Â
      Â
Jika Anda kebingungan memahami sesuatu--misal teori relativitas--maka itu belum seberapa jika dibandingkan saat Anda ingin memahami sebuah negara yang bernama Qatar. Ini mungkin berlebihan. Tapi begitulah. Qatar adalah gas. Dalam arti bukan kiasan, tapi sesungguhnya. Gampang menguap dan gampang terbakar. Tapi dunia membutuhkannya. Setidaknya untuk saat ini.
---
 Enam puluh tahun yang lalu, Qatar hanyalah hamparan padang pasir yang panas. Benar-benar panas seolah tak ada harapan. Tak ada kemajuan. Kemakmuran penduduknya dinilai kalau bisa makan. Tidak mati terpanggang suhu panas kelewat batas. Itu sudah sebuah kemujuran.
Suhu siang hari bisa mencapai 49 derajat celcius. Secara teknis bisa untuk mematangkan telur ayam jika tergeletak di padang pasir.
Sekelompok suku nomaden bergerak sambil menggiring domba ternak khas padang pasir. Kehidupan keras. Sangat keras.Tenda-tenda mereka tersebar dan berpindah di seluruh penjuru Qatar.
Pemandangan yang lazim saat itu. Sebagian kecil masyarakat ada juga yang bertani. Tapi tidak banyak. Cenderung langka.
Masyarakat pinggir pantai berprofesi sebagai nelayan: penyelam dan pembudidaya kerang mutiara air asin. Pekerjaan yang cukup populer sebelum booming minyak dan gas pada 1980-an. Ciri khas negara berkembang yang miskin, udik, terbelakang dan berdebu. Qatar layak menyandang itu. Saat itu.
Penemuan Minyak dan Gas
Pada 1935, British Petroleum bekerja sama dengan pemerintah Inggris di Qatar menemukan sumber minyak dan gas di Jabal Dukhan. Bukit Asap. Pada 1939 mulailah eksploitasi minyak dan gas alam di Qatar.
Pada 3 September 1971, Qatar menyatakan merdeka dari Inggris. Tidak berselang lama ladang gas baru ditemukan. Kapasitas 24,7 triliun meter kubik. Terbesar nomor tiga setelah Rusia dan Iran.