Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Ramadan: Takjil, Mancing dan Kenangan

2 April 2023   18:35 Diperbarui: 2 April 2023   18:44 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imam Tarawih

Kami juga membicarakan imam tarawih. Kami menilai enak dan gak enak dari kaca mata anak-anak. Durasinya, kecepatannya. Semakin cepat semakin enak. Semakin lambat semakin menggelisahkan. Maklumlah kami anak-anak.

"Nanti Mbah Asep, Imamnya" Kata Edi. Kami memanggil Edi dengan sebutan Timun. Entahlah saya tidak ingat kenapa kami menyebutnya timun. Kami terkadang dihardik oleh Pak Margono bapaknya Edi. Kami biasanya teriak-teriak di depan rumahnya untuk mengajaknya mancing, "Timun..mun, mancing. Ayo mancing"  Yang keluar Pak Margono sambil ngomel-ngomel.

"Mbah Asep?" Kami lemas mendengarnya. Saat Mbah Asep yang nanti bertugas jadi imam. Kami membayangkan, perlu proses yang panjang kalau Mbah Asep yang mengimami. Kami membayangkan pegal-pegal. Biasanya selama sejam bahkan lebih. Kami tidak tahan dengan waktu sedemikian panjang. "Piye, melu tarawih engko?" Pertanyaan itu akan dijawab dengan enggan "Melu, tapi tekone mengko rodo telat wae". Kesepakatan tak elok kami rencanankan saat mancing. Telat tarawih, karena sosok imam bernama Mbah Asep.

Tapi kalau yang mengimami Ustadz Yanto, kami semangat. Ada nuansa ekspress di dalamnya. Seolah naik kereta cepat. Sat set pokoknya. Anak kecil seperti kami ini, hanya melihatnya dari sisi itu. Takjil, sat set dan patrol untuk bangunin waktu sahur.

Setelah tarawih kami anak-anak diberi waktu untuk baca Alquran menggunakan mic.  Pegang mic untuk baca Alquran saat itu sebuah kemewahan. Seolah adu ketangkasan. Emak Bapak kami akan mendengarkan dengan bangga. Tidak jarang kami grogi, apa lagi banyak Bapak/ Emak yang ikut menyimak bacaan kami. Kadang bacaan kami bisa berantakan, berdengung gak jelas seperti baling-baling sawah untuk mengusir manuk emprit.

Namun setelah baca Alquran pakai mic, kami punya akses tanpa batas untuk menikmati suguhan takjil yang terhampar di depan mata. Rasa grogi bertarung dengan es cendol, ketan kirip ataupun pisang goreng. Yang menang selalu suguhan takjil.

Sedangkan yang memang belum bisa baca Alquran, hanya duduk-duduk di Mushollah. Sekadar meramaikan mushollah.  Meskipun begitu, mereka tetap diberi kesempatan menikmati takjil. Walau dengan akses terbatas.

Hasil Mancing

Pada 1990-an air sungai masih jernih. Jarang ada sampah plastik atau pempers yang nyangkut di sela-sela batu atau cadas. Kami mandi tanpa merasa jijik. Kalau haus pun tidak jarang kami minum air langsung dari sungai. Seingatku kami baik-baik saja. Untuk mendapatkan hasil pancing, udang, kepiting air atau ikan melem tidak lah sulit. Pasti dapat. Asal mau menunggu.

Kami biasanya mencari, air yang dalam. Kami sebut kedung. Kami pasang umpan cacing. Kami tunggu sambil bercanda, tidak berselang lama biasanya akan dimakan oleh ikan. Namun yang sering adalah kepiting. Sejam kami mancing, biasanya kami dapat 15 ekor sampai 25 ekor kepiting air. Jumlah itu lumayan banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun