Awal September 2021--saat berbincang di kantor--dirinya mengeluhkan sakit sariawan di bawah lidah yang tak kunjung sembuh. Sudah dua bulan katanya. Berarti mulai Juli dia sakit. Berbagai merk vitamin C dan obat sariawan sudah dikonsumsi. Tak ada perubahan. Penyakitnya makin parah. "Nyeri dan panas saat makan, Mas. Ada benjolan. Aneh sariawan ini"Â Tuturnya di depanku dan di depan teman lainnya.Â
"Dua bulan lalu, saya disibukkan  Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Lidahku sakit, tapi saya harus kuat. Cenderung kuabaikan rasa sakit ini. Saya ingin lulus masalahnya, Mas" Pada saat bercerita dirinya sudah dinyatakan lulus PPG.
Kabar dari Surabaya
Sabtu, 7 Oktober 2021 ada chat masuk "Mas, minta doanya. Minggu ini saya akan operasi" Awalnya saya menduga dia operasi usus buntu. Hal lumrah bagi kesehatan manusia, dan masuk dalam kategori operasi ringan. Nyatanya diriku salah. Ada hal serius yang ada pada tubuhnya: kanker lidah.
Aku mencoba browshing, dan aku hanya menghela nafas panjang. Itulah awal dari perjuangan beratnya. Melawan kanker, dan melawan dirinya sendiri agar tidak jatuh dalam kepesimisan akut. Menurut dia yang terakhir yang paling berat.
"Sekian bulan aku sariawan. Tak kunjung sembuh, Mas. Saat ke dokter, awalnya divonis trauma akibat gesekan dengan gigi. Setelah gigi dicabut, luka yang timbul, lama sembuhnya, dan sariawan di lidah semakin parah.Â
Setelah berobat ke dokter spesialis, saya disarankan ke Surabaya untuk mendeteksi apakah ini kanker apa tidak. Ternyata ini adalah kanker. Bingo!
 Aku lemas, aku nangis seharian dengan vonis tersebut. Dunia seakan runtuh. Suami juga menangis, baru kali ini aku melihat suamiku menangis, memelukku, dan meminta maaf.
 Aku tidak menyalahkan suami. Tidak sama sekali! Aku hanya bertanya kenapa saya? Kenapa kanker? Umurku masih 34 tahun, punya anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang!
Hari itu, setelah divonis kanker, malamnya aku tidak bisa tidur. Tulangku seolah tak kuat meyangga tubuh ini. Aku semakin takut saat mencari informasi di google.Â
Ceritanya mengerikan untuk saya hadapi. Aku melihat anakku, tebersit 'Nak, maafkan mamamu kalau tidak sampai lama menemanimu'. Aku sesenggukan. Saat itulah saya merasa hidup berada pada titik paling bawah."
Aku tertegun membaca chatnya. Aku bingung mau membalas dengan narasi apa. Sebagai rekan kerja aku hanya ingin dirinya kuat dan tabah, dan mampu melalui tanjakan terjal ini dengan lebih menerima.
Setelah itu, beberapa hari, saya tidak berkomunikasi. Saya disibukkan aktivitas kerja. Sedangkan dia ada di Surabaya. Dia sekali kali memposting selang infus yang ada di lengannya. Aku mengintip historinya.
Aku hanya berkomentar pendek: "Semoga segera pulih kembali ya, Mbak. Kuat dan tabah."Â
                                                                 ***
Sekian bulan setelah operasi aku mencoba untuk menghubunginya. Menanyakan kondisinya. Aku berharap ada kabar baik. "Mbak, gimana kabarnya?" Chat itu begitu lama saya pikirkan. Pertanyaan semacam itu--seolah normal--namun punya dampak lain jika ditanyakan ke penderita kanker. Antara saya kirim atau enggak. Akhirnya kuberanikan untuk mengirimnya. Sudah sekitar dua bulanan dia menghilang di media sosial.Â
Kami sebagai rekannya tetap memantau. Kami saling menanyakan kondisi terbarunya. Namun hasilnya tetap seragam tidak ada yang tahu pasti.