sudah dipelajari. Tujuannya adalah untuk menunjukkan besaran penguasaan materi pembelajaran. Model penilaian ini selalu dilakukan setelah peserta didik menjalani proses pembelajaran, untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai dan memahami materi pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun