Apakah ada negara dengan sistem ekonomi komunis yang berhasil? Sampai saat ini sebuah negeri khayalan dengan masyarakat tanpa kelas, dan sarana produksi dikuasai sepenuhnya oleh negara tersebut tidak ada--pernah ada tapi tak bertahan lama. Komunis sudah bangkrut. Indah secara teori, gagal dalam praktik.
---
 Komunisme seperti mesin buldoser. Kalau digunakan untuk mendongkel, spesialis pekerjaan kasar, mesin ini sangat efektif dan berfungsi baik. Karena sifatnya yang revolusioner progresif. Cocok digunakan saat mengusir penjajah atau mengkudeta sebuah rezim dengan cara paksa.
Namun, idiologi komunis selalu keteteran kalau digunakan untuk membangun sebuah negara dalam waktu lama. Komunis adalah mesin penghancur, bukan mesin pembangun.
Pengalaman Tiongkok sebagai raksasa komunis menjadi sebuah pelajaran. Penerapan Komunisme telah menjadi malapetaka tak terperi. Dari 1959 sampai 1962 kelaparan melanda Tiongkok karena gagalnya pertanian kolektif ala komunis.
Dampaknya 20 juta orang meninggal. Komunis juga anti orang terpelajar. Revolusi Kebudayaan Tiongkok tahun 1966--1976 menyebabkan 2 juta orang terdidik harus meninggal sia-sia. Uni Sovyet dan Kamboja juga melakukan hal serupa. Alergi terhadap intelektual.
Adapun negara komunis yang saat ini masih tegak berdiri--dan taat pada ajaran marxis--pasti bergulat dengan kemelaratan dan jauh tertinggal dari negara lainnya sebut Korea Utara dan Cuba.
Ada pun Tiongkok, Rusia dan Vietnam sudah membuang jauh-jauh ekonomi Komunis yang berdebu dan usang. Yang tertinggal dari Komunisme hanya bendera merah dan tokoh pendirinya yang diawetkan saja sebagai memorabilia bahwa komunis pernah ada. Bahkan Rusia lebih berani dengan membuang bendera CCCP merahnya.
Mungkin benar--dan memang benar--apa yang disampaikan Mao Tsetung saat ditanya oleh seorang sarjana pada 1946, "Apa yang bakal terjadi jika Partai Komunis Tiongkok (PKT) menang?" Mao menjawab,"Dinasti dimulai dengan luapan semangat, lalu melemah dan hancur".
Sang Sarjana melanjutkan,"Apakah Partai Komunis punya cara untuk memutus lingkaran setan tersebut?" Mao menjawab dengan tersenyum dan sungguh-sungguh "Kami sudah menemukan caranya: namanya Demokrasi."Â
Dan anehnya Mao Tsetung tak pernah mau menerima demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Musuh komunisme memang demokrasi.
Tiongkok Saat Ini
Dua puluh tahun lalu pada Juni 2003, Atal Bihari Vajpayee Perdana Menteri India melakukan kunjungan ke Beijing. Saat berangkat dari Bandara Internasional Indira Ghandi, imaji tentang Tiongkok hanyalah negara yang serupa dengan India. Kalaupun lebih baik, pasti tak terlalu jauh. Dia meyakini itu.
Namun, ada sesuatu yang beda. Matanya melihat sesuatu yang berbeda: "Negara komunis ini melakukan keajaiban ekonomi yang tak pernah bisa dilakukan oleh negara kapitalis sekalipun." Pikir Vajpayee.
Saat mendarat Vajpayee disuguhi tontonan; jalan tol lebar dan mulus, Bandar Udara ultra modern, ribuan pencakar langit, mobil baru yang mengkilat yang seliweran di jalanan padat Beijing. Vajpayee seolah berada di Eropa.
Negeri Komunis yang satu dasawarsa sebelumya masih kumuh, banyak sepeda di jalanan, jorok, banyak lalat, berbau pesing, dan berdebu menyulap dirinya sebagai raksasa ekonomi. Tiongkok telah berada di ambang sebagai negara adidaya meyakinkan yang punya pengaruh ekonomi dan politik luar biasa di dunia.
Tiongkok telah melompat jauh ke depan meninggalkan India yang masih pening dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Negeri tetangga Tiongkok dan saling berseteru itu mengakui; Tiongkok sudah tak terkejar. India akan menyalip Tiongkok--tapi bukan ekonominya--namun, dalam jumlah penduduk.
Dan ternyata betul. April 2023, WorldOPopulation mencatat penduduk India telah melampaui Tiongkok. Dan saat tulisan ini dimuat Oktober 2023--Populasi India 1,432 miliar dan Tiongkok 1,425 miliar. Ada selisih 7 juta penduduk yang itu setara dengan jumlah penduduk Hongkong.
Memahami Tiongkok
Pada dekade 1970 sampai 1990-an, Indonesia dan Tiongkok adalah dua negara status sama: sama -sama berkembang dengan pendapatan menengah ke bawah. Saat itu Tiongkok bukanlah kekuatan istimewa. Bahkan negeri Komunis itu mengenaskan; butuh sentuhan barat untuk membantu penduduknya yang kelaparan.
Namun dalam kurun waktu 3 dasawarsa kemampuan Tiongkok dalam mengubah dirinya menjadi milyader baru mencengangkan banyak pihak. Revolusi ekonomi Deng Xiaoping dengan mengkapitaliskan komunis telah sukses mengantarkan Tiongkok sebagai raksasa ekonomi.
Melihat posisi Tiongkok di bidang Politik, Ekonomi, dan Militer yang punya pengaruh kuat di kancah internasional maka Indonesia harus menyingkirkan "kesan masa lalu" untuk ikut dalam mesin pertumbuhan dan kelimpahan ekonomi Tiongkok dengan tetap mempertimbangkan kepentingan dalam negeri.
Sebagai gambaran keajaiban ekonomi Tiongkok: Selama 25 tahun pendapatan perkapita Indonesia selalu di atas Tiongkok yakni sejak 1974--1997. Pada 1997 pendapatan perkapita Indonesia sudah mencapai US$1.054,35 sedangkan Tiongkok hanya US$ 781,74.
Ketika tahun 1998 saat krisis moneter Asia melanda Pendapatan perkapitan Indonesia jatuh ke angka US$459,19 sedangkan Tiongkok bertengger di posisi US$828,58.
PDB Tiongkok juga melesat, pada 2022 mencapai US$18,1 triliun. Terbesar nomor dua di bawah Amerika Serikat. Atau setara 8% ekonomi global. Pendapatan perkapita Tiongkok tahun 2022 sebesar US$ 12.732 sedangkan Indonesia US$4.540.
Jika melihat kriteria yang dikeluarkan oleh Bank Dunia; negara maju adalah negara yang minimal berpendapatan US$11.906, maka saat ini Tiongkok secara meyakinkan masuk kategori negara maju. Sedangkan Indonesia masuk kriteria negara berpendapatan menengah atas. Tiongkok sukses melompati middle income trap.
 BPS juga mencatat bahwa Tiongkok adalah negara mitra dagang strategis pada 2022 dengan volume ekspor impor mencapai angka US$137,5 miliar. Tujuan utama ekspor Indonesia menggeser Amerika serikat yang sebelumya selalu menjadi tujuan ekspor tradisional Indonesia. Selain itu realisasi Investasi Tiongkok ke Indonesia mencapai US$5,18 miliar; naik 64% dari tahun sebelumnya. Sedangkan Amerika hanya US$2,1 miliar.
Kenapa Fobia Tiongkok?
Isu tentang Tiongkok selalu terkait dengan komunis. Tragedi 1965 menjadikan Tiongkok sebagai kiblat kesalahan sebagai pemeran pendukung kudeta komunis di Indonesia.
Serangan balik terhadap Komunis setelah peristiwa 1 Oktober menjadikan Tiongkok sebagai sasaran amuk massa. Diikuti Pemutusan hubungan diplomatik pada 1 Oktober 1967--dan dinormalisasi kembali pada 1989.
Namun kita harus melihat kondisi saat ini secara objektif; Tiongkok bukan lagi negara maniak komunis. Bahkan di dalam negeri sendiri ekonomi Tiongkok sudah membuang jauh-jauh komunisme yang usang dan berkarat. Pemerintahan Komunis tapi perdagangan kapitalis.
Tiongkok bukan lagi pengekspor idiologi, itu tidak menarik lagi--dan tidak menguntungkan. Tapi saat ini Tiongkok lagi membangun ekonominya besar-besaran dan ingin merebut hegemoni Amerika Serikat atau Eropa atas ekonomi global melalui proyek raksasa yang bernama OBOR (One Belt One Road).
Diperkirakan Tiongkok menyediakan US$150 miliar pertahun untuk dipinjamkan kepada negara yang membutuhkan membangun infrastrukturnya. Kerjasama Indonesia dalam pengerjaan proyek Kereta Api Cepat Jakarta--Bandung termasuk di dalam skema OBOR.
Gambaran Tiongkok sebagai komunis antiTuhan dan akan merebut teritorial Indonesia itulah yang sebenarnya menghinggapi pikiran orang-orang di Indonesia. Dan isu tersebut pasti menarik di sisi politik.
Saat ada pekerja Asing dari Tiongkok yang dibawa oleh kontraktor Tiongkok, isu itu digoreng seolah-olah kita sudah dikuasai Tiongkok. Lihatlah apa yang dilakukan Indonesia dengan mengirim TKI di luar negeri. Seperti itulah yang sebenarnya terjadi dengan tenaga asing Tiongkok di Indonesia.
Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan jumlah TKA Tiongkok sebanyak 42,82 ribu per Juni 2022. Bandingkan dengan TKI yang ada di Hongkong (termasuk wilayah Tiongkok) yang pada Desember 2022 mencapai angka 200.761 orang.
Tiongkok sudah menjadi pemain penting ekonomi dan teknologi terkemuka, maka sangat wajar secara hitungan bisnis, Tiongkok adalah pasar potensial barang dari Indonesia, dan Indonesia juga pasar potensial produk Tiongkok.
Indonesia juga tetap hati-hati dengan bentuk kerjasama yang hanya menguntungkan satu pihak (misal Freeport). Maka kerjasama dengan Tiongkok harus dilandasi saling menguntungkan kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H