Â
Bagaimana caranya dengan tingkat ekonomi, teknologi, dan SDM strata berbeda, negara ASEAN bisa bekerja sama dan maju bersama? Utopia atau sesuatu yang realistis?!
 Pada dasarnya setiap negara di dunia--tanpa terkecuali--fokus pada kepentingan nasionalnya masing-masing. Itu adalah visi yang tercantum di konstitusi setiap negara. Sehingga dapat disimpulkan; setiap negara pada dasarnya egois juga pragmatis.
Negara tak ubahnya individu. Karena negara dibentuk dengan konsep imajinasi dari kumpulan individu-individu. Mengenai sebuah pilihan; kalau menguntungkan pastinya terlibat. Kalau merugikan, enggan terlibat. Sederhananya begitu. Hubungan diplomatik atau kesepakatan antarnegara juga sama. Mengalkulasi untung dan rugi.
Nah, sekarang kita mencoba memahami hubungan yang dibangun di antara negara ASEAN. Bagaimana terobosan ASEAN menciptakan interaksi yang saling menguntungkan dengan tetap memberi ruang kecenderungan sifat egois dan prakmatis setiap negara. Mungkinkah bisa?
Burung Jalak dan Kerbau
Jawabannya harusnya bisa. Sebagaimana interaksi burung jalak dan kerbau. Dua satwa beda spesies--dan juga beda genus--namun bisa bekerjasama. Tepatnya saling memanfaatkan dan memberikan manfaat. Burung jalak dan kerbau ibaratkan negara; punya kepentingan yang berbeda tapi menemukan titik kebermanfaatan dalam berinteraksi.
Apakah burung jalak ingin membantu membasmi kutu kerbau? Atau kerbau ingin memberi makan burung jalak? Jawabannya tidak. Tidak sama sekali. Dua spesies berbeda itu sebenarnya tidak peduli satu sama lain. Dua makhluk hidup tersebut sebenarnya memikirkan diri mereka sendiri. Hanya saja ada faktor irisan yang mempertemukan kepentingan mereka: Kutu!
Burung jalak mendapatkan kutu di tubuh kerbau sebagai makanannya; kerbau mendapat kenyamanan karena berkurangnya kutu yang ada di tubuhnya. Yang satu mendapat keuntungan komoditas pangan, satunya jasa kesehatan--kenyamanan.
 ASEAN Harus Menemukan "Kutu"
Interaksi negara di ASEAN, harus seperti itu. Ditopang upaya saling menguntungkan. Baik keuntungan barang ataupun jasa. Kuncinya ASEAN harus menemukan "kutu" sebagai titik temu kepentingan seluruh negara ASEAN.
Sebagaimana diketahui, dari segi pendapatan, teknologi, dan kualitas SDM ada ketimpangan dengan simpangan jauh. Misal Kamboja mayoritas rakyatnya hanya mengenyam pendidikan SD. Sedangkan Singapura mayoritas tamat SMA sampai sarjana. Kerjasama di ASEAN seolah mengawinkan dua makhluk dengan spesies berbeda.
Dari sisi pendapatan juga beragam. Data yang dirilis Worldatlas.com pada 2021; Singapura menduduki peringkat tertinggi dengan pendapatan perkapitanya US$65.233, Brunei US$31.086, Malaysia US$11.414, Thailand US$7.806, Indonesia US$4.135, Filipina US$3.485, Vietnam US$2.715, Laos US$2.534, Kamboja US$1.643, Timor Leste US$1.560 sedangkan Myanmar US$ 1.407.
Walaupun secara rata-rata pendapatan perkapita ASEAN masuk kategori menengah atas yakni US$5.833. Namun hal itu tidak merata untuk semua negara.
Menurut klasifikasi Bank Dunia, negara ASEAN pendapatannya terbagi dalam tiga tingkatan: high income (>USD12.535) hanya Singapura dan Brunei Darussalam; Upper Middle Income (USD4.046-USD12.535) Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Lower Middle Income, (USD1.036-USD4.045) Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja, Timor Leste dan Myanmar.
Persoalan ASEAN cukup jelas; akarnya ketimpangan pendapatan. Untuk itu perlu upaya pemerataan distribusi sumber daya ke semua negara ASEAN.
Sumber daya dalam hal ini; barang, manusia, dan modal. Untuk distribusi komoditas barang, ASEAN menyepakati adanya pasar bebas ASEAN (MEA); yang berlaku efektif 1 Januari 2016. Liberalisasi perdagangan regional ini akan menghilangkan hambatan-hambatan yang memungkinkan distribusi barang dan jasa bisa lebih cepat dan luas.
Terkait lalu lintas orang, ASEAN juga menyepakati ASEAN Agreement on the Movement of Natural Persons (MNP) Â untuk mengatur pergerakan tenaga kerja profesional. Â Selain itu ASEAN juga memberlakukan kebijakan saling memberi fasilitas visa on arrival untuk wisatawan. Misal Myanmar walau terkenal tertutup memberi celah 14 hari kunjungan bebas visa kepada wisatawan asal Indonesia.
 Â
Faktor utama aliran distribusi barang, jasa, dan manusia adalah modal atau uang. Jadi yang harus diselesaikan--dan ini yang paling penting--membuat mekanisme terintegrasi, mudah, dan murah yang bisa mengalirkan uang ke seluruh negara ASEAN; baik yang berkategori kaya maupun miskin.
Ini adalah tantangan dan juga peluang karena harus mengintegrasikan teknologi dan juga kebijakan yang tidak sama di antara negara ASEAN. "Kutu" di ASEAN sudah ditemukan: Mekanisme Aliran Uang!
Solusi dari Bank Indonesia
Pada KTT ASEAN ke-42 Labuan Bajo, Indonesia melalui Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan mendorong integrasi sistem pembayaran lintas negara Cross Border Transaction. Transaksi Lintas Batas. Salah satunya melalui Regional Payment Connectivity (RPC). Tujuan utamanya adalah kemudahan transaksi, Â menyederhanakan birokrasi dan teknis pembayaran di antara komunitas ASEAN.
Digitalisasi ekonomi dengan lahirnya inovasi alat pembayaran digital adalah solusinya. Bank Indonesia memperkenalkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai instrumen transaksi.
Jika perputaran uang cepat, akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Distribusi uang akan mengalir ke semua negara ASEAN. Diharapkan kemakmuran akan mengikuti. Sederhananya begitu.
Sebagai gambaran nilai perdagangan ASEAN pada 2022 tembus US$2,8 triliun. Jika ini bergerak dalam lingkup ASEAN sendiri maka menjadi keuntungan dan sumber kemakmuran yang luar biasa.
Dalam kesepakatan untuk menyentuh aspek yang lebih dalam, RPC disertai  mekanisme transaksi menggunakan mata uang lokal ASEAN, Local Currency Transaction (LCT). Yakni penggunaan mata uang lokal dalam transaksi keuangan lintas negara.
Bank Indonesia sudah melakukan kerjasama LCT dengan beberapa negara: Thailand pada 2018, Malaysia pada Mei 2023, Jepang pada Agustus 2020, dan Tiongkok pada September 2020.
ASEAN dan Terobosan Sistem Pembayaran
Â
Setiap negara ASEAN punya komoditas unggulan--keunggulan komparatif dibanding lainnya. Sebagai contoh Singapura unggul di bidang teknologi; Kamboja unggul produk hutan; Filipina dengan kekayaan lautnya.
ASEAN itu ibarat pasar serba ada: energi, mineral logam dan nonlogam, pangan, hasil hutan, hasil laut. Semua tersedia. Tinggal bagaimana mengelolanya dan menjualnya ke pasar ASEAN.
Jika sebelas negara bersatu dan bersepakat untuk mengakui penggunaan alat tukar nondolar Amerika (dedolarisasi) dan menggunakan mata uang lokal (LCT), maka perdagangan pastinya lebih semarak.
Penggunaan skema LCT didasari kehati-hatian Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Menurut laporan CNBC Indonesia, pada 2023 diperkirakan Amerika Serikat mengalami defisit neraca pembayaran.
Dampaknya, akan muncul krisis perbankan dan disertai adanya potensi gagal bayar. Hal ini akan mendorong dolar Amerika sensitif dan bergejolak terhadap isu global. Ini berbahaya bagi ekonomi ASEAN.
Untuk itu ASEAN harus bergerak cepat. Ada beberapa langkah yang harus segera diselesaikan untuk menerapkan mekanisme LCT secara menyeluruh: pertama, menyeragamkan sistem pembayaran di negara ASEAN; kedua, menyiapkan infrastruktur dan jaringan pembayaran yang terpadu dan terintegrasi; ketiga, adaptasi teknologi penunjang untuk menguatkan sistem pembayaran; keempat, meningkatkan koordinasi antarBank Sentral; kelima, meningkatan kesadaran dan edukasi sistem pembayaran terintegrasi di kalangan komunitas ASEAN.
Penggunaan mata uang lokal (Local Curency Transaction), dalam transaksi perdagangan adalah ide cerdas. Negara ASEAN bisa menggunakan mata uangnya untuk impor barang dari negara ASEAN lainnya tanpa perlu lagi bersusah payah mencari dolar Amerika.
Sebagai informasi, ASEAN bukanlah yang pertama yang melakukan dedolarisasi. Tiongkok, Arab Saudi, Uni Eropa, Iran, India, Rusia, Brasil sudah mengawali mengurangi dolar Amerika dalam perdagangannya.
Â
Dalam transaksi ini ada mata uang tidak sejenis--beda kurs--yang dipertukarkan. Mata uang satu negara dengan negara lainnya punya nilai yang tidak sama. Mata uang juga termasuk komoditas. Sama dengan barang. Jika banyak yang meminati harganya mahal, jika sepi peminat harganya pasti turun. LCT akan menguatkan nilai mata uang.
Misal; jika Malaysia ingin mengimpor alat-alat mesin pertanian dari Indonesia, mereka bisa menggunakan ringgit Malaysia saat membayarnya. Pastinya setelah dikonversi ke kurs rupiah. Dari sisi Indonesia bagaimana? Indonesia tetap untung, karena Indonesia punya cadangan valuta asing bernama ringgit Malaysia.Â
Nah, nantinya saat Indonesia mengimpor produk olahan makanan dari Malaysia, maka tidak menggunakan uang dolar Amerika. Namun, menggunakan ringgit. Dengan menggunakan mata uang lokal ASEAN maka mendiversifikasi cadangan devisa. Dari sinilah gejolak dolar yang sering mengganggu ekonomi negara setidaknya bisa diredam.
Catatan dari Bank Indonesia, transaksi melalui skema LCT pada 2022 sudah mencapai US$ 3,8 miliar atau setara dengan Rp57,34 triliun. Pada 2021 nilainya baru US$2,5 miliar, artinya ada peningkatan sebesar 52%.
Secara global transaksi LCT Indonesia dengan beberapa negara Asia yakni, Jepang, China, Malaysia, Thailand, mencapai 3-4% dari total nilai perdagangan. Artinya peluang untuk meningkatkan penetrasi yang lebih dalam masih terbuka lebar.
Kesimpulan
Pada Keketuaan Indonesia ASEAN 2023, Ada upaya kuat dari Indonesia untuk mengimplementasikan LCT dalam skala lebih luas. Ada respon positif dari ASEAN-5. Jika ini berhasil maka akan diperluas kesebelas negara ASEAN lainnya.
LCT selain punya kelebihan dalam hal stabilitas ekonomi: stimulasi investasi, menggairahkan ekspor, dan juga kemandirian ekonomi. Namun ada sisi negatifnya; yakni mudah dipengaruhi oleh kondisi politik negara mitra.
Jika negara mitra kondisi politiknya kurang stabil akan memicu gejolak moneternya. Dan bisa menggerus nilai mata uangnya. Ini akan merugikan negara mitra yang punya cadangan devisa mata uangnya. Di sisi lain dedolarisasi menjadi ancaman ekonomi Amerika. Pastinya sebagai negara adikuasa tidak akan tinggal diam.
Sanksi ekonomi bisa digunakan untuk menjinakkan ASEAN yang mulai bergerak liar. Ingat, semua negara pada dasarnya egois. Dan jika punya kuasa, pasti akan menggunakan kuasanya untuk menekan. Termasuk Amerika.
Maka penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan investasi di antara negara ASEAN harus ditopang situasi politik yang stabil dan solid di antara negara-negara ASEAN sendiri.
Sudah saatnya ASEAN mandiri di segi pembayaran. Penggunaan mata uang lokal adalah keniscayaan guna memperkuat lalu lintas keuangan dan perdagangan antarnegara ASEAN. Misi untuk menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan, pastinya akan terwujud dengan upaya saling sokong satu sama lain.
Inilah jawaban bahwasanya perbedaan ekonomi, teknologi, dan SDM tidak menghalangi upaya untuk sinergi menjadi satu wadah pasar terintegrasi paling solid di dunia. Egoisme negara masih terwadahi dan kepentingan bersama juga terlaksana.
Hanya tinggal menunggu waktu, ASEAN sebagai Episentrum of Growth akan segera terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H