Total sumber daya minyak di laut Indonesia 40,1 miliar barel, gas bumi 217,7 triliun kaki kubik. Ini melukai nurani rakyat, sebab perusahaan Indonesia hanya mendapat porsi Migas 15%. Selebihnya didominasi perusahaan asing seperti Exxon Mobil Oil, Conoco Phillips, dan lain-lain.
Bangsa Indonesia harus hidup dengan dan dari laut. Kalimat yang sering terdengar bila ada peringatan hari laut yang diadakan setiap bulan Juni dan maupun hari kemerdekaan RI bulan Agustus. Kekuatan laut, teknologi ataupun penelitian kelautan, eksplorasi sumber daya kelautan, atau yang lebih actual membicarakan tentang pembangunan pulau-pulau terpencil perbatasan di lautan.
Masihkah relevan menyebut Indonesia dalam usia kemerdekaan ke 66 tahun sebagai Negara maritime atau Negara bahari – jika hal ini menimbulkan sebuah ironi sebagai Negara kaya bahari apabila belum mampu meningkatkan pengamanan kekayaan sumber-sumber daya kelautan – bersikap “lembek” mencegah pelanggaran territorial laut sehingga mudah menimbulkan emosi rakyat terhadap Negara jiran, menimbulkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun akibat pencurian dan perdagangan illegal lintas batas darat di perbatatasan ?
Ironi kekayaan SDA
Kejayaan NKRI dapat diketahui dari kekuatan sumber daya kelautannya yang memberikan andil bagi kesejahteraan Republik Indonesia melalui sumbangan devisa Negara dari sumber minyak dan gas (migas) sampai sekarang.
Dilaut kita dapat menghasilkan ratusan triliun devisa dengan berbagai potensi energy terbarukan. Masa habis 2 abad berupa hidrad gas dan gas biogenic serta energy-energy kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi sumber daya hayati laut yaitu lebih dari 2.000 spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang atau sekitar 17,95 persen di dunia, 850 jenis sponge, padang lamun dan kimia terbanyak didunia serta hutan mangrove menyimpan potensi 6,5 juta ton ikan, dapat dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan di hamparan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Sebaliknya negeri jiran banyak memanfaatkan potensi kelautan RI dengan meningkatkan penguasaan teknologi penangkapan perikanan sehingga RI rugi mencapai 100 miliar rupiah per tahun.
Sebagai Negara maritime terbesar kedua di dunia, Indonesia seharusnya sudah mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena kejayaan bangsa ada di laut. Namun pemanfaatan sumber daya geologi kelautan mengalami kendala oleh peraturan dan regulasi undang-undang Migas yang sangat merugikan. Sehingga Pertamina sebagai perusahaan Negara harus mengakusisi anak perusahaan satu persatu agar dapat ikut tender proyek yang ada di berbagai blok (ladang minyak) di Indonesia. Misalnya blok Ambalat dan blok Alfa D Natuna merupakan dua dari 11 sumber keunggulan kekayaan Migas laut sedang di eksplorasi di wilayah Indonesia yang menghasilkan lebih dari 11.3 miliar barel dengan luas 6.700 km dan terdapat juga 60 cekungan minyak dan gas bumi. Belum lagi 29 cekungan baru yang mengandung 9,1 triliun barel Migas tersebar di Laut-Selat Sulawesi, Maluku, Timor dan Samudera Indonesia di Pantai Barat Sumatera.
Diantara 60 cekungan Migas tersebut 70 persen diantaranya dilautan, selebihnya 30 persen di daratan Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi. Dari 60 cekungan tersebut, 20 diantaranya minyak bumi baru dikelola dengan kapasitas mencapai 2,13 miliar barel, cadangan gas bumi mencapai 112,5 triliun kaki kubik. Diperkirakan total sumber daya minyak bumi di perairan laut Indonesia adalah 40,1 miliar barel, gas bumi 217,7 triliun kaki kubik. Ini melukai nurani rakyat, sebab perusahaan Indonesia hanya mendapatkan porsi sedikit untuk konsesi Migas sebesar 15%. Selebihnya didominasi perusahaan asing seperti Exxon Mobil Oil, Conoco Phillips, dan lain-lain.
Selain itu, RI memiliki keunggulan historis pelayaran kapal di laut karena memiliki luas laut 3,1 juta km2 yang banyak menyimpan harta karun yang tenggelam dan terpendam di dasar laut dengan nilai tinggi. Dapat membantu melunaskan hutang luar negeri yang menghasilkan nilai 100 triliun, seharusnya mampu dijadikan bergaiming position bagi Negara di sekitarnya. Yaitu melakukan tindakan penghadangan dan tidak memberikan jalur perairan pelayaran bagi nelayan asing yang melanggar kedaulatan territorial maritime RI. Tidak memberi izin tangkap dan menutup jalur khusus pelayaran bagi Negara yang belum jelas kemauan untuk menentukan batas wilayah perairan walau resiko mendapat protes anggota PBB.
Ini sangat ironis sekali, karena Negara asing lebih memanfaatkan potensi dan data-data sebarannya serta keunggulan teknologi yang mereka kuasai, sehingga Indonesia seperti Negara penonton, bereaksi pelan dan lembek.
Ironi kualitas SDM
Bagaimana mau menjadi Negara Bahari yang tangguh jika kualitas sumber daya manusia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Negara bukan kepulauan. Bila pemerintah masih focus pada pembangunan daratan hingga pulau-pulau perbatasan terabaikan dan mengancam keutuhan NKRI karena laut merupakan bagian perekat bagi kejayaan bangsa. Sejarah sudah berbicara, bahwa kejayaan masa lalu Nusantara (Indonesia) dimulai dari lautan oleh dua kerajaan yang menguasai imperium Asia Tenggara yaitu Sriwijaya dan Majapahit, sehingga bangsa Indonesia dapat disebut Negara maritime, Negara bahari.
Indonesia memiliki banyak pakar hokum kelautan tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis hukum laut. Terutama memanfaatkan kemampuan akademis dibidang ilmu kebumian, khusus yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, Nautika-Hidrografi untuk mendukung Tim Batas Maritim Indonesia dalam penentuan batas maritime. Bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, tetapi kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Kelemahan ini semakin tragis, sebab banyak peluang fellowship tidak termanfaatkan dengan baik. Sehingga kualitas SDM masih terbatas dan tertinggal jauh dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi kelautan. Karena dukungan SDM kebumian khusus kelautan belum mencapai 1.000 sarjana, spesialisasi S2-S3 tidak mencapai 100 orang ilmuwan dari total 4.000 sarjana disiplin ilmu kebumian seperti Geologi, Geodesi-tematik, Geofisika kelautan dan Nautika-Oceanos-hidrografi sehingga tidak pernah menyentuh akar permasalahan pembangunan kelautan dan pulau perbatasan.
Begitu juga dalam implementasi pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas maritime di beberapa wilayah antar pulau di Indonesia masih terbatas pada wacana. Di lain pihak, pemerintah lebih memfokuskan pada pengembangan kajian isu-isu politik kekuatan di parlemen sehingga lalai memikirkan pembangunan sumber daya kebumian di bidang kelautan dan Negara lain memanfaatkan hal ini untuk menekan regulasi dan menguras sumber-sumber daya kelautan. Semua hal tersebut harus dijadikan cara belajar dari pengalaman lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia.
Ironi Pelabuhan Laut
Faktor lain yang membuat ironi yaitu terbatasnya pengawasan laut karena jumlah pelabuhan laut yang menghubungkan antar pulau dan pembangunan pelabuhan laut yang tidak mendukung integrasi NKRI tidak menyebar merata, memerlukan penambahan jumlah 21 pelabuhan besar. Rasio perbandingan antara luas panjang pantai dengan jumlah pelabuhan yaitu 1 pelabuhan melayani 4.500 kilometer panjang pantai.
Pebandingan luas perairan laut territorial Indonesia yang terdiri dari laut nasional 3.166.163 km2 dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 2.2.42.437 km, jumlah dukungan empat pelabuhan laut (hub port sea) besar yang menghubungkan panjang laut 61.146.075 km dengan sebaran pulau besar-kecil 17.000 masih sangat terbatas, diperparah ketertinggalan peralatan teknologi dan keamanan dibawah kualitas standar pelabuhan laut internasional.
Tidaklah mengherankan berbagai aktivitas illegal oleh Negara-negara tetangga dalam mencuri sumber daya keluatan Indonesia. Karena posisi TNI AL tidak semua di lokasi penangkapan ikan oleh nelayan asing sehingga dengan teknologi canggih pihak Malaysia mampu masuk karena terlebih dahulu mendeteksi posisi TNI AL yang menyebabkan kerugian ratusan miliar tiap tahun. Ini merupakan ancaman serius di masa mendatang apabila pemerintah tidak menyusun suatu landasan utama pembangunan pulau terdepan.
Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958 – melahirkan konsep Wawasan Nusantara – harus dijadikan inspirasi dan momentum kebangkitan Indonesia di usia kemerdekaan ke 66 tahun dari keterpurukan krisis ekonomi. Dengan memanfaatkan keunggulan luas lautan dan sebagai Negara bahari yang artinya adalah bangsa lautan, “Nenek moyangku adalah bangsa pelaut”.
Agar unggul sebagai Bangsa Maritim tangguh maka pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan prioritas utama pembangunan SDM yang berkualitas. Juga kegiatan penelitian yang terkait batas maritime Indonesia, peningkatan anggaran peremajaan alutista Kapal Perang TNI AL, dan pembangunan infrastruktur fisik di perbatasan. Niscaya kita akan jaya di laut. “Yalesveva Jayamahe”.
untuk lebih lengkapnya, klik di http://jadicerdas.com/?n=detail&&bid=821&&i=ironi_negara_penghasil_minyak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H