Bagaimana mau menjadi Negara Bahari yang tangguh jika kualitas sumber daya manusia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Negara bukan kepulauan. Bila pemerintah masih focus pada pembangunan daratan hingga pulau-pulau perbatasan terabaikan dan mengancam keutuhan NKRI karena laut merupakan bagian perekat bagi kejayaan bangsa. Sejarah sudah berbicara, bahwa kejayaan masa lalu Nusantara (Indonesia) dimulai dari lautan oleh dua kerajaan yang menguasai imperium Asia Tenggara yaitu Sriwijaya dan Majapahit, sehingga bangsa Indonesia dapat disebut Negara maritime, Negara bahari.
Indonesia memiliki banyak pakar hokum kelautan tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis hukum laut. Terutama memanfaatkan kemampuan akademis dibidang ilmu kebumian, khusus yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, Nautika-Hidrografi untuk mendukung Tim Batas Maritim Indonesia dalam penentuan batas maritime. Bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, tetapi kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Kelemahan ini semakin tragis, sebab banyak peluang fellowship tidak termanfaatkan dengan baik. Sehingga kualitas SDM masih terbatas dan tertinggal jauh dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi kelautan. Karena dukungan SDM kebumian khusus kelautan belum mencapai 1.000 sarjana, spesialisasi S2-S3 tidak mencapai 100 orang ilmuwan dari total 4.000 sarjana disiplin ilmu kebumian seperti Geologi, Geodesi-tematik, Geofisika kelautan dan Nautika-Oceanos-hidrografi sehingga tidak pernah menyentuh akar permasalahan pembangunan kelautan dan pulau perbatasan.
Begitu juga dalam implementasi pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas maritime di beberapa wilayah antar pulau di Indonesia masih terbatas pada wacana. Di lain pihak, pemerintah lebih memfokuskan pada pengembangan kajian isu-isu politik kekuatan di parlemen sehingga lalai memikirkan pembangunan sumber daya kebumian di bidang kelautan dan Negara lain memanfaatkan hal ini untuk menekan regulasi dan menguras sumber-sumber daya kelautan. Semua hal tersebut harus dijadikan cara belajar dari pengalaman lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia.
Ironi Pelabuhan Laut
Faktor lain yang membuat ironi yaitu terbatasnya pengawasan laut karena jumlah pelabuhan laut yang menghubungkan antar pulau dan pembangunan pelabuhan laut yang tidak mendukung integrasi NKRI tidak menyebar merata, memerlukan penambahan jumlah 21 pelabuhan besar. Rasio perbandingan antara luas panjang pantai dengan jumlah pelabuhan yaitu 1 pelabuhan melayani 4.500 kilometer panjang pantai.
Pebandingan luas perairan laut territorial Indonesia yang terdiri dari laut nasional 3.166.163 km2 dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 2.2.42.437 km, jumlah dukungan empat pelabuhan laut (hub port sea) besar yang menghubungkan panjang laut 61.146.075 km dengan sebaran pulau besar-kecil 17.000 masih sangat terbatas, diperparah ketertinggalan peralatan teknologi dan keamanan dibawah kualitas standar pelabuhan laut internasional.
Tidaklah mengherankan berbagai aktivitas illegal oleh Negara-negara tetangga dalam mencuri sumber daya keluatan Indonesia. Karena posisi TNI AL tidak semua di lokasi penangkapan ikan oleh nelayan asing sehingga dengan teknologi canggih pihak Malaysia mampu masuk karena terlebih dahulu mendeteksi posisi TNI AL yang menyebabkan kerugian ratusan miliar tiap tahun. Ini merupakan ancaman serius di masa mendatang apabila pemerintah tidak menyusun suatu landasan utama pembangunan pulau terdepan.
Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958 – melahirkan konsep Wawasan Nusantara – harus dijadikan inspirasi dan momentum kebangkitan Indonesia di usia kemerdekaan ke 66 tahun dari keterpurukan krisis ekonomi. Dengan memanfaatkan keunggulan luas lautan dan sebagai Negara bahari yang artinya adalah bangsa lautan, “Nenek moyangku adalah bangsa pelaut”.
Agar unggul sebagai Bangsa Maritim tangguh maka pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan prioritas utama pembangunan SDM yang berkualitas. Juga kegiatan penelitian yang terkait batas maritime Indonesia, peningkatan anggaran peremajaan alutista Kapal Perang TNI AL, dan pembangunan infrastruktur fisik di perbatasan. Niscaya kita akan jaya di laut. “Yalesveva Jayamahe”.
untuk lebih lengkapnya, klik di http://jadicerdas.com/?n=detail&&bid=821&&i=ironi_negara_penghasil_minyak