Â
Pada Juni 1860, naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, berada di Waigeo salah satu pulau di Papua Barat untuk berburu cenderawasih. Betapa takjubnya Wallace, saat malam hari melihat sinar seperti Aurora Borealis yang indah sebagaimana yang dilihat di Inggris. "Saya hampir tidak dapat percaya bahwa cahaya ini dapat terjadi di titik satu derajat di selatan garis khatulistiwa," tulis Wallace di buku the Malay Archipelago.Â
   -----
 Apakah cahaya yang pernah dilihat Wallace itu sampai sekarang masih muncul? Ataukah cahaya tersebut kejadian random yang tidak jelas kapan kemunculannya? Sebagaimana hujan salju di Gurun Sahara yang tidak bisa diprediksi.
Menjadi menarik untuk dijadikan atraksi pariwisata jika cahaya kutub tersebut bisa dilihat berkala di wilayah khatulistiwa.
Wallace melihatnya di bulan Juni 1860, saat musim peralihan dari kemarau ke hujan. Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat yang membawahi Waigeo harus mencermati cahaya tersebut saat bulan Juni. Jika ternyata aurora itu ada, pastinya akan menarik untuk dikemas sebagai atraksi wisata.Â
Â
Waigeo negeri aurora khatulistiwa. Bisa menjadi tagline menarik untuk mengembangkan pariwisata di Waigeo. Karena secara teori cahaya tersebut punya domisili endemik: Kutub Utara atau Kutub Selatan Bumi. Dan menjadi aneh dan langka jika kejadiannya di sekitar khatulistiwa.
Kisah tentang Nusantara di masa lalu, banyak mengandung sesuatu yang menarik. Atau boleh dikata unik. Bahkan bisa jadi diluar nalar kalau ditakar dengan nilai kepantasan sosial budaya saat ini. Ada kalanya ngeri-ngeri sedap.
Saat Wallace berkunjung di Lombok pada 1856, dirinya melihat bahwa laki-laki Lombok sangat pencemburu dan keras terhadap istrinya. Perempuan yang sudah menikah bila menerima barang sepele--misal cerutu atau daun sirih--dari laki-laki lain hukumannya tidak menarik: hukuman mati! Dan masyarakat memakluminya. Ada juga hukuman buat orang yang berselingkuh yakni dilempar ke laut dimana terdapat buaya yang siap melahap orang yang dihukum.
Di Kampung Bessir, Waigeo, Wallace juga terheran-heran dengan makanan pokok masyarakatnya; bukan sagu, beras, pisang atau umbi-umbian. Tapi kerang. Tumpukan kulit kerang menggunung  di antara rumah-rumah yang ada. Sebuah pemandangan yang unik, sebuah adaptasi masyarakat terhadap kelangkaan karbohidrat.
Saat mengunjungi Timor Portugis 1861--menurut Wallace--orang Timor portugis adalah pencuri ulung, penculik orang untuk dijual sebagai budak. Beda lagi saat mengunjungi Borneo, Wallace sangat mengagumi moralitas--kejujuran kesederhanaan, keterbukaan dan ketulusan Suku Dayak. Sebagai contoh, saat Wallace menginginkan memetikkan buah. Orang Dayak yang disuruh bilang bahwa dirinya tidak bisa karena orang yang punya pohon tidak ada.
Mereka pantang mengambil yang bukan miliknya, padahal hanya satu atau dua buah biji mangga. Begitu juga dalam berkomunikasi. Mereka sangat hati-hati, takut berkata bohong. Sehingga mereka lebih banyak diam. Meskipun mereka sangat ramah.
Keluhuran moralitas tersebut juga ditunjukkan masyarakat di Waigeo. Kejujuran dan rasa tanggung jawab yang tinggi yang nampak dari masyarakat yang boleh dikata--dengan kaca mata masyarakat modern--berlabel primitif.
Saat mengunjungi Jawa pada Juli--Oktober 1861, Wallace begitu kagum dengan peninggalan masa lalu yang berupa candi-candi kolosal, dengan hiasan patung-patung indah.
Kekaguman tersebut membuat dia berfikir bahwa seolah terjadi anomali: Penduduk peradaban tinggi dijajah oleh penduduk yang seolah baru belajar membentuk peradaban. Saat mengunjungi Borobudur dirinya menulis "Agaknya, jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan piramida terbesar di Mesir tidak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini"
Di Jawa, Wallace juga mendapat laporan orang yang dimangsa harimau. Populasi harimau masih banyak. Dan kejadian manusia menjadi santapan harimau bukan kejadian aneh. Bahkan pertengahan abad XVII banyak atraksi harimau melawan banteng atau bahkan manusia melawan harimau--biasanya para narapidana. Sebuah  tontonan menarik bagi petinggi kerajaan di Jawa waktu itu.
Bagaimana nasib harimau jawa saat ini? Pada Desember 1996, pada pertemuan CITES (Convention On International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) di Florida, Amerika Serikat, harimau jawa (Pantera tigris sondaica) dinyatakan punah--sirna ilang kertaning bumi.
Pohon Upas
Upas dalam bahasa jawa artinya bisa, atau racun. Di pedalaman Jawa diinfokan ada pohon upas yang sangat beracun. Cerita horor tentang pohon upas pertama ditulis oleh misionaris italia abad XIV, Friar Odoric. Ganasnya pohon upas terus disebarluaskan. Digambarkan orang yang berada di radius puluhan kilometer semuanya mati. Bahkan burung yang hinggap di dahan pohon tersebut bisa bertumbangan.
"Udara di sekitar pohon tersebut begitu tercemar, sampai-sampai jika ada burung yang hinggap di pohon tersebut, burung itu bisa langsung hilang kesadaran dan mati," tulis George E. Rumphias ahli botani Belanda di buku monumentalnya Herbarium Amboinese.
Â
Manuskrip tentang Jawa yang terbit pada 1811, The Island of Java, karangan John Joseph Stockdale, juga mengulas secara panjang lebar terkait pohon yang menjadi buah bibir di kalangan ahli botani dan petualang Eropa. Kesimpulan Stockdale sendiri dirinya merasa skeptis dengan fenomena yang terkesan dibesar-besarkan. Thomas Stanford Raffles dalam buku History of Java juga senada dengan Stockdole.
Pohon upas secara fisik memang ada tapi efek mematikannya tidak lewat udara, tapi getahnya yang masuk ke jaringan darah. Pohon upas merujuk pada pohon ancar dengan nama ilmiah Antiaris toxicaria.Â
Kesimpulan
Dari masa lalu kita bisa belajar banyak hal. Manuskrip kuno tentang Nusantara yang saat ini bernama Indonesia bisa menjadi salah satu batu pijak untuk merenungkan: ada banyak warisan yang hilang dari leluhur bangsa Indonesia.
Masa lalu yang penuh gemerlap. Penuh kemegahan, tiba-tiba hancur lebur. Kemegahan Borobudur, Prambanan dan tinggalan bersejarah lainnya, dengan arsitektur mengagumkan seakan tenggelam. Mengapa itu terjadi? Apa sebabnya? Muncullah manusia-manusia yang bertempat tinggal di gubuk-gubuk, terlihat kumuh dan miskin, yang menjadi budak dari kekuatan asing: Belanda!
Naturalis Inggris, Wallace begitu miris melihat kenyataan ini, saat mengunjungi Prambanan, Borobudur dan percandian di Gunung Dieng. Dirinya menulis dengan sedikit kontemplatif,
"Bentuk masyarakat, jumlah populasi atau mata pencaharian penduduk yang memungkinkan sebuah karya luarbiasa tersebut dibangun, barangkali akan tetap menjadi misteri. Karya agung ini pastinya dikerjakan bertahun-tahun. Â Masyarakat yang sekarang membangun rumah dari bambu dan rumbia, cenderung mengabaikan karya agung nenek moyang mereka"Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H