Budaya Batak, khususnya Budaya Batak Toba adalah budaya yang unik, setidaknya itu tergambar dari Keluhuran Budaya Batak Toba yang tidak kalah levelnya dengan budaya bangsa manapun di atas jagat raya ini. Oleh karena itu sudah seharusnya di era kekinian penulis harus kembali mencoba untuk melestarikan adat-budaya sebagai wahana untuk membangun karakter, jati diri bangsa melalui penggalian nilai-nilai luhur budaya sebagai bagian dari Mahakarya Indonesia yang tidak hilang ditelan oleh jaman.
Adat – budaya adalah elemen dasar pembangunan karakter bangsa (national character building) sehingga upaya-upaya pelestarian serta pengembangan nilai-nilai luhur adat – istiadat dan budaya merupakan keharusan dilaksanakan agar nilai-nilai luhur tersebut bisa dipertahankan, dilestarikan serta dikembangkan sebagai jati diri masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebab, seiring dengan perkembangan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi maka Mahakarya Indonesia yang tergambar dari beragam-ragam Adat – budaya, khususnya adat – budaya lokal sudah mulai pudar dilestarikan dan dikembangkan karena pengaruh dari budaya asing (Westernisasi) yang merasuki generasi muda bangsa Indonesia.
Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT)
Pepatah klasik mengatakan, “bahasa menunjukkan bangsa”, masyarakat Batak – Toba telah membuktikan hal tersebut. Dimana di kolong langit ini tidak dihuni oleh orang Batak, khususnya Batak – Toba? Merantau, Beradat dan Beradab adalah modal dan ciri khas yang dibawa oleh keturunan Batak – Toba baik didaerahnya sendiri maupun saat di negeri orang. Dengan bahasa dan ciri khasnya, dari generasi ke generasi Masyarakat Batak – Toba mengenal religi atau kepercayaan terhadap Tuhan Maha Pencipta yang disebut dengan Ompunta Mulajadi Na Bolon yang menciptakan alam semesta yang memiliki kekuatan diluar kekuatan manusia itu sendiri.
Dimanapun manusia berkumpul, disitulah Tuhan Yang Maha Pencipta melindungi seluruh ciptaannya. Batak – Toba percaya apa yang dikerjakan akan berbuah apabila Tuhan memberkati dan merestuinya. Oleh karena kepercayaan yang sangat tinggi kepada Tuhan, maka Batak – Toba menciptakan sebuah falsafah “Dalihan Na Tolu” yaitu : “Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, dan Elek Marboru”, yang melambangkan pranata tata hubungan interaksi sekaligus landasan pola tingkah laku terhadap sesama manusia yang menjadi budaya, jati diri, dan peradaban yang diwariskan oleh nenek moyang (Rata Batak) hingga ke generasi-generasi berikutnya yang tertata rapi sebagai bagian dari Mahakarya Indonesia, dapat dijaga dan selalu diaplikasikan sampai sekarang yang tertuang dalam Sila Pancasila, dari Sila 1 sampai dengan Sila ke – 5.
Dalinha Na Tolu (DNT) adalah bentuk interaksi Mahakarya Indonesia yang diwujudkan dalam demokrasi Pancasila, dimana setiap pengambilan keputusan didasarkan pada musyawarah menuju mufakat, bagaimana tidak? DNT adalah demokrasi kesetaraan dimana Hula-hula (Sebutan bagi keluarga dari pihak istri yang kita nikahi) harus kita Somba (hormati) agar kita selalu mendapatkan berkat, keselamatan dan kesejahteraan. Dongan tubu (posisinya sejajar dengan kita, bisa teman/saudara semarga) harus kita hargai (Manat), hati-hati, tetap menjaga etika persaudaraan agar terhindar dari segala perselisihan. Dan, Elek Marboru (Selalu mengasihi saudara perempuan dan pihak marga suaminya, atau keluarga perempuan pihak ayah) agar damai dan berkat selalu menaungi keluarga masing-masing.
Setiap orang Batak – Toba pasti merasakan ketiga falsafah DNT ini, karena budaya ini sudah melekat dan terlihat saat ada pesta-pesta, baik itu pesta pernikahan, mangadati maupun saat ada kerabat atau keluarga yang meninggal. Budaya Batak – Toba tidak tergerus oleh jaman karena wejangan leluhur “Ompu na jolo, martungkothon siala gundi. Pinungka ni ompunta na parjolo, ihuthonon ni angka na parpudi”. Artinya, “Apa yang telah menjadi warisan budaya nenek moyang akan dilestarikan dan dilanjutkan generasi berikutnya”. Karena “Jongjong pe adat i ndang jaadi tabaon, peak pe adat i ndang jadi langkaan”. Artinya, “Adat dalam situasi apa pun harus tetap tegak dilestarikan”.
Struktur kekelurgaan dan/atau kekerabatan (Ompung, Bapa, Omak, Anak, Boru, Angkang, Anggi, Lae, Tunggane, Eda, Inang Bao, Amang Bao, Namboru, Amang Boru, Inang Baju, Tante, Tulang, Nantulang) adalah sebutan panggilan spesifik di kalangan Batak – Toba yang menunjukkan sikap Kerendahan Hati, mampu menempatkan dirinya dalam keluarga dan masyarakat, strata, ikatan kekelurgaan dan kekerabatan berdasarkan nilai-nilai keluhuran, sikap sopan – santun, serta adat budaya sejak dahulu kala hingga sekarang yang harus dipertahankan dan dijadikan kearifan lokal bagi generasi muda.
Satu hal lagi budaya Batak – Toba yang harus dipertahankan adalah sikap untuk tidak asal memperistri perempuan. Ada aturan siapakah yang bisa dikawini/diperistri, siapa yang tidak boleh dikawini/diperistri, karena tidak semua yang bersisik adalah ikan, bisa saja nenas, buya, ular, dan lain sebagainya. Artinya, tidak semua perempuan bisa dikawini/diperistri Batak – Toba, karena perempuan itu bisa saja saudara sedarah (Ito) atau besan (Inang Bao/Amang Bao, atau Subang ni tutur) dan sebagainya.
Sikap kerendahan hati masyarakat Batak – Toba diwujudkan dalam banyak hal, misalnya dalam memperjuangkan anak-anak mereka hingga berhasil dengan falsafah (Anakkon hi do Hamoraon di Ahu) yang artinya, “Anak adalah Kekayaaan yang paling utama”, sehingga bagaimanapun orang tua berusaha untuk menyekolahkan mereka. Menjunjung tinggi Kebudayaan yang telah diperkenalkan oleh nenek moyang, sebab kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Tetap Survival dengan DNT
Ternyata setelah diteliti, DNT, yakni: Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru tidak semua bangsa diatas bumi ini memiliki falsafah ini. Falsafah kesetaraan hidup di tengah-tengah masyarakat, karena ada sebutan Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu, dan Raja ni Boru, sehingga saling menghormati, saling hati-hati, saling menganyomi satu sama lain, bermusyawarah untuk mencapai mufakat, melaksanakan hasil mufakat dengan konsekuen serta penuh tanggung jawab. Tidak ada dominasi dalam DNT, karena suatu saat kita bisa menjadi Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru.
Sebutan Somba (Hormat), Manat (Hati-hati), dan Elek (Sayang dan Mengayomi), sudah seharusnya tetap terjaga dan diajarkan dengan baik bagi generasi Batak – Toba, juga dapat diadopsi menjadi model manajemen pemerintahan berdasarkan nilai-nilai luhur budaya Indonesia sebagai salah satu Mahakarya Indonesia untuk kemajuan tanah air kita ini. Ungkapan, “Na so mose di janji, na so lupa di tona”. Artinya, “Segala sesuatu yang telah dimusyawarahkan adalah hasil mufakat yang mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan”. “Si boru puas si boru bakkara, molo dung puas sae soada mara”. Artinya, “Bila sudah dibicarakan, dimusyawarahkan maka segala persoalan selesai dengan tuntas”. Inilah bentuk keluruhan budaya Batak – Toba dalam menyelesaikan masalah.
Nah, menurut Mavies dan John Biesanz, “Kebudayaan merupakan alat penyelamat kemanusiaan di muka bumi”. Oleh karena itu, mari kita jadikan Kebudayaan sebagai warisan yang harus dipertahankan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya DNT (Dalihan Na Tolu) harus menjadi budaya hasil Mahakarya Indonesia yang harus tetap kita pertahankan sebagai identitas yang layak diaplikasikan, tidak hanya oleh kalangna Batak – Toba sendiri, tetapi seluruh masyarakat Indonesia sebagai jati diri, karakter, martabat, kerendahan hati dan keluhuran sebagai suku bangsa yang beradab di atas bumi ini.
Horas...!!
Sumber : Toba Na Sae Sitor Situmorang
Keluruhan Budaya Batak - Toba Drs. Thomson Hutasoit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H