Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perang Surabaya 1945: Neraka di Ujung Timur Pulau Jawa bagi Tentara Inggris

10 November 2022   06:34 Diperbarui: 20 November 2022   22:11 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pejuang Surabaya dengan senjata penangkis serangan udara saat menghadapi invasi Inggris 1945. Senjata tersebut hasil dari rampasan tentara Jepang. Sumber: National Geographic Indonesia

Minggu 28 Oktober 1945. Dini hari. Telepon di Istana Merdeka berdering berulang-ulang. Jam di dinding Istana menunjuk angka 02.00 saat itu. Pengawal pribadi Bung Karno--Tukimin-- mengangkatnya. Telepon dari Surabaya: ajudan Komandan Tentara Inggris. Tukimin bilang bahwa Presiden sedang istirahat, dan tidak bisa diganggu.

Suara di seberang mendesak, kondisi darurat dan mohon Presiden dibangunkan. Suara setengah memerintah, setengah memohon. Tidak ada pilihan. Pengawal pribadi  Presiden Soekarno dengan hati-hati mengetuk pintu kamar Bung Karno.

Setelah lima menit baru ada tanggapan. "Ya, ada apa?" Suara Bung Karno dari dalam. "Ada telepon dari ajudan Komandan Tentara Inggris, Pak. Katanya sangat penting". Dengan suara lirih setengah berbisik pengawal Bung Karno menjawab.

----

Bung Karno dengan enggan bangun. Di sampingnya Bu Fatma dan Guntur anak pertama Bung Karno yang belum genap setahun sedang tidur pulas.


Masih mengenakan piyama, Bung Karno  ke luar dari kamar tidur. Menuju meja telepon di ruang kerjanya. Dalam perbincangan sekitar 30 menitan diketahuilah bahwa Inggris meminta Bung Karno untuk ke Surabaya besok pagi. Bentrokan brutal terjadi di Surabaya. Inggris kewalahan. Bung Karno diminta meredakan ketegangan. Bung Karno menyanggupi.


Pikiran Bung Karno kacau saat itu. Tapi Tukimin dan Bu Fatma tidak pernah dikasih tahu kondisi darurat dini hari tersebut. Bung Karno hanya bilang "Aku akan pergi ke Surabaya dengan pesawat terbang tentara Inggris besok"

Inggris Ceroboh 

Kamis 25 Oktober 1945, enam ribu tentara Inggris dari Brigade Infantri India ke-49 mendarat di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pendaratan mereka tanpa perlawanan (unopposed) dari pejuang Republik. Rakyat memberi ruang tentara Inggris menjalankan tugasnya: melucuti tentara Jepang. Hanya itu. Tidak lebih.

Maka tidak perlu ada gangguan. Ataupun sambutan meriah. Rakyat bersikap acuh dan waspada. Sebagai tuan rumah yang baik, pemerintah Surabaya menyediakan akomodasi. Sebagai wakil Sekutu, Inggris hanya menjalankan mandat. Tidak akan turut campur urusan domestik Indonesia. 

Brigadir Mallaby memberi jaminan. Inggris tidak akan melucuti senjata orang-orang Surabaya. Pemimpin Indonesia mempercayai itu, tapi rakyat bersikap penuh kewaspadaan.

Kondisi panas kehadiran Inggris mulai dirasakan. Gesekan dengan rakyat mulai terjadi. Ada puluhan ribu senjata di tangan rakyat, sebagai hasil melucuti senjata Jepang. Inggris tidak memperkirakan Itu.

Tinggal menunggu waktu api itu membakar. Dan meledakkan semuanya. Sebagaimana kesaksian salah satu pasukan India yang berada dalam komando Inggris bernama P.R.S Mani,

"Sikap penduduk acuh tapi penuh kewaspadaan. Di dinding pelabuhan terpampang tulisan 'Azadi ya kunrezi', yang berarti Kemerdekaan atau Pertumpahan Darah. Bagi saya tulisan itu mendirikan bulu roma, karena saya menyadari akhirnya tiba saatnya saya berjumpa dengan takdir!"

Apa yang diperkirakan P.R.S Mani benar-benar terjadi. Pada Sabtu 27 Oktober 1945. Cuaca mendung. Tengah hari, di langit Surabaya--atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn--pesawat Dacota Inggris meraung-raung menyebarkan ribuan pamflet yang isinya menuntut agar rakyat Surabaya menyerahkan senjatanya  sampai 29 Oktober. Dan diperpanjang sampai 31 Oktober. 

Bagi siapa pun yang membawa senjata akan ditembak mati.

Sebagai pemenang Perang Dunia II, Inggris sangat jumawa dan arogan. Namun, tidak terukur. Lebih tepatnya melakukan tindakan bodoh. Inggris harus membayar. Mendapat kesulitan yang tidak pernah terbayangkan sesudahnya.

Provokasi Inggris membuat emosi rakyat yang selama ini tertahan meledak. Benar-benar meledak. Inggris juga terang-terangan melepaskan orang Belanda. Posisi tentara Inggris pada saat itu berpencar karena mengadakan patroli di penjuru kota.

Kondisi tersebut tidak terlalu menguntungkan. Kelompok-kelompok kecil tentara Inggris lebih mudah disergap--lebih tepatnya dibantai diberbagai tempat.

Rakyat menyerbu di mana pun dan kapan pun ada tentara Inggris. Korban dari tentara Inggris berjatuhan. Pertempuran yang keji, ganas dan brutal. Betapa mengerikannya situasi di Surabaya saat itu bisa digambarkan dari pengamatan Bung Karno,

 "Di setiap penjuru jalan terjadi perkelahian berdarah satu lawan satu. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Mayat tanpa kepala atau anggota tubuhnya tidak lengkap, berserakan satu di atas yang lain. Mayat-mayat hanya ditumpuk di jalan-jalan. Orang-orang Indonesia menembak dan menikam dan membunuh dengan ganas. Setiap orang bertempur".

Inggris benar-benar terkejut dan tidak menyangka mendapat reaksi rakyat Surabaya semacam itu. Inggris tidak siap. Data inteligen tidak pernah memberikan gambaran sebrutal itu masyarakat Surabaya. Mereka tersudut di pelabuhan dan mengibarkan bendera putih.

Jika dibiarkan sehari saja tanpa ada upaya gencatan senjata, bisa dipastikan 6000 tentara Inggris bisa habis dibabat oleh kemarahan rakyat. Inggris tidak mau itu terjadi, maka panggilan telepon dini hari, Minggu 28 Oktober menjadi solusi meredakan kemarahan rakyat. Walau mempermalukan Inggris sendiri. Seolah dengan bahasa yang lebih mudah: Inggris kalah.

Pada 28 Oktober, Presiden Soekarno, Mohammad Hatta dan Mr.Sjarifuddin menemui rakyat Surabaya untuk menghentikan pertempuran. Situasi sementara terkendali.

Perang Besar Terjadi

Selasa 30 Oktober 1945. Dua hari setelah kedatangan Bung Karno dan kesepakatan gencatan senjata, terjadi Insiden di depan Gedung Internatio yang menewaskan Brigadir Jenderal AWS. Mallaby.

Inggris sebagai Pemenang Perang Dunia II merasa dilecehkan oleh negara yang baru dua bulan berdiri. Saat Perang Dunia II, Inggris tidak pernah kehilangan Jenderalnya. Namun di Surabaya ceritanya lain. Jenderalnya Meninggal.

Sebagai balasan Inggris akan menghukum rakyat Surabaya. Dengan tindakan militer penuh. Tiga puluh ribu tentara profesional dari Malaya dan Jakarta dimobilisasi ke Surabaya. Pengerahan pasukan tiga matra dengan peralatan tercanggih di eranya menumpuk di Surabaya.

Inggris begitu yakin, perkara mudah untuk menghancurkan Surabaya. Mereka sangat optimis, cukup 3 hari Surabaya akan jatuh ke tangan Inggris.

Pada 9 November 1945, pesawat Dacota Inggris mengeluarkan pamflet ultimatum yang isinya rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata dan mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Maksimal esok hari, 10 November pukul 06.00. Inggris benar-benar hilang kesabaran. Lebih tepatnya hilang akal.

Ultimatum Inggris tidak dihiraukan. TKR sebagai ujung tombak perlawanan, memobilisasi massa untuk perang besar tanggal 10 November. Pohon-pohon ditebangi untuk menghambat laju pergerakan Inggris. Perang semesta dipersiapkan.

Benar saja, 10 November pagi hari. Surabaya dibombardir dengan brutal dari darat, laut dan udara. Perang hebat terjadi. Inggris bisa dengan mudah membombardir dari jarak jauh, tapi saat masuk kota. Tentara Inggris menghadapi medan perang sebenarnya.

Tiga hari berlalu. Perlawanan makin meningkat. Target 3 hari menguasai Surabaya tidak terjadi. Perlawanan sengit TKR dan Laskar bentukan rakyat membuat perang berlarut-larut. Inggris mengalami tekanan mental yang tidak pernah terbayangkan.

Sampai pada 30 November perlawanan pejuang Surabaya mereda. Surabaya porak-poranda. Inggris sudah menguasai seluruh Surabaya. Diperkirakan 16.000 pejuang tewas, di pihak Inggris dilaporkan ada 1.600 tentara mati. Namun, perlawanan belum berhenti total.

Perang Absurd

Bagi Indonesia, Perang Surabaya punya tujuan jelas: mempertahankan kemerdekaan. Bagi Inggris Perang Surabaya adalah perang paling aneh. Tidak jelas. Mereka terjebak oleh perseteruan Indonesia-Belanda.

Inggris menerima getah dari keterlibatannya. Ribuan tentaranya terkapar mengenaskan tanpa memahami untuk apa mereka berada di Surabaya. Perang paling brutal setelah PD II. Inilah inferno kata mereka. Neraka di ujung timur pulau Jawa.

Pada akhirnya Inggris menyadari. Semakin lama berada di Surabaya hanya menumbalkan tentaranya untuk mati pelan-pelan. Tidak ada untungnya. Dan secara moril mereka kalah, walau secara fisik mereka menang. Pada 1946 Inggris meninggalkan Surabaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun